Gio

Tri Wulandari
Chapter #2

Surat peringatan

Bu Tessa menghela nafas pasrah saat lagi dan lagi murid yang paling tak disukainya itu mengulang kembali hal yang sama. Yaitu tak mengerjakan tugas dan tidur di kelas.

"Siapa lagi yang belum mengumpulkan tugas yang saya berikan kemarin? Harap maju ke depan." Titahnya sambil membenahi letak kacamata di pangkal hidungnya.

Semua anak yang berada di ruang kelas duabelas IPA3 itu saling memandang bergantian satu sama lain, tak ada yang menjawab karena semua buku tugas itu sudah terkumpul rapi di meja Bu Tessa. Kecuali Gio, cowok yang sedari tadi membenamkan wajah rupawannya di lipatan kedua tangannya di atas meja. Matanya masih terpejam, sementara Satya Hernandez—teman sebangku Gio menelan saliva berat saat sang guru mulai melangkah menghampiri kursinya dan Gio yang berada di pojok.

Guru yang dikenal garang itu berjalan mendekat, dan berhenti tepat di depan kursi yang mereka duduki. Satya salah tingkah, meskipun sudah mengumpulkan tugasnya tetapi aura seram Bu Tessa kental terasa dan amat mencekam. Gio terbangun, perlahan dengan pasti dia menegakkan tubuhnya. Sementara Satya hanya bisa diam tertunduk.

"Mana tugas yang saya berikan? Hanya kamu yang belum mengumpulkannya?" Tanya Bu Tessa terus terang. Sementara Gio, rautnya masih tenang dan tampak baik-baik saja seperti tak ada masalah sedikitpun. "Saya lupa, Bu," jawabnya tak sepenuhnya jujur. Gio memang ingat dia memiliki tugas matematika itu. Tapi dia sangat malas untuk mengerjakannya. Hening di dalam kelas, hanya suara nafas para manusia yang tengah duduk saja yang terdengar.

"Saya sudah bilang kerjakan, tapi kamu mengabaikan saya. Kamu pikir saya ini apa? Kamu meledek saya, ya?" Tanya guru berusia 40 tahun itu lantang. Sementara Gio yang tengah diceramahi itu menatap datar sang guru. Tak ada balasan. Dia tak peduli. "Saya tahu, Bu."

"Lebih baik kamu keluar dari kelas saya! Saya sudah muak mengajari anak yang tidak bisa berkomitmen pada pendidikannya sendiri. Kamu pasti sudah paham dengan tagline sekolah ini. Semuanya harus disiplin! Tapi nyatanya, entah kekuatan dari mana kamu bisa masuk di sekolah ini."

Gio menghela nafas, sudah dia duga kalau lagi-lagi si guru killer itu akan bicara hal yang sama. Soal uang dan bagaimana bisa murid badung dan malas sepertinya bisa masuk di sekolah semenakjubkan DeVictory International High School.

Gio meraih tas ransel miliknya yang tergeletak di bawah. Kemudian menyampirkannya di bahu sebelah kiri. Dia beranjak, kemudian berucap, "baik saya akan keluar, lagi pula siapa yang suka matematika? Bikin otak panas aja."

Sesaat setelah Gio beranjak dan melenggang keluar, semua anak bergumam. Entah karena terkejut atau heran dengan sikap Gio. Cowok itu seperti tak mengenal kapok. Bu Tessa yang melihat si murid malasnya itu pergi pun akhirnya mengeluarkan suara seraya menggebrak meja dengan keras.

"Siapa lagi yang mau keluar dari kelas? Saya jamin, kalian tidak akan lulus dari sekolah ini!" Ucapnya garang. Yang mana suara menggelegar itu membuat para siswanya bergidik takut.

Tapi Gio, pemuda itu tak peduli dengan nasib sekolahnya kelak. Dia sendiri pun bingung sekolah untuk apa? Tak ada minat dan bakat yang jelas, semua yang ada di sini membosankan.

***

Lihat selengkapnya