Ginko Starting From A Dream

Miftah
Chapter #15

Roda Waktu Kami

Malam kini telah tiba. Dalam beberapa saat aku bisa merasakan waktu ini tidak berjalan perlahan. Seolah-olah semuanya dipercepat begitu saja, hari ke hari tidak begitu terasa, bahkan kini telah memasuki bulan akhir di tahun ini. Jika dipikir kembali aku harus segera pulang ke rumah. Pikiranku masih berada di tempat kerjaku saat ini. Aku kini menjadi dosen di salah satu universitas di daerah Dongdaemun-gu, korea selatan. “Sudah berapa tahun ya aku mengajar di sini ….” 

Aku menatap lingkungan luar di balik jendela dihadapanku. Tidak ada satupun objek luar yang lepas dari pandanganku, kebanyakan setiap orang di luar sana tengah berjalan menuju kampus dan sesekali aku lihat ada beberapa mahaiswa yang memang mengobrol asik bersama teman temanya pada setiap langkah kakinya. Melihat mereka yang mengobrol seperti itu aku mulai teringat akan waktu singkatku bersama dengan Ali dan tetunya adikku. Sebenarnya tidak pernah aku sangka bahwa Ali ingin belajar padaku. Jujur saja saat itu aku sangat senang mengingat laki laki yang aku sukai akan sering menghabiskan waktunya denganku. Meskipun dalam konteks belajar. 

“Jadi kenapa kamu tiba tiba ingin aku mengajarinya Amira?” ucapanku tajam pada adikku sendiri. Meskipun aku berkata seperti itu jujur saja saat ini aku sedang gugup karena mendengar permintaan seperti itu. Bahkan sesekali aku berpikir bahwa Amira juga menyukainya. Tidak mungkin bagi seorang perempuan mengajak seorang laki laki kerumahnya sesering ini jika dia tidak menyukainya. Aku sedikit cemburu memang tapi itu semua sirna ketika Amira menceritakan alasan kenapa Ali dan dirinya seperti ini. Seketika mendengar jawabanya itu, hatiku bergetar seketika. Bukan karena tersanjung, tapi aku sangat terkejut bahwa Ali menyukai orang lain. Dan Amira kini tengah membantu dirinya dalam menumpuh jalan yang dia pilih. 

“Belajar karna alasan seperti itu, apa kalian bodoh?” gumamku. 

Sesekali Ali dan Amira saling menatap satu sam lain lalau melihat ke arahku. Ketika itu terjadi aku menghela nafas berat lalu tersenyum pada mereka, “Aku tidak bisa menjamin kalian akan bisa secara langsung. Belajar bahasa itu adalah suatu hal yang perlu kerja keras dan ketekunan yang tinggi!”

Mereka berdua mengangguk dengan semangat dan kompak membalas ucapanku itu, melihat mereka yang seperti ini sesekali terkadang membuatku cukup bersemangat meladeni keinginan mereka berdua, “Kalau begitu baiklah kita mulai besok!”

“Eh kok nggak sekarang?” Amira mengeluh. 

“Kau pikir mengajari seseorang itu mudah? Kalian kan dari jurusan pendidikan ku kira kalian akan memahami maksudku,” ucapku pelan. 

Sembari berajalan kembali ke kamarku aku memerintahkan mereka menyiapkan diri untuk hari besok. Sejujurnya aku sedikit lebih bersemangat untuk kegitan hari esok, mengajari orang orang yang berharga bagiku membuatku lupa akan kesibukanku sendiri. Padahal sebentar lagi aku akan segera lulus dan memasuki dunia kerja. Tapi mengajari mereka berdua memberikanku waktu untuk rehat sejenak dari kesibukanku. Tidak terasa beberapa bulan telah berlalu sejak hari itu, mengajar mereka setiap minggunya sudah menjadi rutinitasku mulai dari sekarang. Hingga aku tidak bisa mengajari mereka apa apa lagi karena aku mendapatkan rekomendasi untuk mengajar di salah satu universiatas di negara ibu angkatku, korea selatan. Tepatnya di Hanguk University of foreigen studies, tentunya dijurusan bahasa indoneisa. Tempat dimana aku akan mengajar bahasa negara ini kepada orang orang sana yang berminat mempelajarinya. 

Suara gemerisik dahan pohon yang menyentuh jendela kaca membuatku kembali pada kesadaranku saat ini. Lamunanku barusan merupakan ingatanku di satu tahun yang lalu, “Sepertinya kelulusan mereka sebentara lagi ya …. Hadiah apa yang harus aku bawa untuk mereka ya!” 

Aku berpikir keras mencari hadiah apa yang bagus untuk murid muridku nantiya. Meskipun pembelajaran kami hanya berjalan selama kurang lebih enam bulan tapi aku cukup puas setidaknya ada hal yang bisa aku bagikan pada mereka. Ya meskipun bahasa korea dan inggris mereka masih belum membaik sama sekali dulu, tapi sekarang pasti mereka terus mengembangkannya. Motivasiku kurasa telah sampai pada mereka. Jika mengingatnya, aku cukup merasa malu dan kesal juga pada diriku sendiri. Kenapa dulu aku mengatakan itu pada Ali. Sesuatu yang membuatnya semangat namun di saat yang sama kata kataku itu juga menghancurakan perasaanku sendiri. 

“Ali yang semangat dong belajarnya, kemana semangatmu yang dulu. Apa hanya segini keseriusanmu mengejar anisa!” aku membentaknya, di saat aku menagtakan itu aku memang kesal. Tapi, setelah aku mengatakan kalimat itu hatiku sakit seketika, kurasa perasaanku sendiri masih tidak bisa menerima kenyatan ini. 

Memang benar aku bukanlah siapa siapa, tidak ada hubungan apapun di antara kami selain guru dan murid. Serta kakak dari teman sekalasnya. Hubungan kami tidak lebih dari sekedar kedua hubungan itu. Tapi satu hal yang pasti aku selalu yakin bahwa orang yang ada di dalam mimpiku adalah dirimu Ali. Aku tidak bisa menjelaskannya secara rinci, perasaan seorang perempuan itu rumit. Aku selalu ingin bersamamu, berada di sampingmu tapi aku takut untuk mengatakan itu karena ku tahu dirimu tidak mengenaliku. 

Aku kembali lagi dari lamunanku ketika mahasiswaku memanggilku, “Bu Carla, ini tugas tugas yang anda minta, saya sudah mengumpulkanya!” 

“Baik, terimakasih. Ngomong ngomong, bahasa indonesaimu menjadi lebih baik ya!” Aku tersenyum padanya setelah menerima beberapa tugas mahasiswa yang telah mereka kerjakan. Sesaat aku memujinya seperti itu mahasiswa itupun tersenyum juga padaku. Aku dan dirinya mengobrol beberapa hal hingga aku mendengar mahasiwa dihadapanku itu menanyakan salah satu dosen lain padaku. Pertanyaan itu membahas seputar rekan kerjaku yang izin tidak masuk karena anaknya akan segera menikah. Jika diingat kembali aku cukup merasa kesal karena rekanku itu selalu meanyakan kapan aku akan menikah. Padahal usiaku juga masih terbilang muda belum setua itu agar mempercepat pernikahanku sendiri. Dua puluh delapan adalah angka umurku saat ini, baru satu tahun juga aku berada di negri ini, menjadi salah satu dosen yang mengajar di jurusan bahasa Indonesia. 

“Apa aku setua itu hingga beliau menyarankanku untuk segera menikah?” gumamku. 

Seketika masiswa di dapanku tertawa kecil dan terseyum. Aku manatapanya keheranan sampai aku sadar aku telah bergumam sendiri tadi. Jika dipikir kembali beberapa hari ini aku sering kali melamun dan mengingat masa laluku sendiri, khususnya ketika aku bersama dengan mereka berdua. Orang yang aku cintai dan orang yang aku sayangi. “Kurasa anda masih belum setua itu, usia anda saat ini kan barus saja mencaai 28 tahun …” 

“Iya tapi tanggapan orang beda beda, biasanya wanita sepertiku kadang kali dipertanyakan hal hal seperti kapan kamu menikah, mana calonmu, kamu juga mengerti kan” Tanpa sadar aku melampiaskan perasaanku padanya, meskipun aku jujur seperti itu tapi citraku sebagai dosen di sini kurang pantas untuk mengobrol dengan mahasiwaku seperti itu. Ya karna terlanjur sudah kuceritakan, aku hanya bisa menghela nafas. 

“Pasti berat ya bu ….” 

“Tidak juga, tapi sering kali selintas aku kepikiran juga orang tuaku yang dulu menikah muda dulu, ya meskipun mereka bukanlah orangtua kandungku.”

“Begitu ya bu, kurasa ibu juga memiliki seseorang yang ibu nikahi ya, pasti di negara kedua ibu!” sontak saat mendengar hal itu darinya, aku hanya tersenyum. Aku berpikir keras apa mungkin aku saja yang harus melamarnya. Hanya saja kami beda agama dan aku yakin sekali kalau bukan takdir maka aku denganya tidak akan pernah bersatu. Meskipun begitu beberapa kali aku sedikit dikitnya mempelajari agamanya lewat beberapa teman teman baruku di sini. Sudah hampir dua tahun lebih aku tinggal di korea, dengan budayanya serta seluk beluknya yang tidak diketahui di drama korea manapun. Ya, pada nyatanya realita kehidupan itu tidak seindah kehidupan yang di tampilkan oleh film-film.

“Ibu lagi mikirin dia ya?” tanya dia padaku. 

“Enggak kok, hanya sedikit …” 

“Ya sudah ibu, kalau begitu saya pamit dulu ya, semoga ibu mendapatkan kebahagiaan ibu di masa depan secepatnya!” ucapnaya santai lalau tersenyum. 

“Kalau begitu ibu, saya pamit sampai ketemu lagi bu Carla,” tambahnya. 

Aku hanya mengangguk saat itu, di saat yang sama ponselku berdering menandakan ada pesan yang masuk. Aku mendapatkan pesan itu dari seseorang yang tidak pernah aku sangka sama sekali. Sebuah pesan yang sangat aku harapkan datang darinya. Dengan cepat aku buka pesan darinya itu. Aku baca secara pelan dan aku pahami setiap kata-kata yang dia tuliskan di dalamanya. 

“Kak Carla maafkan kami hanya salah satu diantara kami yang akan pergi, maaf mengecewakanmu katanya Amira akan masuk kedalam perusahaan cabang yang dikelola ayahmu!” seperti itulah pesan itu berbunyi. Email singkat yang aku terima darinya, meskipun secara harpiah dia ataupun Amira bisa saja melakukan vidio Call padaku. Mungkin juga inilah alasan amira jarang menghubungiku beberapa bulan ini. Sepertinya ayah mempersiapkannya dengan baik.  

“Tidak papa, jadi kapan kau akan kesini Ali, kita bisa satu aparteman aku akan merawatmu seperti kata ibu, kau tahu kan dulu dia bilangnya seperti apa!” aku tersenyum kecil setelah mengetik balasan emailnya itu. Mengingat bulan sekarang adalah bulan September kurasa dia akan kesini sebentar lagi. Ku harap dia masih bisa melihat taman-taman itu disini. Aku ingin sekali mengajaknya pergi. 

***

Namaku Muhammad Ali, seringkali dipanggil Ali. Tidak ada hal yang istimewa dariku, sama seperti mahasiwa lain pada umumnya. Jika dipikir kembali kini aku telah memiliki beberapa jejak yang telah aku tinggalkan sealma menempuh kuliah. Jejak itu adalah kenangan keanganku, ya meskipun tidak ada yang menarik dari kenangan mahasiswa biasa sepertiku, tapi percayalah seberapa istimewanya dirimu tetap saja garis awal kita semua itu sama. Hanya saja ada beberapa hal membuat kita semua menjadi berbeda. Tidak perlu aku kuberitahu, karna aku yakin kita semua sudah meamhaminya. Pengalaman, lingkungan serta pola pikir kitalah yang menentukan beberapa hal kedepanya. Memang kerap kali ingin rasanya untuk menyerah akan sesuatu dalam cinta misalnya. Sebagai contoh kisahku, cinta pertamaku yang hendak aku utarakan namun tidak sempat karna dia telah dekat dengan orang lain. Lalu kurasa mimpi itu muncul menghiburku. Aku tidak menyangkal bahwa aku memang menyukai wanita di mimpi itu, kurasa juga kami seolah olah telah dekat disana. Meskipun pada akhirnya sampai saat ini aku belum tahu siapa dia sebenaranya hingga mimpi itu berubah meanjadi mimpi menyedihkan yang sering kuimpikan hingga saat ini. Munculnya sosok anisa, gadis yang mirip dengan perempuan di mimpi itu membuatku merasa nyaman dan ingin selalu berada disisinya, sesakali perasaan egois muncul dari dalam diriku untuk segera aku ungkapkan perasaan suka ini namun masal laluku itu terus membayangiku. Pengalaman yang aku dapat di masalalu serta kebaikan dari anisa membuatku enggan untuk berkata mengenai perasaanku padanya. Terakhir mungkin karna kami selalu bersama selama satu bulan terlebih dia menyukaiku aku mulai merasa senang ternyata ada juga satu orang yang menyukaiku di dunia ini. Namun pada akhirnya, itu hanya berakhir dengan saling mengenal dan berteman. 

Jika dipikir kembali Citra benar, cinta itu harus diperjuangkan dengan sungguh sungguh dan tulus serta sabar dalam menjalaninya. Mungkin saat itu aku teralalu cepat menyerah dengan ujian yang dia berikan padaku dengan kata kaanya yang mengajakku untuk berteman. Jujur saja saat membaca pesan itu darinya, sakitnya bukan main. Rasanya satu orang yang mencintaiku itu telah pergi lagi. Dari sana aku mulai berpikir setiap hubungan itu memiliki ikatan istimewa. Baik itu pertemanan, persahabatan ataupun percintaan. Hubugan manusia tidak akan jauh dari pertemuan dan perpisahan, yang hakikatnya akan selalu berakhir, namun ikatan spesial yang terjalin diantara kedua itu akan menimbulakan jejak bernama kenangan. 

Kurasa aku pernah bilang, “Kita tidak bisa menghentikan waktu, hanya jejak yang bisa kita tinggalkan” aku pun mengerti, setelah bertemu dengan Amira, Anisa kembali dan Zidan. Semua pertmuanku itu menuntunku kepada jalan baru yang ingin kutempuh. Perasaanku ini masih sama selama hampir tujuh semester hingga saat ini aku masih memendam perasaanku dan mengenai hubungan ini. Hingga aku berjanji pada diriku sendiri untuk memperbaikai diri agar bisa menggandengnya kedalam masa depan yang cerah. Meskipun mustahil, jika dia memilih bersamanya kurasa aku yang akan pertama memberikanya selamat, karena aku telah di anggap seabagi adiknya. 

Karna itulah, setelah mengalami semua pengalaman itu aku paham bahwa setiap orang memilki jalan nya masing-masing, bahkan itu berlaku untuk orang biasa sepertiku. Aku tidak perlu iri pada kehidupan orang lain, meskipun sesaat ketika melihat mereka beberapa kali aku terbesit ingin sama seperti mereka. Tapi sekuat apapun aku mencoba berusaha meniru mereku tidak sekalipun membuatku senang. Aku sudah seperti membohongi diriku sendiri. Karna itulah, ini bukan tentang percintaan saja ini adalah kisah tentang perjalan hidup orang biasa yang tidak pernah tahu sebasar apa jaminan masa depannya akan dia genggam. Kisah pemuda yang mengejar impiannya dan kisah pemuda yang masih mencari jati dirinya. Meskipun terkadang beberapa hal itu masih belum terkabul dan tergengam, satu hal yang masih kupercaya. Allah telah menyiapkan kisahku dengan sebaik mungkin, jika tidak bagaimana mungkin aku bisa bertahan sampai seajauh ini dengan berbagai hal kerumitan yang telah aku alami. 

Lihat selengkapnya