Sebuah pertanyaan seketika langsung terbesit dalam pikiranku. Terutama ketika perempuan di sampingku ini tersenyum seperti itu. Garis bibirnya sangat manis untuk dilihat dan entah kenapa hatiku saat melihatnya merasa tentram dan juga mungkin nyaman. Sebenarnya aku sudah pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Tepatnya dalam mimpi yang selalu aku alami tiap malamnya. Aku tidak tahu mengapa mimpi itu selalu menghampiriku. Perempuan asing itu tetap berbicara hal yang sama berulang kali seperti hendak menyampaikan sesuatu. Aku selalu ingat apa yang dia katakan padaku tapi entah kenapa saat melihat Anisa, kata-kata perempuan di mimpiku itu tidak bisa aku ingat sama sekali. Aku hanya mengingat suaranya yang memanggil namaku saja, selebihnya aku tak bisa mengingatnya.
“Kenapa aku bisa melupakan setiap perkataanya,” batinku bergetar.
“Oi, Ali lagi mikirin apa!” Anisa berteriak, di akhir lontaran katanya tawa tipis menjadi bagian yang tak terlupakan olehku. Jujur saja ucapannya itu cukup untuk membuatku terkejut. Saat aku kembali sadar, dirinya tengah tersenyum padaku. Lagi-lagi dia menunjukkan senyumannya itu, sebuah senyuman yang mungkin dapat membuat laki-laki manapun gila setelah melihatnya. Sekilas saat aku melihatnya tersenyum sosok perempuan dalam mimpiku muncul seketika dalam imajinasiku. Aku melihat sosoknya itu melalui Anisa hingga membuatku tersenyum tanpa kusadari.
“Ternyata kamu bisa tersenyum juga ya, ayok kita harus kekelas kan. aku nggak tahu jalannya kemana loh!” sambungnya.
“Iya-iya, kau semangat sekali ya!” balasku singkat.
“Pasti dong aku harus mengejar ketertinggalan kan, selama semester kemarin aku tidak masuk kuliah!” Anisa kembali mengatakan kata-kata yang membakar semanagtnya dalam belajar. Berbeda denganku aku hanya menanggapi senyumannya itu. Wajahnya saat tersenyum itu sama sekali tidak bisa aku lupakan. Hal ini memang terkesan tidak menghargainya dalam beberapa hal tapi kenyataannya memang begitu, kurasa. Mimpi itu tidak bisa lepas dariku dan kini saat melihat anisa tersenyum aku merasa bahwa dia adalah perempuan yang ada dalam mimpiku. Tanpa mengatakan apapun lagi kami berjalan bersama kembali ke kelas.
Setelah melalui pertemuan singkat itu aku menyadari bahwa aku harus segera mengetahui maksud dari mimpi yang selalu aku alami dalam tidurku.
“Oh iya Ali aku minta kontak Ponselmu ya, masukin juga aku kedalam grup kelas jangan sampai lupa!” Anisa kembali mengajakku berbicara. Dalam setiap langkah kami kembali ke kelas ada beberapa hal yang kami obrolkan, salah satunya adalah beberapa tugas yang memang harus segera dia kerjakan dalam mengejar ketertinggalan di semester dua kali ini. Mengingat Anisa kini baru masuk pada minggu ke dua di semester kali ini, ada beberapa tugas kelompok juga yang harus dia ikuti. Untuk menghemat waktu aku memutuskan untuk memasukannya di kelompokku. Aku yakin yang lainnya akan menerimanya. Itu yang aku pikirkan sampai satu temanku mengoceh tidak karuan lagi.
“Ah lo pasti pengen sama Anisa kan Li, yang adil dong jadi ketua Mahasiswa kelas kita!” sindirnya. Aku hanya tidak mnyangka dia memiliki pikiran semacam itu padaku. Beberapa kali aku jelaskan pada temanku ini, seratus tahunpun aku jelaskan padanya, dia tidak akan paham alasanku yang sederhana karna sifatnya yang suka bercanda itu.
“Terserah lu Jar, gua nyerah,” jawabku cepat saking bosannya mendengar ocehannya.
Seketika Fajar tertawa riang, “Nggak papa Li, gua dukung lo. Kali ini harus dapet!”
Mendengar Fajar berkata seperti itu, hatiku sedikit tertusuk. Aku teringat akan masalaluku dulu. Banyak orang menganggap bahwa masa SMA adalah suatu masa terindah dalam kehidupan remaja. Sebuah kehidupan dimana kita lebih mengenal akan cita-cita, persahabatan bahkan cinta. Namun, semua itu tidak mengahampiriku sama sekali. Saat kelas satu SMA aku memang mencoba menjadi sosok yang berbeda. Dapat dikatakan sosok yang asik dengan teman sebayanya dan mudah akrab dengan siapapun. Walaupun sebenarnya aku kurang menyukainya saat mencoba melakukannya. Sifat itu aku paksakan selama kurang lebih satu semester hingga aku berjumpa dengan seorang perempuan yang aku sukai di kelas. Mengobrol dengannya cukup menyenangkan kala itu, sampai aku mulai menyukainya karena sikapnya itu. Berhubung perempuan itu sangat aktif dan baik luar dalamnya, bukan hanya aku saja yang menyukainya. Layaknya rembulan yang bersinar di langit malam banyak laki-laki yang menyukai sinarnya. Banyak waktu yang aku habiskan untuk memberanikan diri agar bisa lebih dekat denganya, tapi langkahku berhenti seketika saat dia telah sangat dekat dengan kakak kelas satu organisasi dengannya di Paskibra, dengahn kata lain mereka telah menjalin hubungan.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku kala itu aku menyukai seseorang. Namun musim semiku terlambat dari semua orang pada umumnya. Seseorang yang tahu akan hal ini adalah teman baikku hingga saat ini Fajar. Ya, walaupun sikapnya sama sekali tidak berubah sedikitpun dari dulu hingga sekarang.
Pandemi selama dua tahun membuat jarak semua orang terpisah, kala itu aku beruntung memiliki satu teman. Jika saja Fajar tidak selalu mengajakku bergabung dengan kelompoknya, mungkin aku akan berdebu tanpa siapa-siapa yang memperdulikan sama sekali. Saat SMA aku terbilang bukan anak yang sangat pintar, atau anak yang atletis dalam olahraga. Kehidupan SMAku biasa-biasa, bersekolah di SMA Negri di dekat kampungku. Hanya saja strata sosial selalu saja ada dimanapun, terutama ketika pembagian kelompok. Mengingat jurusan sekolahku adalah IPA semua orang saling mengamankan posisi dengan bergabung bersama orang orang pintar. Aku yang biasa biasa saja kerap kali kesusahan mendapatkan kelompok yang mau menerimaku. Kenangan itu masih membekas hingga sekarang bahkan di bangku perkuliahan.
Di perkuliahanku, aku mengambil jurusan Pendididkan Bahasa dan sastra Indonesia. Memang jauh dari jurusanku yang dulu, tapi aku cukup bersyukur ada satu orang yang aku kenali ketika pertama masuk kelas dulu. Dan itu bukan main-main senangnya. Jika dipikir tolak ukur sikapku berubah saat kuliah itu adalah karena masa SMAku yang suram, jadi tidak heran Fajar selalu mengerjaiku setiap saat, mengingat diriku saat ini berubah karena situasi yang memang memaksaku begitu. Sikap dinginku yang ingin selalu ia rubah dengan kelakuannya tidak bisa berubah semudah yang dia pikir. Mengingat banyak hal yang aku rasakan hingga membentuk jiwa dan sikapku yang sekarang. Aku sudah Lelah dengan semua kenangan itu, cukup satu kali saja aku mengalaminya.
Aku takkan membiarkan hal itu terjadi kembali.
“Oh iya Li, bukannya lu harus pulang cepet?” Fajar sontak bertanya.
“Iya gua harus balik cepet hari ini, Ibu gua nitip makanan buat adik kecil gua. Punya saran?” Aku bertanya balik padanya, dia selalu tahu makanan makanan yang enak di daerah kota.
Fajar hanya tersenyum, “Emang mau adik lu itu apa, makanan enak banyak sih di kota!”
“Bebas sih, gimana kalau martabak?” balasku.
“Boleh, cukup murah plus yang paling penting enak. Lo ke Ceplak aja ke langganan gua, mampir dulu baru balik!” Aku hanya mengangguk hingga Anisa menghampiri kami.