Ginko Starting From A Dream

Miftah
Chapter #13

Jalan Lain

Suara kereta bergema dari dalam. Aku kini tengah berada di salah satu gerbong kereta kepulanganku dari bandung selepas kegiatan magang tiga bulan berakhir. Selama berada di bandung setelah kejadianku kembali berteman dengan citra aku mulai memimpikan hal lain dari mimpi bertemu perempuan yang kusuka di taman itu. Rasanya mimpi yang terus aku alami adalah hal yang mengerikan. Meskipun pada akhirnya mimpi itu tetap saja ada. Kali ini seluruh indraku bisa aku rasakan saat disana. Suara tembakan, dinginnya tubuh orang yang meninggal di pelukanku, bahkan rasa sakit dimana aku tertembak. Sedikit aku ingat wajah perempuan yang menembakku. Beberapa ucapanya sangat jelas aku ingat, hanya saja aku tidak tahu siapa itu. Lalu jika aku tahu juga tidak mungkin kejadian itu akan terjadi di dunia nyata. Bahkan mimpi yang awal yang aku alami saja masih belum aku alami secara langsung di dunia nyata. Aku terus melihat keluar jendela kereta, teman temanku yang ikut mangang hampir tidak ada yang sangat dekat denganku. Dengan kata lain dalam kegaitan magang ini tidak ada siapapun yang mau berangkat ataupun pulang bersamaku. Intinya aku sendirian selama ini, itu yang aku rasakan. 

“Apakah mimpi itu akan berakhir ketika aku berada di kota asalku ….” Beberapa kali mulai aku pikirkan pertanyaan seperti itu. Siapa juga yang mau memimpikan hal-hal yang mengerikan setiap malamnya. Aku adalah pemuda yang ingin mersakan bahagia juga, setidaknya jika di dunia nyata penuh rintangan maka kuharap di dunai mimpi lebih terasa menyenangkan. Tapi kali ini, kenapa. Ya allah mimpinya terlalu keras.

Aku mengehala nafas dalam kereta itu, beberapa kali orang sekitar melihatku. Aku hanya tersenyum dengan situasiku saat ini. Jika mimpi itu terus mendatangiku aku jadi penasaran sifatku akan berubah sejauh mana. Jika mimpi bertemu dengan perempuan yang aku suka dapat membawaku sejauh ini mengenal perasaanku sendiri dan mempertanyakan apa itu sebenarnya cinta dan kenapanaku selalu menginginkannya. Maka apa jadinya jika aku terus memimpikan pembunuhan itu. Aku bukannya takut mati, tapi jika alasan matiku karena di bunuh maka rasanya seperti kehidupanku yang bisa bertahan lebih lama itu terenggut oleh seseorang. Walaupun takdir siapa yang tahu. Bahkan itu hanya mimpi. Ketika kereta memasuki rel yang berbeluk cukup panjang etah kenapa suara ini mulai terasa asing bagiku. Rasanya lebih mirip seperti sebuah suara yang akan membawaku pada suatu hal yang misterius.

Jika melihat bagaimana lajunya kereta ini, aku terpikirkan akan sesuatu. Kereta selalu bergerak sesuai dengan relnya. Dari awal samapi akhir. Lalu kurasa manusia juga begitu, yang membedakanya adalah dimana tempat perhentian setiap orang itu berebeda-beda tergantung tujuannya. Kemudian dari setiap perhentian itu kita akan mengalami sebuah pertemuan dan perpisahan, itu yang aku rasakan. Kisah kita semua pasti akan bertubrukan dan saling melengkapi. Terakhir bukti nyata dari setap kejadian itu ada adalah waktu yang terus bergerak meninggalkan kenangan di dalam ingatan setiap orang. 

“Aku harus bicara apa pada mereka ya ….” Aku terpikirkaan akan beberapa pertanyaan yang akan kuterima ketika teman-teman dekatku tahu bahwa aku kini berteman dengan Citra. Dengan kata lain hubunganku denganya sebagai orang yang saling menyukai berakhir. Ya meskipun aku cukup terkejut dengan pesan darinya sebelum aku pulang hari ini. Membacanya saja membuatku kesal sendiri, memangnya ucapanku bisa aku tarik kembali. Tentu saja tidak, orang yang masih belum menerimaku adalah citra kenapa aku harus terus berjuang mengejarnya sedangkan dia sendiri tidak memberikanku kesempatan dengan caraku sendiri. 

“Perempuan ini kenapa ya ….” Aku terkekeh, tertawa kecil mengingat jejak ingatan yang aku alami. Bahkan jika dipikir kembali hal apa yang membuatku menyukainya. Kurasa kami memang tidak cocok satu sama lain. Tidak, biar aku ralat aku mungkin tidak cocok memilki hal romantis untuk saat ini.

“Amira benar, aku harus lebih fokus pada diriku sendiri dari pada orang lain.” Itu yang aku katakan di kerata tapi aku tarik ucapanku itu setelah aku bertemu kembali dengan Anisa di kafe faforitku menghabiskan waktu sembari menulis beberap cerita untuk aku unggah di internet. 

“Ali bagaimana perasaanmu sekarang?” Dia bertanya padaku dengan wajah yang begitu khawatir. Perhatian lebih darinya inilah yang membuatku kembali ingin berjuang mendapatkan pengakuannya. Terlebih aku masih belum kalah, ya meskipun ini adalah perasaaan sepihakku saja tapi apa salahnya kan. Memang perasaanku saat ini sedang labil dan mudah terombang ambing serta di luluhkan oleh beberapa perhatian saja, apalagi perhatian itu datang darinya. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan.

Setiap kali aku menatapnya ada perasaan asing yang menyerangku, aku tidak tahu dan mengerti akan hal itu. Aku memang menyukainya tapi di samping itu juga aku takut jika aku mengutarakn lebih jelas perasaanku padanya aku akan tidak diperhatikan kembali olehnya apalagi Anisa selalu menggapku sebagai adik laki lakinya yang harus dia lindungi. Memang agak memalukan untuk diriku ini, tapi perjalanku sejauh inilah yang memabuatku menjadi sosok seperti ini. Laki-laki dingin yang tak tahu akan perasaannya sendiri dan tidak memiliki keberanian dalam menguturakan rasa sayangnya pada orang yang dia cintai. Gambaran sikapku kini kurang lebih seperti itu. Aku tidak berani karena aku tidak ingin hal-hal kecil seperti ini berakhir. Setidaknya aku tahu jika aku berani mengungkapkan perasaanku aku harus berani juga menanggung setiap resiko yang akan aku terima. Contoh kasarnya adalah kisah singkatku dengan Citra. Intinya aku sangat takut kehilanganya mimen ini. 

“Karna itu aku akan memantaskan diriku terlebih dahulu agar aku bisa layak bersamamu!” ucapku dalam hati ketika kami tengah mengobrol asik mengenai beberapa pengalaman yang aku alami. Salah satunya adalah pengalaman kisah cintaku yang singkat itu. Mungkin ceritaku dengan citra berawal dari diriku yang cemburu dan terburur-buru lalu berakhir menjadi orang asing. Lalu kuharap cerita antara aku dengan perempuan di hadapanku ini berakhir dengan sedikit berebda. 

“Ali keanapa senyum senyum seperti itu ….” 

“Nggak pengen aja kok …” 

Anisa hanya menatapku, peralahan aku mulai merasakan ada air kecil yang mengalir di pipiku, “Hehe aku kenapa ya ….” 

Anisa masih manatapku, aku mulai mencoba mengenadalikan perasaanku. Tetap saja air mataku kini mulai membanjiri pipipku lebih deras. Beberapa isak tangis mulai aku dengar sendiri. Untuk pertama kalinya kali ini aku menangis kuat di depan perempuan selain ibuku. Di waktu itu rasanya hanya ada aku sendiri tengah di lihat oleh perempuan yang aku sukai sejak pertama kali berada di kampus, sosok perempaun yang mirip dengan orang yang selalu mengunjungku di mimpi itu. 

“Tidak apa, bukankah kita sudah berjanji jika ada apa apa kau harus cerita, lagi pula kita ini sudah seperti kakak beradik kan!” ucapnya menenangkan ku. 

Aku hanya mengangguk sambil menundukan kepalaku. Di saat yang sama tak lama dari itu sentuhan lembutnya mulai aku rasakan berada pada kepalaku. Beberapa kali Anisa mengusap kepalaku menenangkan hati seorang yang berada dalam kesedihan. Aku tidak tahu seperti apa wajahku saat ini tapi sentuhan ini lagi-lagi mengingatkanku pada perempuan di taman itu. Entah kenapa aku selalu berpikir seperti itu. Tidak ada jaminan yang akurat bawa Anisa adalah perempuan itu tapi, jika boleh egois aku ingin menikmati waktu ini layaknya seoang anak kecil yang meminta perlindungan kakaknya. 

“Ya kenapa ya aku memilki kakak sepertimu hehe ….” Aku mencoba menata kembali perasaanku dengan mengusilinya. 

“Jahat ya, padahal sudah aku coba tuk menenangkanmu juga. Jika dipikir kembali kenapa aku mempuyani adik cengeng seperti ini ya!” Sesaat ketika kalimat yang dia lontarkan itu selesai, tawa kecil mulai terdengar darinya. Tawanya itu selalu membuatku tenang dan membuatku ikut tertawa riang mengikutinya. 

Lihat selengkapnya