Gio

Tri Wulandari
Chapter #3

Guru Les

Heni tengah sibuk mengetikkan sesuatu di laptopnya, sesekali dia memejamkan mata dan menyenderkan kepalanya di bantalan kursi. Sudah pukul 23.00 dan dia diharuskan lembur oleh sang bos di kantornya. Kepalanya berdenyut kencang, antara lelah bercampur kesal—masih dengan masalah yang dibuat Gio. Heni kesal karena Gio tak pernah mau menurutinya, padahal apa yang Heni lakukan semata-mata demi masa depan anak semata wayangnya tersebut.

Heni kembali membuka matanya, dia tidak boleh tidur dulu. Masih banyak laporan yang belum dia kerjakan. Tapi di sisi lain, dia pun masih memikirkan bagaimana caranya mendapat guru les privat untuk Gio secepatnya. Hingga pada akhirnya, satu ide terbesit secara tiba-tiba. IKLAN! Ya, iklan di internet mungkin bisa membantunya. Di jaman yang sangat canggih seperti sekarang pasti tidak akan sulit untuk membuat iklan baik di aplikasi penyedia ataupun website pribadinya.

Heni mulai mengetik segala macam penawaran yang dia berikan, dia bahkan tak segan-segan untuk membayar mahal dalam tiga kali pertemuan untuk mengajar Gio. Tak peduli berapa banyak biaya yang dia gelontorkan, yang penting anaknya bisa tertolong dan menyelesaikan ketertinggalan nilai yang begitu banyak. Heni hanya ingin Gio lulus tepat waktu tanpa harus mengulang di sekolah elit itu.

Lagi pula, jika Heni mencari guru les untuk Gio begini, dia tidak perlu repot mengorbankan waktunya yang lain untuk keluar dan bertanya pada beberapa rekannya. Dia hanya perlu menunggu seseorang yang tertarik dan menelponnya. Dia masih bisa fokus bekerja. Setelah selesai mengetikkan nomor kontak yang bisa dihubungi, senyum tipis terbit di bibirnya. Heni yakin, pasti ada orang yang bersedia mengajari Gio, apalagi bayarannya lumayan besar. Hanya saja, dia memberi peringatan di laman iklan itu, untuk siapa pun orang yang bersedia menjadi guru les anaknya. Orang itu harus lah memiliki level kesabaran yang tinggi, mengingat bukan perkara mudah menghadapi sikap dingin dan cuek Gio.

***

Tasya tengah menatap bangunan yang saat ini telah berganti menjadi toko bunga, tempat itu sendiri tadinya adalah tempat bimbingan belajar—tempat Tasya bekerja sambilan. Namun, karena pemilik tak mampu melanjutkan kontrak karena usahanya bangkrut, alhasil kini Tasya harus rela dipecat dan kembali menjadi pengangguran. Tasya bingung, beberapa kali dia terlihat menghela nafas lelah. Di mana lagi dia harus mencari pekerjaan. Sudah 15 menit dia berdiri seperti patung di depan bangunan itu. Dia harus rela diberhentikan karena pemilik yang sudah tidak mampu menggajinya lagi. Dalam beberapa bulan income yang masuk ke bimbel itu sangat lah kecil. Tasya hanya mengajari dua orang murid saja. Keringat melewati dahi gadis berusia 20 tahun itu, dia harus mencari pekerjaan lain demi biaya rumah sakit ibu tirinya yang dirawat di sana karena keracunan minuman beralkohol. Juga biaya kuliahnya yang sudah beberapa kali menunggak. Mahasiswi semester lima itu tertunduk lesu, sengat matahari di tengah hari buta begini membuatnya sulit berpikir. Kembali, Tasya mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasnya. Surat yang dia terima dari rumah sakit itu, mengharuskan Tasya untuk melunasi dalam tempo dua minggu saja. Dan biayanya sangat lah besar, ke mana Tasya harus mencarinya? Semuanya karena ibu tirinya yang keracunan minuman beralkohol dan mendadak kejang-kejang pada beberapa minggu lalu. Tasya tahu, ibu tirinya itu bukan orang yang baik, tapi Tasya hanya memiliki dia seorang di dalam keluarganya. Tasya tak ingin kehilangan ibunya itu. Tasya harus mencari cara, agar ibunya bisa keluar dari rumah sakit dan melakukan berobat jalan.

Juga tentang biaya kuliahnya, ah kepala Tasya seperti mau meletus saja jika semakin memikirkan itu. Dia memilih melangkah meninggalkan tempat itu. Sudah tidak ada harapan lagi untuknya di sana. Dia harus mencari pekerjaan lain. Pesangon yang pemilik tempat bimbel berikan tidak lah cukup untuk biaya hidupnya sebulan. Tasya harus memutar otak dan berhemat sebelum dia kembali mendapat pekerjaan.

Tasya berjalan lesu dengan wajah merengut, sebagian bajunya basah karena keringat. Sudah cukup jauh pula dia berjalan, hingga kakinya tak mampu melanjutkan lagi. Tasya duduk di pinggir trotoar jalanan. Perutnya lapar, dan dia pun haus. Tasya duduk sambil memeluk lututnya, rasanya sangat ingin menangis saat ini juga.

Iseng, Tasya berniat menghubungi salah satu temannya. Hingga salah satu chat dari Cindy—teman satu fakultas Tasya memberi link dari laman iklan. Di dalam chat itu Cindy mengerti jika Tasya baru saja dipecat. Dia hanya berusaha membantu.

"Tas, gue dapet link iklan itu barusan. Gue rasa lo butuh. Coba hubungi nomernya. Good luck!" Tulis Cindy di chat WhatsApp-nya. Senyum cerah terbit di wajah Tasya yang semula muram. Tasya mengucap banyak terima kasih pada temannya itu.

Dengan yakin, Tasya mengklik tautan link itu. Kemudian, masuk ke laman iklan yang Cindy berikan. Dia membaca dengan seksama penawaran yang si pengiklan berikan. Tasya membulatkan mata, saat dia membaca nominal bayaran dalam tiga kali pertemuan. Lima juta rupiah, namun di belakangnya ada kalimat orang itu harus memiliki kesabaran tinggi untuk menghadapi anak kelas 3 SMA itu. Baiklah, Tasya rasa ini tidak sulit. Dia mulai menghubungi nomer kontak yang tertera di sana.

Tak menunggu lama, panggilannya dijawab oleh suara seorang perempuan di ujung sana. "Iya..."

Lihat selengkapnya