Malam itu cukup dingin, tidak sedingin perasaanku saat ini. Meskipun aku cukup kecewa dengan apa yang telah terjadi tapi aku tetap tidak bisa berbuat apa-apa mengenai dirinya. Perasaan yang aku miliki telah aku sampaikan sebisaku padanya, meskipun tersirat tentunya. Karna aku tidak ingin kami menjadi canggung. Terlebih aku tahu bahwa Anisa menyukai orang lain yang mana dia adalah salah satu temanku di SMP. Meskipun kami tidak satu kelas tapi aku tahu betul seperti apa orangnya. Aku tahu dia adalah kenalanku di bangku SMP ketika Anisa berbicang menceritakanku padanya sembari menunjukan fotoku sekarang. Tidak aku sangka juga dia akan berkuliah di sini juga, mengingat dulu dia adalah jagoan di Angkatan kami dulu.
“Kini aku menjadi penghubung kedekatan mereka berdua,” batinku tersayat lagi.
Tidak aku sangka sama sekali pikiranku akan terus memikirkannya apalagi setelah kata katanya di kantin tadi siang tentang perasaanya yang jujur itu. Senyuman tulusnya itu membuatku tidak bisa berkata-kata selain mengutarakan isi hatiku. Disukai oleh perempuan seperti dirimu adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagiku, tapi itu adalah hal yang mustahil bagiku untuk saat ini. Hingga tamparan keras lainnya aku terima dari Amira sore harinya. Aku tahu cinta merupakan suatu yang buta tapi cinta juga merupakan sebuah anugrah yang memiliki kekuatan besar itu menurutku, karna bersama Anisa meskipun hari-hariku sangat singkat dan biasa saja tidak ada istimewanya dimatanya tapi di mataku hari-hari itu adalah hari yang mengubah diriku seutuhnya. Aku mencoba untuk bisa setara dengannya dalam berbagai hal, baik prilaku, sikap bahkan hal ilmu agama. Aku tiap harinya belajar begitu keras untuk bisa sebanding denganya berharap dia akan menganggapku sebagai seorang pria yang layak untuk berdiri di sisinya menuntun dan melangkah bersama. Bukan sebagai seorang adik yang terus ada untuk dilindungi oleh kakak perempuannya.
Aku tahu aku bisa dikatakan egois sekarang, dan jika dipikir ini mungkin puncak ke egoisanku dalam menyukai seseorang. Sepanjang jalan aku memikirkannya. Jika memang seseorang akan ditakdirkan dengan cerminanya sendiri lalu apakah perasaanku selama ini salah karana telah menyukainya. Seluruh usahaaku agar bisa setara dengannya mencoba untuk manjadi sosok yang lebih baik layaknya dirinya. Lalu kenapa rasa ini hanya aku saja yang merasakannya. Aku selalu berpikir belakangan ini. Entah kenapa setiap ada orang yang aku sukai orang itu telah menyukai orang lain. Apa dia tidak bisa menyukaiku saja yang telah berjuang dan berusaha untuknya. Salahku apa, apa salah karena telah menyukai dirinya, kenapa ini selalau terjadi pada orang biasa sepertiku. Tidak memiliki kemampuan apapun, tidak memiliki prestasi dan hanya ikut kedalam beberapa organisasi bahkan di dalamnya hanya sebagai anggota. Orang yang tidak mencolok sepertiku apakah memang telah ditakdirkan tidak akan ada yang akan menyukaiku meskipun aku berusaha keras menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Apakah tidak ada seorangpun yang tertarik padaku. Aku selalu memendam perasaan seperti itu. Di pikiranku yang terdalam pada malam itu aku cukup menahaan emosiku sembari memberikan tumpangan pada orang yang telah menamparku dengan kata katanya.
“Bagaimana tanggapanmu tentang daun yang gugur ….” Itu inti hal yang dia katakan padaku sebelumnya membuatku berpikir berulang kali. Kata-katanya mirip dengan perempuan yang ada dalam mimpiku. Membantu dengan membuatku berpikir tentang ini dan itu.
Sejujurnya aku masih belum mendapatkan jawabannya meskipun telah dia katakan dan ceritakan padaku dalam perjalan kami. Waktu terus berlalu aku rasa daun gugur itu terjadi karena waktu yang membuatnya harus rela berkorban demi sang pohon agar pohon itu dapat hidup lebih lama, terutama pada pohon-pohon yang mengalami empat musim. Apa itu maksud dari perempuan di mimpiiku, jika benar Amira sama mengalami mimpi yang mirip denganku, sejauh mana dia memikirkannya. Bahkan dia tidak pernah mendengar ucapan mereka dan hanya melihat semuanya.
“Amira apa kau mau mampir sebelumnya beli martabak?” tanyaku padanya sembari memikirkan banyak hal. Entah kenapa dia mulai dekat denganku hingga aku mulai rela dan biasa mengantarnya pulang seperti ini, tapi bukan berarti aku sama sekali tidak ingin mengantarkanya tapi jika dipikir tetap aneh rasanya aku terbiasa dengan sosoknya.
“Boleh kok, kenapa tiba-tiba mengajakku beli martabak ali?”
Aku hanya diam memikirkan alasan lain untuk segera menjawab perkataanya itu, “Amira kenapa kau selalu datang ketika aku merasa terpuruk?”
Banyak hal yang aku pikirkan sembari menunggu jawaban darinya bahkan sempat terpikirkan bahwa dia menyukaiku tapi itu mustahil bagiku, perempuan secantik dia mana mungkin menyukai diriku yang dingin ini bahkan jika dipikir kembali kebersamaan kami hanyalah sebuah pertengakaran saja. Tapi bukankah bisa saja aku berharap begitu karna saking sakitnya perasaanku saat ini. Mungkin terdengar agak egois tapi aku hanya ingin mendengar kata kata aku meyukaimu dari wanita yang kusuka. Jika amira mengatakan hal itu apakah hatiku ini akan berdebar, kurasa tidak. Tapi jika hatiku berdebar, apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
“Tidak ada alasan khusus untuk mendekati dan menjalin pertemanan dengan seseorang kan, terlebih kisahmu menarik bagiku. Jika dipikir kembali dengan berteman akrab denganmu apa aku bisa dianggap sebagai karakter dalam kisahmu ini?”
Aku tertawa mendengarnya, memang setiap manusia memiliki kisahnya, baik itu kisah romantis, perjuangan hidup atau apapun itu. Jika berbicara kisah romantis sejauh ini tidak ada hal yang aku rasakan berkembang diantara kami, aku hanya mencintainya sepihak. Lalu jika berkata tentang cinta aku masih belum mengerti sepenuhnya. Ketika melihat anisa hatiku berdebar, di dekatnya nyaman, saat melihatnya tersenyum dan bahagia akupun merasa hal yang sama. Lalu ketika dia resah perasaanku juga turut mengikutinya, perasaanku resah dan bimbang ketika untuk pertama kalinya saat itu sikapnya berbeda padaku hingga pada akhirnya hubungan kami naik tingkat menjadi seperti kakak beradik. Ya walaupun anisalah yang selalu menganggapnya seperti itu, setiap sikapnya padaku seperti kasih sayang seorang kakak pada adiknya. Aku tahu hal itu karena aku juga adalah seorang kakak di keluargaku.
Sepertinya aku harus mulai melupakannya sebentar, ini bukan berarti aku menyerah dengan perasaan ini. Jika memang kami adalah jodoh maka dia akan kembali padaku apapun yang terjadi dan jika dia bukan jodohku aku tetap bersikeras akan berdoa agar aku berjodoh dengannya. Ini memang egois tapi aku belum pernah menemukan wanita yang menarik perhatianku lagi, terlebih dia sangat mirip dengan perempuan di dalam mimpiku itu.
“Begitu ya, kalau begitu kita lihat apakah kau akan sanggup melihat kisahku ini dari dekat sampai akhir atau tidak?” ucapku pada Amira.
“Apa kau bercanda, jika aku mulai merasa bosan aku hanya perlu mengubah kisahmu kan!"
“Caranya?” tanyaku singkat.
“Dengan mengusilimu?” Amira langsung tertawa.
Aku tertawa mengikutinya, lalu melaju dengan stabil baik pikiranku maupun kecepatan mengemudiku. Selama beberapa jam kami berjalan jalan di Kawasan pedagang kaki lima di daerah ini. Aku tidak akan berpikir akan berjalan-jalan dengan perempuan yang tidak memiliki kaitan darah denganku. Jika dipikir kembali ini adalah kali keduanya aku menemani perempuan berjalan-jalan dan berbelanja makan di tempat semacam ini. Tidak perlu ditanya siapa yang pertama, perasaanku bersamanya berbeda. Mereka berdua memilki aura yang hampir sama namun berbeda. Entah kenapa aku bisa menganggap amira sebagai tempat sandaranku sejenak kali ini, sebelum kembali untuk bangkit lagi.
Perkatanya tentang melupakannya membuat perasaanku sakit tapi aku tidak boleh terus murung benar begitu kan. Aku hanya perlu berusaha lebih keras agar bisa sepadan dengannya dengan caraku sendiri kali ini. Bukan begitu amira, apa itu yang ingin kau katakan padaku dengan kata-kata kasarmu itu. Sebagai gantinya aku akan membuatmu terharu dengan kisahku ini.
“Terimakasih Amira, sudah menjahiliku sejauh ini” ucapku perlahan.
“Apa Ali tunggu aku tidak mendengarmu,” Amira kembali sibuk dengan pembayaran makanan yang dia beli, saat itu aku hanya tersenyum padanya. Aku tidak pernah memikirkan ini sebelumnya tapi aku ingin tahu sebenarnya seperti apa wajahku ketika sedang tersenyum seperti ini. Sebuah senyuman tulus yang baru aku pikirkan selama ini.
“Kenapa bengong?” tanyaku padanya.
“Tumben senyuman seperti itu, lagi mikirin hal menyenangkan ya, aku senang kau sudah merasa baikan sekarang.”
Mendengar ucapannya itu membuatku berpikir kembali apakah Anisa pernah mengatakannya juga kurasa tidak, hanya Amira yang mengatakan itu padaku. Perasaanku mudah sekali berubah, apa aku sesenang itu jika dipuji seperti ini. Jawabanya adalah iya tentu aku menyukainya. Siapa yang tidak suka ketika seseorang memujimu secara tidak langsung tapi di saat yang sama kau mulai berpikir kenapa kalimat itu tidak pernah terdengar keluar dari mulutnya Anisa. Ya perasaan itu begitu rumit bagiku yang tidak pernah menjalin hubungan lebih dari sebuah pertemanan. Ini lebih seperti obsesiku yang berlebihan.
“Ali ayok kita pulang, ini sudah terlalu malam kurasa ayah dan ibuku bisa khawatir” Amira mengatakan itu dengan serius, seketika aku mulai teringat akan keluargaku juga. Perlahan aku membuka ponselku untuk melihat waktu kami saat ini, aku cukup terkejut waktu isya telah terlewat selama satu jam. Aku terlalu larut dalam perasaanku hingga lupa akan kelurgaku sendiri. Saat amira mangajakku pulang aku mengangguk dan mulai menyalakan motorku kembali. Selama dalam perjalanku ponsel ku berdering beberapa kali. Hal yang sama terjadi pada Amira. Dalam perjalan kami itu aku mendengar Amira berbincang dengan ayahnya.
“Hehe aku akan segera pulang kok!”
“Iya-iya aku nggak akan kemana-mana lagi kok, lagian aku lama juga bawa sesuatu untuk kalian kok ….”