Ginko Starting From A Dream

Miftah
Chapter #4

Jarak

Gelap, itu yang bisa kujelaskan saat ini. Perlahan kegelapan itu mulai lenyap berganti menjadi secercah cahaya putih bak sinar bintang dalam gelapnya malam. Cahaya itu perlahan mulai semakin cerah dan semakin besar. Silaunya tidak bisa aku ungkapkan, aku hanya bisa melihat semuanya putih, seketika aku menutup mataku perlahan dan kubuka mataku ketika sebuah angin lembut menerpa kulitku. 

“Tempat ini ….” Aku melihat keseluruhan tempat ini. Sebuah taman yang dipenuhi oleh pepohonan berdaun emas. Tak luput juga hamparan tanah di sekelilingku di penuhi oleh duan emas yang telah berjatuhan dan menumpuk secara rata menutupi tanah yang tengah ku pijaki. Aku mencoba untuk berjalan menyusuri keseluruhan tempat ini. Beberapa saat kupandangi taman yang ada disini. Berapa kalipun aku pandang, suasananya selalu membuat hatiku tentram. Beberapa langkah aku kerahkan kembali, hingga aku berhenti saat aku melihat seorang perempuan berkerudung putih. Pakaian yang di kenakan olehnya serba putih tapi dengan desain seperti itu dia bisa dengan mudah bergerak. Di tambah dia mengenakan jaket warna gading hitam. Seperti biasa dia tengah memegang kameranya. Aku mencoba mendekat tapi tak bisa seolah olah gerakanku dibatasi oleh sesuatu. 

“Apa kau lupa dengan hal kecil ini!” Perempuan itu berbalik kearahku. Saat itu aku tidak bisa melihat kearah wajahnya. Aku tidak tahu apakah dia tengah tersenyum ataupun tidak padaku, tapi nada bicaranya seolah olah mengatakan hal yang sangat serius. Aku berusaha mengangkat sedikit kepalaku hanya untuk bisa melihatnya. Namun harapanku tidak mudah untuk didapatkan, saat aku bisa menatapnya, perempuan itu dengan anggun berbalik hingga membuatku hanya bisa menatap pungunggunya.

“Terkadang hal kecil memang mudah dilupakan, tapi jangan lupa kamu telah berada di titik ini berkat hal kecil itu. Kuharap kamu tetap mengingtnya. Tetap mengingatku layaknya daun ini, Ali!”

Aku mencoba bergerak sekuat yang kubisa, tapi sama seperti sebelumnya gerakanku dibatasi. Aku mencoba berteriak mengatakan sesuatu tapi satu katapun tak bisa aku katakan. Seperti layaknya sebuah pohon yang hanya bisa diam, aku tak bisa bergerak dan berbicara senaknya kecuali hal lain yang menggerakanku. Seketika penglihatanku mulai memudar, kegelapan pekat memelukku saat itu.

“Haaah …” Mataku terbuka cepat bersama dengan diriku yang berteriak keras karena apa yang telah aku mimpikan. Dengan cepat aku mengambil ponsel yang ada di mejaku. Aku buka aplikasi catatan bawaan ponselku. Secepat yang aku bisa aku menulis apa yang telah aku mimpikan. Beberapa saat aku mulai menulis satu kalimat, tiba tiba saja setiap hal yang berhubungan dengan mimpi itu mulai aku lupakan. 

“Terkadang Hal kecil mudah dilupakan … Tetaplah mengingatku layaknya Apa?” aku bertanya pada didirku sendiri sembari membaca tulisan yang mulai aku tulis beberapa detik yang lalu. Aku sontak melihat keluar jendela setelah aku membuka tirai yang menutupinya. Beberapa daun yang hendak jatuh mulai menarik perhatianku. Diluar memang gelap, tapi itu tak menghalangiku untuk menatapnya dan berpikir mengenai beberapa hal. Sudah cukup lama aku menatap daun itu, kini aku tahu jawabnnya. “Layaknya daun ini ….” 

Beberapa kali aku mencari tahu mengenai daun berwarna emas, aku belum menemukan hasil yang sangat memuaskan. Aku menyerah mencari tahunya secepat ini, yang bisa aku lakukan hanyalah menjalani apa yang bisa aku jalani saat ini. Aku langsung bersiap untuk pergi ke pasar seperti yang biasa aku lakukan. Namun pikiranku tak bisa lepas darinya, “Tapi apa benar hal kecil itu mengacu pada daun yang dia pegang kala itu?” 

Aku mencoba berpikir kembali setelah memutuskan untuk melupakannya sejenak, akan tetapi semakin dipikir aku cukup pusing dibuatnya. “Hah, sudahlah besok saja. Aku harus segera menemui ayah disana!”  

Subuh telah siap menyambutku, aku bergegas pulang ke rumah. Ketika baru sampai dirumah aku langsung menuju ruang makan dan kutemukan ibuku serta adikku disana tengah bersiap-siap untuk sarapan. Dengan santai aku berjalan dan duduk bersama mereka mengambil beberapa makan yang ada di meja. Baru saja aku mengambil beberapa teman untuk nasiku ibuku dan adikku Hana tersenyum beberapa kali sambal menatapku. 

“Kenapa Mah, sunyam senyum begitu?” tanyaku heran. 

“Nggak papa kok, cuman senang saja melihat anak Mamah kelihatan sedang Bahagia dari kemarin. Apa kemarin kamu bertemu dengan seseorang yang membuatmu bahagia seperti sekarang, Mamah ingin menanyakan ini kemarin tapi tak sempat.”

Aku tersenyum pada ibuku, aku memang ingin menceritakanya tapi mendengar adikku Hana ketawa-ketiwi melihatku saat ini, aku tidak selara menceritaknya. “Kalau mau bilang sesuatu ngomong aja, senyam senyum gitu terus ada apa!” ucapku sedikit kesal. 

“Ya terserah aku aja, emang nggak boleh senyum melihat kakak sendiri?” balasnya. 

Aku menghiraukannya, sedangkan ibu ikut tertawa melihat tingkah laku kedua anaknya ini. Melihat ibu yang ikut makan bersama kami aku rasa adikku yang satu lagi kini tengah tidur pulas di kamarnya. Tidurnya cukup nyenyak saat setelah kemarin telah aku bawakan martabak untuknya. Setelah selesai makan, aku dan Hana membersihkan meja dan piring yang telah kami pakai sebelum melakukan kegaiatan lainnya dan siap berangkat sekolah. 

Keseharian kampus tidak jauh dari belajar, berorganisasi dan juga menghabiskan waktu hari itu dengan teman. Beru beberapa hari anisa kini berkuliah, awalnya aku cukup khawatir merasa dia tidak bisa mengejar ketertinggalannya. Siapa sangka waktu bukanlah masalah baginya. Berbicara mengenai waktu, tidak terasa banyak peristiwa yang aku alami. Jika aku tidak berkuliah di kampus ini aku mungkin tidak akan bertemu dengannya. Beberapa kali aku memikirkan sebenarnya siapa gadis dalam mimpiku itu, saat aku mengingatnya hal yang terpikirkan oleh otaku secara cepat adalah sosok Anisa yang tersenyum manis kala itu. Lagipula kurasa sosoknya dulu tidak seperti anisa entah apa yang kulihat saat ini tapi kurasa mimpi adalah proyeksi dari kenyataanbyang ingin sekali kau temui. Banyak senyuman yang telah aku lihat dari teman temanku. Tapi entah kenapa senyumannya sangat berbeda dari yang lain, aku hanya berpikir apa mungkin anisa adalah gadis dalam mimpiku itu. Dengan berani aku coba menanyakanya pada anisa dengan bercerita mengenai mimpiku semalam padanya. 

“Mimpi seperti itu aku belum pernah mengalaminya, ini mimpimu atau cerita dalam drakor Ali?” tanya anisa sambil tertawa kecil. 

Seperti biasa tawanya itu selalu mampu membuatku tersenyum tanpa ku sadari, “Aku hanya bertanya kan, apa benar ada drakor yang mirip dengan ceritaku itu?” 

“Aku tidak tahu, tapi kesan ceritamu padaku seperti mengajak ngobrol hal yang berbau fantasi di dunia yang nyata ini. Tapi percaya sesekali pada mimpi juga tidaklah buruk, setidaknya hal itu mampu membawa hatimu sedikit bahagia.” Seperti biasanya, ucapannya selalu tajam dan menusuk dalam diriku. Mengenai perkataanya aku kurang setuju itu karena mimpiku yang selalu aku alami itu membuatku penasaran tanpa henti, dengan kata lain aku mulai terobsesi dengan mimpi itu. 

“Oh iya ngomongin hal fantasi nih, coba kamu nonton drama korea. Aku menyarankannya setidaknya agar kau bisa berubah sedikit mengenai sikap dinginmu itu, kuharap kamu menjadi seperti layaknya tokoh utama yang baik pada semua orang!”

“Setiap orang memiliki sikapnya tersendiri, aku memang bisa meniru mereka tapi itu bukanlah diriku. Aku pernah melakukanya saat SMA dan hasilnya adalah diriku yang sekarang,” ucapku. 

Anisa berhenti berjalan seketika. Waktuku bertemu dengannya di jalan menuju kelas layaknya bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu. Namun aku yang mana seorang laki laki dingin, dan kurang bisa berbaur atau mencari topik dengan perempuan bahkan temanku sekalipun sering kali membuat mereka kecewa dengan sikapku ini. Aku berbalik melihat kepada Anisa. Tak seperti perempuan lainnya dia sangat berbeda, anisa tetap tersenyum tulus padaku walaupun dengan sikapku yang begitu. “Aku hanya memberi saran tidak memberimu perintah kok, tapi jika kamu menurutiku aku akan merasa senang sekali karena saranku diterima dan dilakukan.” 

“Entahlah, apa menurutmu aku bisa melakukanya?” tanyaku ragu. 

Anisa tersenyum hangat. Senyumannya itu serta dirinya sudah seperti matahari bagiku, seorang yang mampu mencairkan hatiku dan membangun semangat untuk mencoba hal baru. Tentunya berubah tidak akan mudah, tapi selama ada dirinya aku merasa bisa melakukan apa saja. Dari saat itu aku mulai terbuka dan dekat denganya, lebih dari teman kelas biasa. Dapat dibilang hubunganku dengannya layaknya sebuah sahabat yang saling mengingatkan. Ya meskipun kenyataanya hanya aku yang merasakannya begitu saat ini. Kurasa dia juga berpikir begitu. Beberapa kali teman temanku di kelas menanyakan hubungan kedekatan kami ini. Namun aku hanya menjawab ala kardanya saja.

“Yang benar Li, sejak kapan lu sering ngobrol ini itu sama Anisa?”

“Beberapa bulan yang lalu kok belum lama, emang kenapa?”

Lihat selengkapnya