Ginko Starting From A Dream

Miftah
Chapter #9

Terhubung

Mungkin ini sedikit agak egeois tapi aku sudah tidak memiliki kesabaran untuk melihat orang ini terus murung seperti ini. Meskipun nada bicaranya terasa kasar seperti itu aku hanya tersenyum mendengarnya. Sikapnya itu seolah memperbolehkanku untuk terus mengusilinya. 

“Ya kurasa tidak papa kan sedikt lagi aku menjahilinya …” Senang rasanya aku memikirkanya.

Kata pertamaku setelah aku mengusilinya dan tersenyum di depannya adalah ceritaku tentang diriku sendiri yang mendengarkan perbincangan antara Ali dengan Anisa. Tentunya aku mengatakan semua yang aku rasakan saat itu. Tentang rasa kesalku, serta beberapa kali aku memikirkan kenapa perasaan itu bisa membuat Ali menjadi seperti ini. Aku mengatakan itu karna aku sendiri belum pernah merasakan hal yang namanya jatuh cinta. Sebenarnya aku masih bingung cinta itu apa, dan seperti apa bentuknya. Sudah banyak kisah yang aku lihat baik dalam sebuah drama ataupun dari kehidupan ini tentunya cerita orang lain. Meskipun aku berpikir untuk tidak hanya membaca kali ini aku coba untuk masuk dan menjadi salah satu tokoh di dalam kisahnya Ali dan Anisa ini. Meskipun hanya sebatas teman mengobrolnya, aku mungkin bisa mengetahui hal itu. Termasuk dengan mimpi yang selalu aku mimpikan, sebagai akar dari semua tindakanku sekarang. Sebelumnya aku belum pernah berbicara seperti ini pada siapapun tapi denganmu Ali kurasa aku bisa mengatakannya. 

“Aku mendengarkan percakapan kalian saat aku makan, menurutmu sendiri, Ali cinta itu seperti apa. Apa memang cinta itu membuat sebuah rasa sakit?” 

Aku hanya menatap matanya. Dia hanya menunduk lalu perlahan menatapku dengan cukup kesal, “Kau pasti pernah merasakannya juga kan, kenapa kau menanyakan hal itu!” 

“Aku belum pernah merasakannya kok, selain cinta dan kasih sayang dari kedua orangtuaku!”

“Kasih sayang orangtua bahkan cinta mereka berbeda dengan cinta yang kau torehkan pada orang lain. Kau akan merasakannya nanti, pasti ada masanya dan rasa itu memiliki pemicunya!” 

Aku hanya tersenyum mendengarnya, “Lalu pemicu kamu mencintainya apa Ali, bisakah kau beritahu padaku?” 

Ali hanya memalingkan wajahnya dan menjawabnya cepat tapi suaranya kudengar sangat pelan. Aku menanyakan alasannya kembali karna sebelumnya tidak jelas ku dengar sambil mempermainkanya kembali. Beberapa kali Ali enggan mengatakannya dan perlu aku bujuk beberapa kali untuk mendengar kembali jawabannya itu, meskipun di kesal mengatakanya. Satu kata yang mampu membuat wajah Ali memerah seperti adalah karna jawabannya itu hanya sebuah senyuman. Aku tidak tahu alasan dia mengatakan itu tapi apa mungkin seorang pria akan menyukai wanita hanya dengan senyumannya saja. Aku tidak percaya itu. Pria yang duduk di sampingku ini sungguh aku tidak bisa menduganya dia cukup aneh. 

“Kenapa senyuman bisa membuatmu menyukainya?” tanyaku singkat. 

“Senyumannya mengingatkanku pada seseorang dalam mimpiku, apa kau puas Amira kenapa kau selalu menanyakan ini itu ketika kondisiku seperti ini sih!” ucap Ali cukup kesal dan berat saat menjawabnya.

“Karna seru, apa jawaban itu cukup?” aku menjawabnya riang dan tersenyum. 

“Haah!” Ali langsung terkejut seketika mendengar jawabku. Melihat dia hendak berbicara kembali dengan cepat aku melakukan sesuatu.  

“Gih minum dulu, tenangin perasaan yang hancur itu!” Aku menyuruh Ali meminum minuman yang aku berikan sebelumnya padanya. Beberapa kali Ali melihatku ragu, aku hanya tersenyum seperti biasanya agar ida mau menerima ketulusanku. Ingin aku usili lagi atau menanyakan mimpi apa yang dia maksud. Beberapa menit kami hanya duduk berdua di bangku itu tanpa ada suara dariku ataupun darinya. Sunyi, kurasa jika ini terus berlangsung aku akan duduk di sini semalaman terlebih ini sudah sore aku tidak tahu waktu akan berlalu cukup cepat. 

“Ali pulang yuk!” 

“Tentu silahkan kau duluan!” 

Aku hanya tersenyum lalu mengehal nafas. Apa hatinya dan perasaanya itu tidak bisa peka sedikit dengan perkataanku, padahal itu adalah kode yang aku berikan agar dia mau mengantarkanku seperti kemari. Ternyata dia masih saja cuek dan dingin, lelaki yang tidak peka. Kurasa Ali memang seperti ini tapi jika dipikir kembali kok agak menyabalkan ya, apa semua laki-laki yang telah tertolak secara langsung akan bersikap begini dalam menenangkan perasaan mereka. 

“Ayok anterin dong kau kan udah aku kasih jus itu!” 

“Aku bayar nih berapa? 7 ribu kan!” ucapnya sembari mengeluarkan uang dan meletakanya di meja agar terlihat olehku. 

“Aku tidak terima uang, jasa yang aku butuhkan!” 

Ali menghela nafas saat aku melihatnya begitu dia berdiri cepat dengan kesal mengajakku untuk segara pulang. Namun di saat kami hendak pulang dia pergi solat sebentar berhubung baru saja adzan asar. Kau tahu satu hal yang membedakan Ali seteleh dia keluar dari masjid kampus kami, entah kenapa aku merasa emosinya cukup baik tidak seperti sebelumnya dan untuk memastikannya kembali seperti sebelumnya aku mengerjainnya, “Oh iya aku mau mampir membeli sesuatu nanti kamu anterin aku sekalian ya!” 

Ali hanya tersenyum pasrah, “Ya asal jangan lama, aku juga harus balik Amira!” 

Aku tertawa mendengarnya. Tanpa ada kata-kata lagi aku langsung pergi ke tempat parkiran dimana motornya berada dan tanpa menunggu Ali menaiki motornya itu aku sudah duduk disana. Beberapa kali Ali mengeluhkan tingkahku itu. Namun ternyata mengusilinya cukup asik dari yang aku kira. Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya bahkan pada siapapun setidaknya aku cukup kenal Ali dari salsa. Beberapa kali salsa membicarakanya karna dia suka pada Ali namun dia hanya memendam perasasaanya dan hanya berbicara padaku saja. Aku hanya berpikir kasihan sekali sahabatku itu memiliki cinta tak terbalas, hanya dia saja. Namun aku cukup terkesan dengan bagaimana cara dia mengatur perasaanya, tidak seperti laki-laki yang di sukainya ini. Secara teknis kejadian mereka cukup sama. Gambaran besarnya adalah orang yang mereka sukai menyukai orang lain yang mereka kenal, yang membedakannya adalah tanggapan dari kedua orang ini. Satu hal yang aku ingat dari Salsa saat menyadari bahwa Ali menyukai Anisa. 

“Sepertinya aku harus berusaha untuk mengungkapkannya, lain kali akan ku amati dari jauh,” ucapnya ketiak dia berada di dekatku dulu. 

“Jadi kau akan belajar dari kekalahamu ini ya Sa, apa begitu situasimu saat ini?” tayaku padanya. 

Lihat selengkapnya