Ginko Starting From A Dream

Miftah
Chapter #18

Harapanku Padamu

Air mata adalah bukti bahwa hati kita masih bisa berdetak. Setiap emosi yang aku miliki memang dipengaruhi oleh hal itu. Hati manusia memang sangat sensitif, kurasa tidak semua orang dapat memahami perasaan orang lain. Meskipun kau berkata aku paham dan mengerti dengan apa yang kau rasakan. Nyatanya kata-kata seperti itu hanyalah sebuah mantra untuk membuat orang lebih tenang. Tapi kali ini aku mengerti apa yang dirasakan orang orang itu. Apalagi saat ini aku tengah bersamanya.

“Oh iya Ali, menurutmu apa yang special dari daun ini ….”

Saat itu aku tidak mendengarkan perkataannya dengan jelas. Setiap hal yang aku lakukan demi menjawab pertanyaan itu tidak bisa kau bayangkan. Setiap aku berpikir tentang daun itu aku masih kurang paham. Apa yang membuatnya special, yang aku tahu daun yang dipegangnya itu adalah daun ginko. Sejarahnya mengatakan bahwa populasi pohon itu banyak di negara asia seperti di daratan cina, semenanjung korea dan juga negri Sakura jepang. Meskipun di beberapa benua eropa pohon itu kini mulai dibudidayakan karanan ketahana hidupnya. Selain itu semua sejarah mengatakan bahwa pohon ginko itu adalah simbol dari keindahan dan keabadian. Bagi Sebagian orang pohon ginko itu memiliki semacam sejarah tersendiri yang tidak pernah ditemukan, menjadi saksi bisu dari perkembangan jaman tiap generasinya. Mungkin ketahanan hidupnya itulah yang membutnya seringkali disebut pohon abadi.

Aku masih berjalan bersama denganya, tangan miliknya kini ku genggam kuat. Kami bergandengan tangan selama kami berada di taman ini. Layaknya mimpi yang menjadi kenyataan, aku tersenyum hangat menikmati kebahagian yang aku dapatkan ini. Sama halnya dengan mimpi yang indah, saat saat itu tidak pernah aku bayangkan akan sangat singkat. Kenyataanya aku harus bangun dari mimpi itu, dan menerima sebuah kenyataan pahit yang harus aku terima dengan tegar. Kenyataanya bahwa kau tidak bisa melakuakn apa-apa.

“Oi, Carla ….” Aku memegang wajahnya yang mulai semakin dingin. Cairan berwarna merah membasahi pakaianya. Aku memeluknya kuat, tidak ada yang bisa aku katakana di saat seperti itu. Hal yang aku lakukan dengan cepat aku hendak membawanya ke rumah sakit terdekat namun seketika suara tembakan mulai terdengar olehku. Bersamaan dengan itu aku menyadari aku menerima rasa sakit yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Tubuhku tumbang seketika, tenyata kakiku tertembak, aku masih memeluk Carla yang tubuhnya semakin dingin tiap detiknya. Bahkan nafasnyapun kini sudah tidak stabil, dia kehilangan banyak darah saat ini. waktuku saat ini menjadi medan tempurku yang terakhir. Berjuang demi dirinya agar selamat, tapi niat dan usahaku tidak bisa membuatku bergerak saat ini. Ini bukanlah sebuah film yang mana saat seseorang tertembak dia bisa bergerak. Pikiranku tidak karuan saat ini. Pandanganku tertutupi oleh rintik hujan yang deras. Namun dari kerasnya rintik hujan saat itu suara langkah seseorang di belakangku begitu terdengar.

Sembari memeluk Carla aku melihat kebelakang pada sosok yang berjalan mendekatiku saat ini. perlahan tapi pasti aku merasakan sosoknya bisa kulihat saat ini. Sosok ramping dengan tinggi badan yang hampir sama dengan Carla. Rambut pendek itu, hingga wajah itu sangat aku kenali. Bahkan beberapa kali dia selalu membantu Carla dan juga diriku. Sikapnya sangat hangat kala itu berbanding terbalik dengan dirinya saat ini.

“Sekarang giliranmu Ali apa kata kata terakhirmu ….” Seketika aku menatapnya. Wajahnya yang tidak asing itu menodongkan senjatanya padaku. Pikiranku fokus pada pertanyaan tentang alasanya melakuakn semua ini. Berbagai pertanyaan tentang kenapa dia melakukan hal sekejam ini padanya. Pertanyaan tentang dirinya yang dulunya adalah orang kepercayaanya. Setiap pertanyaan itu mulai terpikirkan dikepalaku, tapi itu semua sia-sia karena orang dihadapanku ini pada akhirnya akan membunuhku. Sama seperti saat di mimpi itu.

“Kenapa kau melakukan ini ….”

Orang itu tidak menjawab pertanyaanku, “Apa itu kata-kata terakhirmu?”

“Ya!” Dengan tegas aku menjawabnya, seketika sebuah senyuman tipis dia perlihatkan padaku dan senyuman itu adalah senyuman berebeda yang biasa dia tunjukan pada kami.

“Kau tak perlu semarah itu, karna ini adalah pekerjaanku yang lainnya, perintahnya adalah mutlak, kau harus mengerti itu Ali, di dunia yang tidak adil ini, kejahatan seperti ini sering kali terjadi.” Aku tidak berkata-kata lagi, tidak aku sangka ucapan sekejam itu akan keluar dari orang sebaik dia.

Di waktu yang singkat itu, aku mulai berpikir jika semuanya akan sama seperti di dalam mimpi. Hal yang harus aku lakukan adalah bertahan hidup. Tapi caranya seperti apa jarak kepalaku dengan pistol itu tidak lebih dari satu meter. Jika aku menghindar tidak ada jaminan peluru itu tidak akan menembus tubuhku. Bahkan dengan luka seperti ini aku tidak yakin bisa menghindarinya. Ini adalah pertaruhan yang tidak ada untungnya bagiku.

“Sampaikan permintaan maafku pada sahabatku Ali, temuilah dia disana!”

Pelatuk pistol dia tarik dan suara keras terdengar olehku. Dengan cepat aku berdiri dan melindungi tubuhku dengan tanganku. Peluru itu menembus tanganku. Rasa dingin yang kurasakan tadi pada tubuhku orang yang kupeluk kini menjalar pada tubuhku, ditambah kali ini aku mulai tidak merasakan apa-apa rasa sakitlah yang kurasakan saat ini. Tangan kananku mati rasa tidak bisa aku gerakan. Namun gerakanku berusan membuatnya terkejut. Kurasa sophi tidak akan menyangka aku akan berdiri dan menahan menerima peluru itu dengan lenganku. Meskipun begitu peluru itu telah menembusnya dan kini beresemayam di tubuhku.

“Kau!” ucapnya terkejut dan mencoba menmbakku kembali. Rautvwajahnya kesal seketika.

Suara tembakan kembali terdengar dan kini aku yakin aku bisa menang. Pistol itu aku jauhkan dari tubuhku. Meskipun situasiku akan berakhir seperti ini, setidaknya aku harus tetap membuatnya berada di sini dengan begitu orang orang di sini akan tahu. Beberapa keributan di sekitarku mulai aku dengar.

“Terima ini!” Dengan kuat seseorang menendangku. Aku tidak tahu siapa dia. Rasanya sakit sekali, aku tersungkur di jalanan itu. Sedikit aku dengar percakapan orang yang menendangku pada gadis itu.

“Kau lama, ayo kita pergi. Tugasmu yang pertama baru selesai, kurasa dia juga sebentar lagi akan mati.”

“Ya aku tidak menyangkanya dia akan bergerak seperti itu!”

“Lumayan buat pembunuhan pertamamu, biarkan saja dia!”

“Kau yakin?”

“Kau tidak lihat, dia kehilangan banyak darah. Aku yakin dia tidak akan selamat dari maut yang sebentar lagi menemuinya!”

“Baiklah kalau begitu, kita pergi sekarang ….”

“Haaah … Kenapa bos memintaku menemani amatiran sepertimu ….”

Mereka pergi begitu saja. Dalam derasnya hujan itu kini penglihatanku semakin tidak jelas. Detak jantungku tidak beraturan dan sakit yang aku rasakan ini bukan main. Tiap detiknya rasa sakit itu semakin kuat dan diriku semakin melemah. Satu hal yang aku lihat saat ini, sosok mereka yang berjalan perlahan meninggalkan kami tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.

“Apa akhir ceritaku akan menjadi seperti ini ….” batinku menjerit.

“Aku tidak ingin mati ….”

“Aku harus membawanya ke rumah sakit ….”

“Aku mohon selamatkan kami ….”

“Seseorang, aku mohon ….”

Meski aku berbicara seperti itu dengan segenap tenaga yang tersisaku saat ini. Aku tidak bisa merasakan ada seseorang yang datang. Beberapa saat telah beralalu dan pikiranku kini semakin kosong. Tatapanku mulai menajdi gelap. Apakah seperti ini rasanya hendak mati. Rasa sakit lainnya mulai mengusikku. Dalam keheninganya malam itu, serta rasa sakit yang aku rasakan aku meminta harapanku terkabul.

Lihat selengkapnya