Semenjak itu aku mulai memikirkan mimpi itu, sekarang yang aku rasakan bukanlah ketertarikan saja. Jika benar mimpi itu merupkan salah satu bentuk perhatian yang maha kuasa kepadaku untuk menuju jalannya maka aku harus memantapkan hatiku kan. Beberapa hal memang aku alami baik di perkuliahan ataupun kegiatan teater di kampusku. Ya aku sangat kesal kali ini, padahal ini baru saja semester baru tapi ketuaku selalu saja mengajak ribut. Aku sudah susah payah berada di tempat ini jika aku kalah karena ada sosok ketua tidak kompeten dalam kerjanya maka tekadku masih kurang kurasa. Tapi baru beberapa minggu aku sudah muak dengan gaya memimpinnya.
“Aku akan keluar ketua, tentunya setelah pentas ini!” ucapku tegas padanya.
Tatapannya tajam padaku, “Oke kau bisa keluar, kegiatan ini akan tetap bisa berjalan tanpa sekertaris sepertimu kok tapi gua hargai ucapanmu itu yang akan keluar setelah pertunjukan kita semua nanti!”
Aku hanya tersenyum kecil, beberapa kali telponku berdering. Aku hanya melihat siapa yang menelponku berulang kali seperti itu. Dia gigih sekali, “Telponmu berdering tuh, kau nggak akan meangangkatnya?”
“Aku akan mengangkatnya kok, tanpa kau katakan juga aku tahu dia akan memanggilku berulang kali!”
“Cepat angkat sana, abis itu kita semua geladi sekali lagi!” tegasnya padaku.
Aku bergegas mengangkat telpon dan tidak aku sangka orang yang menelponku berulang kali adalah ketua mahasiswa di kelasku. Ali menelponku beberapa kali, sangat jarang bagi Ali untuk menelponku seperti itu pasti dia memililki hal penting untuk dibicarakan, karna itu aku memaggilnya ke kampus. Itu yang aku pikirkan sampai saat dia tiba-tiba mengungkapkan perasaanya padaku. Aku cukup kaget dan sedikit menolaknya dengan dingin. Tapi aku sedikit penasaran kenapa dia bisa bersikap seperti ini tiba-tiba. Aku benar-benar tidak menyangka ketika dia menceritakan semuanya. Sepanjang dia bercerita padaku aku tertawa lepas hingga aku tersenyum mendengarnya. Ternyata saat kesal seperti ini mendengar cerita sialnya cukup membuatku tak kesal lagi pada seseorang. Beberapa detik setelah itu pun sikap ali mulai berbeda. Lebih tepatnya karna seseorang dia berubah.
“Kenapa melamun begitu, apa harus kuterima pujian tulusmu itu!” aku mencoba mengerjainnya sedikit lebih lama.
“Terserah itu keputusanmu!” balasnya padaku.
“Aku terima kok, terimakasih pujiannya. Sekarang mau gimana?”
“Pulang mungkin?” Ali tertawa lepas mengatakannya. Waktu itu benar aku nikmati, tapi itu tidak bertahan lama. Perasaan dari Ali seketika berubah sejak dia melihat seseorang di depan sana.
“Ternyata kau bisa tersenyum setulus itu ya, Anisa …” Sontak kata kata itu aku dengar dari mulutnya. Aku melirik kearahnya seketika dan langsung melihat apa yang sedang ia lihat saat ini. Beberapa kali tanganku ini aku mainkan di depan mata Ali, aku hanya keheranan melihat sikapnya yang tiba tiba berubah seperti ini. “Liat apa serius begitu!”
“Kurasa katamu itu salah, bukan melihat serius kok hanya memandanginya saja!” balasnya.
“Begitu ya memandangi pemandangan yang tidak bisa didapatkan ketika kamu di dekatnya, sudahlah Ali kau itu …” Aku terus bericara tanpa mengerti akan situasi dan perasaanya saat ini hingga aku sadar dia sangat menyukai Anisa. Ternyata rumor itu bukan bohong setelah aku melihat wajahnya saat ini.
“Kenapa nggak diterusin Amira …” Ali melihat ke arahku.
Aku terkejut melihat ali mulai menangis namun ia tersenyum seperti itu, rasanya aku pernah melihat hal seperti ini di drama-drama yang pernah aku tonton ternyata di dunia nyata juga hal seperti itu bisa saja terjadi. Air matanya perlahan membasahi pipinya, dan semakin deras air mata itu. Higga ali mulai mengetahui apa yang sedang terjadi dengan dirinya sendiri. Sosok laki-laki yang menahan perasaanya sendiri.
“Aku kenapa seperti ini ya, Apa kau tahu Anisa?” Sontak Ali tertawa mengatakannya, tapi aku tidak melihat hal yang lucu dari ungkapannya itu, bahkan aku hanya diam ketika dia salah menyebut namaku, sedalam itukah perasaanmu padanya hingga kau tak bisa membedakan namaku denganya.
“Aku bukan Anisa, tapi aku tahu kenapa kamu bisa seperti ini Ali!” ucapku pelan.
Aku hanya tersenyum seperti Ali yang saat ini tersenyum, mulai aku pandangi juga sosok Anisa yang kini telah menaiki motor bersama dengan laki-laki tidak aku kenal itu. Aku tidak tahu siapa dia, tapi melihat kebersamaan mereka dan apa yang tengah terjadi pada Ali saat ini, aku tahu bahwa laki-laki itu disukai oleh anisa, dan ali yang menyukainya juga kini sedang terluka akan perasaanya sendiri. Beberapa menit aku beri ruang dan waktu untuk ali menermia kenyataan dan takdirnya saat ini, kami hanya diam duduk bersama di taman itu demgan desiran angin yang menerpa cukup kencang. Siapapun pasti akan merasa Anisa dan laki laki itu adalah pasangan yang serasi jika mereka bisa tertawa dan saling tersenyum setulus itu. Satu hal lagi yang membuatku terkejut adalah senyuman Anisa disana membuatku teringat akan perempuan yang tersenyum di mimpiku.
“Apa dia perempuan itu, jika benar kenapa kakakku memimpikannya, tidak mungkin kan kakak berjilbab juga karna hanya ayah yang baru pindah agama …” Rasa pusingku memuncak ketika kata itu terlontarkan olehku dengan pelan. Di saat yang sama rasa kesalku kini muncul kembali walaupun penyebabnya berbeda kali ini. Melihat Ali yang masih murung seperti itu membuatku tambah kesal. Aku berteriak cukup keras melampiaskan kekesalanku. Dengan cepat menarik lengannya kuat.
“Sudahlah Ali ayok kita pulang, apa hanya karena melihat Anisa kau bisa menjadi seperti ini. Sikapmu ini tidak seperti dirimu yang biasa, aku sebel liatnya ayok pulang. Kau sudah membuatku begini, sekarang tangung jawab anterin sampe depan rumah, pokoknya nggak mau tau!” Aku terus menyeretnya ke tempat parkiran dimana motornya berada. Saat aku menariknya seperti itu pikiran perlahan mulai kembali.
“Tunggu, apa … coba balikan lagi apa katamu!” ucapnya keheranan.
“Pikir saja sendiri, anterin aku pokoknya!” teriakku lebih keras.
“Gladinya itu gimana?” tanya Ali padanya sambil berusaha melepaskan tanganku.
Cengkramanku itu aku kuatkan lagi setelah dia membuatku teringat pada kekesalanku sebelumnya, “Bisa sih kamu diam aku lagi kesel nih. Pokoknya turutin mauku aja Ok!”
“Tapi …”
“Diam, udah ikut aja jangan banyak tapi tapi!” teriakku marah.
***
Hari ini aku pulang agak telat dari biasanya, baru saja aku selesai solat magrib di masjid dekat jalan raya. Ini semua terjadi karena Amira yang tiba-tiba saja memaksaku mengantarnya pulang ke rumah. Setibanya di rumah seperti biasa aku mencoba menghubungi Anisa, bedanya kali ini perasaanku campur aduk setelah mengingat kejadian tadi sore. Namun seketika hatiku tidak kuat untuk mencoba menghubunginya. Ponselku masih saja aku genggam, tak lama dari itu ponselku bergetar ada yang menelponku. Nama Anisalah yang aku lihat di ponsel itu. Satu kali telponnya itu tidak aku angkat. Tetap saja, anisa menelponku lagi, aku menghela nafas perlahan menyiapkan perasaanku, lalu mengangkatnya.
“Assalamualaikum Ali, kenapa lama ngangkatnya,” ucapnya.
“Waalaikumsalam iya maaf Nis, kenapa nelpon malam-malam nggak biasanya!”
“Aku ada cerita nih, ternyata ada satu temen kelas yang satu pesantren denganku loh!”
“Begitu ya siapa Namanya?” tanyaku.
“Zidan!” Aku terkejut dengan apa yang baru saja ku dengar, setelah anisa mengucap nama itu dia menceritakan detail petemuan denganya sampai ceritanya itu berakhir ketika dia pulang bersama ke pondok. Saat mendengar ceritanya itu aku teringat kembali pada kejadian sore tadi, kini aku penasaran dengan sosoknya seperti apa.
Dari penjelasan Anisa, zidan adalah seorang santri yang sama-sama menuntut dan mendalami ilmu agama di pondok pesantran yang sama. Terlebih dia juga adalah anak yang berprestasi baik di pesantrennya maupun di kampusnya, nilai plusnya dia adalah keponakan pengajar di sana. Sejujurnya aku kurang tahu mengenalnya, mendengar kelebihannya itu secara tidak langsung aku mulai membandingkan dirinya denganku yang memang tidak memiliki apapun yang bisa aku banggakan. Aku bukanlah pria yang paham akan agama secara mendalam tidak seperti anak pesantren walaupun ayahku adalah seorang santri dulunya. Aku bukanlah mahasiswa yang penuh akan prestasi baik di bidang akademik atau non akademik. Satu hal lagi aku bukanlah anak baik karna sikapku begitu dingin dan cukup sulit berbaur dengan yang lainnya. Pada intinya aku hanyalah seorang karakter tambahan seperti hal yang lainnya aku hanyalah mahasiwa dan seorang pria biasa yang banyak ditemukan di manapun, sosok pria yang masih terus mencari jati diri.
“Menurutmu Ali gimana tadi aku pulang ke pondok bareng bersamanya?” tanya anisa.