Pagi itu sebelum aku kembali pulang dari rumahnya Amira aku sarapan bersama seluruh keluarga mereka. Tentu saja perempuan yang tidur di sebelahku malam itu ikut makan bersama. Parasnya lebih cantik dari sebelumnya. Kurasa itu karena darah ibu mereka, tidak heran jika Amira sama seperti kakaknya itu yang aku pikirknan sebelum aku tahu kebenaran dari keluarga ini, “Kakakmu ternyata mirip dengamu ya!”
Amira hanya tersenyum, “Apa begitu mirip ya, padahal kami tidak ada ikatan darah sama sekali!”
Saat mendangarnya aku terkejut. Kepribadian yang mirip serta paras yang cukup identik satu sama lain tapi mereka bukanlah saudara sedarah. Aku tidak percaya mendenagrnya. Itu yang aku tunjukan dari ekspresi mukaku. Beberapa kata-katanya mulai ia lontarkan dengan senyuman, “Ternyata kamu bisa membuat ekspresi seperti itu ya, kamu sudah mulai berubah lebih baik!”
“benarkah?” ucapku datar. Amira hanya tersenyum kembali.
“Sekarang jadi sama lagi, sudahlah lupakan saja. Sana pulang ke tempat asalmu?”
Aku tersenyum, “Kau menyuruhku mati ya, Amira!”
“Nggak juga, apa kau segitunya ingin mati ya Ali?”
Aku tertawa kecil mendengarnya, “Aku akan pulang sekarang, sampai bertemu nanti di kelas!”
Amira ternyum dan melambaikan tanganya padaku. Pagi itu aku kembali pulang kerumah melanjutkan aktivitasku seperti biasanya. Tanpa sadar beberapa hari setelahnya kami mulai dekat dan cukup banyak bercanda satu sama lain. Bahkan teman-teman sekelasku mengatakan padaku bahwa aku sudah mulai berubah karena Amira. Dan Amira juga sama, dia berubah karenaku begitulah kata mereka. Satu hal yang biasa aku tanggapi adalah sikap usil dari temanku fajar yang setiap ucapanya itu selalu membutku kesal.
“Ouh ternyata Ali sekarang dekat dengan amira ya hingga beberapa hari terakhir ini kau selalu bersama denganya. Ternyata permainan itu ampuh juga ya nggak dapet ukhti dapetnya idol!”
Aku hanya memiringkan kepalaku, “Begitu ya?”
Fajar hanya terkekeh, “Kenapa teman dekatku jadi seperti ini ya allah!”
“Apa ada yang salah dengan sikapku ini?”
“Nggak sih, lu lebih bagus dari biasanya. Kami terkejut akan hal itu, sampai bertanya tanya kemana sosok sang tiran kami ini menghilnag. Ya kurasa seseorang bisa sembuh kembali jika dekat dengan wanita setelah cintanya bertepuk sebelah tangan!”
“Kau mengejekku ya, ternyata kau sama sekali tidak berubah ya Jar ….”
“Tentu saja siapa lagi kalau bukan aku yang menghibur di sini!”
Saat mendengar hal itu aku hanya tersenyum, beberapa hal yang dia katakan tidak salah. Dulu aku berubah karena sosok Anisa. Serta sosok perempuan yang ada di mimpiku itu. Kurasa Amira bukan menjadi pemicuku berubah. Yang menentukan berubah tidaknya seseorang itu ada pada diri mereka sendiri. Bukan karena orang lain. Meskipun ada beberapa orang yang merubah dirinyaa untuk seseuai dengan orang lain. Kurasa itu menjual dirimu sendiri demi kebohongan. Aku sedikit demi sedikit berubah karna sekitarku, aku tidak akan menyangkal hal itu. Ku akui itu terjadi dan kurasa ada hal yang memang harus aku lakukan kedepannya. Ini mungkin egois tapi, setiap pertemuan yang aku alami, berbagai orang yang membuatku berpikir akan sesuatu membuatku lebih membuka luas penglihatanku dan berubah menjadi lebih baik lagi. Ya meskipun kehadiran orang lain itu turut andil dalam perubahan diri seseorang tapi yang menentukan pilihan untuk berubah itu tetap ada pada diri kita sediri. Bukankah begitu.
Waktu terus berputar, kini aku telah mempuh semester empat akhir, dalam keseharianku aku mulai mencari jati diriku. Sebenarnya ingin aku bawa kemana arah hidupku ini. Bagaimana aku memulai perjalanan dan bagaimana aku menulis setiap pertemuan yang aku alamai demi membuahkan hasil untuk mengakhiri kisahku ini. Aku selalu berpikir akan hal itu. Hingga aku kembali teringat alasan lainku memilih jurusanku di perkuliahan.
“Cerita ya, sudah berapa kali aku gagal dalam menulis dan membuatnya ....” Aku mengingat kembali beberapa perjuanganku di semester semester sebelumnya. Beberapa lomba menulis cerita telah aku ikuti, beberapa karyaku ada di berbagai platform penulis. Aku menemukan satu platform yang membuatku tertarik untuk menulis di dalamanya. Juga ada beberapa event lomba yang bisa mereka selengarakan tiap tahunya dengan berbagai tema yang cukup menantang penulis pemula sepertiku.
Aku membuka aplikasi itu, beberapa Riwayat penulisanku masih sedikit. Tergolong hanya ada tiga dari setiap jenis yang kutulis. Pertama ada cerpen, kedua ada novel dan terakhir adalah naskah film. Melihat beberapa karya itu aku hanya bisa tersenyum, “Perjuanganku masih panjang, ini baru saja dimulai!”
Dalam keseharian mahasiwa baik di dalam organisasi, perkuliahan ataupun kegaitanku dalam membantu kedua orangtuaku aku semapatkan untuk memulai menulis kembali. Sayang sekali aku selalu tergiur untuk tidak konsisten melakukanya. Memang benar menulis itu adalah proses kreatif yang banyak menguras segala hal. Baik waktu pikiran bahkan emosi. Jika kau tidak menikmatinya aku tidak akan pernah bisa selesai. Dengan kata lain kau perlu satu tujuan yang melatar belakangi dari setiap kegiatanmu, hal itu akan dijadikan sebagi tujuan dan tekad yang tak akan pernah habis untuk membutmu tetus berjuang. Rasa Lelah pasti ada, rasa bosan juga paasti menyerang karna itu adalah rintangan yang harus dihadapi sebagai runtuian kisah alami yang sering kali di alami oleh manusia.
Terkadang harapan dan doamu mungin belum terkabulkan oleh yang maha kuasa, rasa kecewa pasti ada rasa sakit hati pasti memelukmu erat bahkan kesedihan dan pertanyaan menanyakan kekuatan doa akan menyerangmu. Diselimuti tangisan kuat akan kegagalan dari jerih payahmu itulah yang membuatmu semakin kuat. Pengalaman dari kekalahan dan kegagalan adalah hal sakit yang harus dilalaui setiap pejuang. Aku selalu memikirkan itu ketika aku melihat karya-karyaku yang tak terpilih dalam kategori juara meskipun aku telah memaksimalkannya dalam segala hal.
“Apakah pada akhirnya aku akan berhasil ….” Aku bertanya pada diriku sendiri saat ini.
Angin lembut kini menyapaku layaknya teman yang begitu dekat ketika kami bersentuhan. Aku hanya tersenyum mengingat setiap jejak waktu yang telah aku lewati selama ini. Sudah terhitung 4 semester telah aku lalaui di kampus ini. Dengan tabah dan sabar menerima kenyataan bahwa aku hanya bisa berkuliah di kota asalku. Tentunya dengan sikap yang masih tak berubah. Jika dipikir-pikir kembali, aku masih sama dengan ali yang dulu baru pertama kali masuk ke kampus ini. Hanya saja yang membedakannya kini aku jauh lebih bisa menempatkan sikapku di berbagai situasi, terlebih kali ini aku berusaha lebih menikmati setiap proses yang aku lalui. Itu yang aku aku rasakan.
“Ali kamu ngapain duduk termenung seperti itu?” Suara perempuan lembut mengajakku berbicara. Sontak aku langsung melihatnya kebelakang. Perempuan yang mengajakku berbicara tadi adalah salah satu anggota tim ku di divisi humas kuliah kerja nyata. Jika dipikir kembali waktu memang berjalan sangat cepat.
“Hanya masa lalu, persiapannya sudah siap ya?” aku bertanya mengenai perisapan dari kelompok kami. Berhubung banyak sekali kegiatan kami hampir selesai kami hanya tinggal mengundang beberapa tokoh masayarakt untuk mengikuti penutupan kegiatan ini. Meskipun tinggal menghitung hari menu penutupan aku tidak pernah sekalipun mengeluh dengan jalan yang telah aku lalui. Terlebih ketika sudah tak kumimpikan lagi mimpi itu.
Memang rasanya aku ingin sekali bertemu denganya meskipun hanya sebentar di dunia ini bukan hanya di mimpiku saja. Tapi kurasa takdirku tidak pernah akan sampai pada harapan kecilku itu. Bahkan jika dipikir kembali sama sekali tidak aku sangka bahwa Anisa akan satu kelompok denganku di kegaitan KKN ini. Bahkan laki laki yang dia sukai juga ada di kelompok yang sama denganya. Beberapa kali kami sempat mengobrol, sejujurnya aku tidak terlalu kenal dengannya yang saat ini.
“Ali kau sungguh jahat, masa taman sekelas sendiri di SMP kau tak kenal sama sekali?”
“Maaf Zidan, kau tahu sendiri kan sifatku dari dulu seperti apa?” ucapku lembut.
Wajahnya tersenyum hangat dan riang, kini aku tahu mengapa beberapa wanita di kelompok kami ini menyukai pria ini, termasuk Anisa. Senyum yang menenangkan itu kurasa yang membuat semua orang senang. Berbeda denganku, jika dipikir kembali senyumanku seperti apa ya. Kurasa cukup kaku dengan penampilan wajahku yang dingin ini. Aku tahu aku berusaha untuk melupakan Anisa sebisaku tapi jika melihat kedekatanya bersama dengan Zidan disini selalu menusuk hatiku. Hal yang bisa aku lakukan hanyalah berpura pura tak memilki perasaan terhadapnya. Dengan kata lain berusaha menyembunyikan perasaanku sendiri.
Setiap kali aku mendukung saran dan masukan yang zidan ucapkan, bahkan ketika aku membantu mereka berdua dalam menyelesaikan pekerjaan kelompok kami. Balasan dari mereka membuatku sedikit merasa senang. Kini aku tahu makna dari perkataan beberapa ustadz yang pernah kau dengar ceramahnya. Jodoh itu adalah cerminan diri, ketika melihat mereka berdua tersenyum dan berterima kasih padaku seketika pepatah itulah yang langsung terbisit di kepalaku. Dengan berat hati aku tersenyum membalas mereka, tentunya aku menutupi perasaanku seperti biasanya. Aku memang ingin melupakanya sebentar untuk mempersiapkan diriku untuknya, tapi jika seperti ini persaanku terus saja diombang ambing khususnya oleh kekalahan.
“Jika amira ada di sini kiranya apa yang akan dia katakan padaku ….” Sontak aku bergumam menyebut namanya. Saat tersadar kembali Anisa dan Zidan bertanya padaku mengenai kemajuan kerja divisi humas yang aku pegang dalam pelaksanaan penutupan KKN ini. Mereka bertanya dengan halus padaku, dan tentu saja kujawab dengan biasanya, singkat padat dan jelas.
“Tentu saja, aman semuanya sudah diundang kok!”
“Begitu ya kalau begitu terimakasaih informasinya, oh iya ketua pelaksanaya lupa kau harus mengundang beberapa ketua pemuda juga, bisakah kau menyampaikan surat undangan mereka hari ini Ali?” jelas Zidan dari divisi acara, lalau tersenyum padaku.