Sudah satu minggu ini Tasya mengajar Gio secara privat. Pemuda jangkung itu perlahan mulai mengikuti intruksi gadis berambut lurus itu sedikit demi sedikit. Itu artinya pula, sudah tiga kali pertemuan yang Tasya jalani. Uang lima juta rupiah sudah berada di tangannya, senyum ceria mengembang di wajahnya yang cantik.
Kini dia tak terlalu pusing seperti kemarin, dia sudah kembali bekerja. Perjanjiannya dengan pihak rumah sakit untuk mencicil perlahan biaya rawat ibu tirinya di sana. Tasya bak anak kecil yang baru dibelikan permen oleh orang tuanya, dari tadi raut bahagia dipancarkannya. Dia bahagia, karena sebentar lagi ibu tirinya akan pulang ke rumah dan mulai sejak saat itu, tidak ada lagi biaya yang harus dia tanggung.
Sementara Gio, cowok berponi itu duduk dengan tenang sambil matanya sibuk membaca satu demi satu kalimat di buku Biologi yang ada di atas mejanya. Dia bahkan tidak menyadari jika Satya sudah duduk dan termangu melihat Gio sedang membaca buku pelajaran. Tidak ada angin tidak ada badai, sungguh pemandangan langka—yang Satya lihat.
"Gi..." Satya duduk setelah meletakkan tasnya di bawah meja. Dia melihat Gio lengkap dengan alis yang saling bertaut rapat. Sang empu nama hanya menggumam sebagai balasan. "Hmm..."
"Lo sehat kan?" Tanya Satya lagi, yang kali ini berhasil membuahkan tolehan dari orang yang tengah dia ajak bicara. "Kenapa sih? Aneh banget liat gue baca buku?"
"Iya! Lo abis kesambet setan mana? Lo kemarin gak main di bawah pohon asem belakang sekolah kan? Katanya angker, ada mak kuntinya." Satya mengucap kalimat itu sambil bergidik takut. Gio hanya bisa memutar bola mata malas. "Badan gede! Sama kunti takut? Ajakin main fornite biar ada yang nemenin lo. Kan gue udah jarang nginep."
"Eh bener juga!" Sedetik kemudian Satya menggeleng keras. "Pe'a! Masa kunti gue ajak main game? Gilak lo! Eh iya juga, ngapa dah lo jadi jarang nginep?" Tanya Satya penasaran.
"Kenapa? Kangen?" Jawab Gio sambil menahan tawa, dan hal itu justru membuat Satya semakin mengernyit. Jelmaan 'Squidward' satu ini senyum dan hampir ketawa? Wah.. aneh sekali kan?
"Tapi mending lo gak usah nginep deh. Asli makanan gue jadi utuh, gue jadi gak repot kalo malem laper karena makanan gue masih banyak. Gak ada yang garesin." Kekehnya dengan nada mengejek. "Sialan lo!" Umpat Gio menyikut lengan Satya.
"Lagi belajar apa lo?" Tanya Satya ingin tahu, dia melirik sekilas buku yang tengah dipandangi Gio. "Wihh... reproduksi!" Serunya lantang.
Gio hanya memandangnya dengan pandangan datar. Tak ada reaksi darinya. Sementara Satya hanya cengengesan saja sambil dua jarinya mengudara membentuk huruf V.
"Lo tumben banget belajar soal reproduksi? Gue yakin lo tahu cara prak—" belum selesai Satya berucap, Gio sudah menepuk mulut cowok itu dengan buku yang sedang dibacanya. "Mulut lo minta beneran gue sumpel sempak ayam ya, njir!"
"Awhh!! Gila lo jahat banget gue ditabok!" Gerutunya sambil memegangi bibirnya. "Lebay banget, Nyet!" Balas Gio sebal.
15 menit kemudian pelajaran Fisika dimulai, Gio masih ingat apa yang diajarkan Tasya minggu lalu tentang hukum Pascal dengan berbagai rumus yang membuatnya ingin teriak. Gio adalah orang yang sulit mengingat—jika memang otaknya tidak ingin mengingat.
Guru keluar sekejab untuk mengambil buku sample untuk pembahasan lebih lanjut soal pelajaran ini.
"Sat..." Gio mengerutkan dahi saat kepalanya mendadak migrain karena rumus yang tidak diketahuinya—atau memang tidak tahu. "Sat..!!" Kali ini lebih keras dari sebelumnya, namun Satya sepertinya sedang asyik dengan catatannya.
"Sat!!" Teriaknya lebih kencang. Si empu nama melotot padanya. "Sat sat! Nama gue bukan bangsat ya, Gi!!" Sungut Satya dengan matanya yang melebar.
Gio berdecak, kemudian menyahuti, "ck...emang gue manggil lo bangsat?"