Gio

Tri Wulandari
Chapter #8

Kesedihan Tasya

Tasya bekerja semakin keras, dia merasa uang dari menjadi guru les Gio masih belum cukup. Saat tak ada jadwal mengajar, setelah pulang kuliah dia harus bekerja di tempat lain. Tak peduli menjadi apa, yang penting pekerjaan itu masih ketegori pekerjaan yang baik. Dia dituntut melunasi sisa tagihan rumah sakit senilai 30 juta rupiah. Masa jatuh tempo sudah dekat. Dan uang yang Tasya kumpulkan sudah hampir cukup.

Gadis itu bahkan tak kenal lelah, asal ibunya bisa kembali ke rumah. Meskipun Tasya tahu, ibunya itu tak mau kembali lagi ke rumah. Tasya berjalan di lorong rumah sakit dengan yakin, karena rumah sakit sudah tak bersedia menanggung lagi perawatan Alberta—ibu tiri Tasya. Maka mau tak mau, wanita paruh baya itu memang diharuskan meninggalkan rumah sakit. Dengan wajah masam, Alberta duduk di kursi tunggu. Sementara Tasya tengah menghadapi seorang staff rumah sakit—bagian administrasi untuk melunasi sisa tagihan.

Tasya cukup beruntung karena rumah sakit yang memberi keringanan. Jika tidak, dari mana dia akan mendapatkan uang sebanyak itu? Untuk makan sehari-hari saja dia sudah kerja pontang panting. Setelah ini, Tasya sangat berharap jika sang ibu tiri bisa sadar dan tak mengulangi hal merugikan itu lagi.

"Yuk Bu, Tasya udah selesai." Tasya menghampiri ibu tirinya dan berniat menggandeng lengan sang ibu. Dia harus memberi perhatian lebih karena ibu tirinya yang baru pulih.

"Jangan sentuh saya! Dasar anak sialan!" Bentaknya dengan mata melotot. Setelah itu Alberta bangun dari duduknya dan berjalan melenggang sendiri keluar dari rumah sakit. Lengkap dengan wajah congkaknya menolak perhatian baik dari si anak tiri. Tasya hanya diam, kemudian mengikuti langkah Alberta. Dia tak ingin menjawab dan menambah suasana hati ibu tirinya menjadi semakin buruk.

Tasya tahu, Alberta membencinya. Sampai kapanpun Alberta tidak akan pernah menganggapnya sebagai anak. Tapi Tasya bukan orang yang pendendam, dia tak peduli dengan sikap benci Alberta terhadap dirinya. Yang Tasya tahu; orang tua tetap harus dihormati meskipun perangainya tak selalu baik. Beruntung mendiang ayahnya dulu selalu mengajarkan kebaikan. Meskipun beliau pernah berbuat kesalahan dengan berselingkuh pada Alberta—si ibu tiri. Tapi Tasya tak pernah membenci ayahnya.

Setelah sampai di rumah, Tasya segera mengambil bantal untuk bersandar duduk di sofa ruang tengah rumahnya. Alberta duduk bersandar di sana dengan nyaman. Dari tadi dia hanya diam, tak banyak bicara. Hanya suara umpatan-umpatan pelan saja yang Tasya dengar.

"Hey anak sialan! Sana buatin saya jus mangga!" Titahnya dengan nada lantang. Tasya hanya bisa mengangguk, kemudian berlalu ke dapur. Namun, ketika dia membuka pintu kulkas. Tak ada apapun di sana kecuali air mineral saja. Tasya menghembuskan nafas lesu. Tangannya merogoh kantung celana jeans-nya, tapi sama saja tak ada uang sepeserpun.

Tasya kembali ke ruangan di mana ibu tirinya tengah duduk santai sambil menonton tv. Lengkap dengan kedua kaki yang diselonjorkan di atas meja.

"Bu..." panggil Tasya pelan dengan takut-takut. Si ibu tiri mendongak dengan wajah datarnya.

"Mangganya gak ada, Tasya gak punya uang buat beli. Gimana kalau teh aja? Ibu mau ya?"

PRANGGG!!! Suara remot tv yang sengaja dilempar Alberta menggema di ruangan. Dia melotot dan menghunus Tasya dengan tatapan benci bercampur kesal.

"Dasar tolol! Kamu cari lah uangnya! Kamu pikir saya peduli di dapur ada buahnya atau tidak! Saya gak mau tahu, kamu beli sana mangganya. Saya mau minum itu sekarang!!!" Bentaknya yang membuat Tasya terperanjat. Alberta memang seperti itu, jika marah dan sesuatu tidak sesuai keinginannya. Segala yang ada di rumah akan dia hancurkan. Lalu, menyuruh Tasya yang membereskan kekacauan yang telah dia buat.

Tasya memang menyedihkan. Tasya berlalu meninggalkan rumah, dengan langkah ragu dia berjalan. Air mata menetes dari pelupuk matanya. Dia bingung harus ke mana mencari uang untuk membeli buah. Tasya berhenti, lalu duduk di pinggir trotoar jalanan. Di sana dia menangis sejadinya, dadanya sesak sekali. Dia bahkan tak punya waktu untuk beristirahat karena sibuk bekerja. Tapi hasil yang selalu dia berikan tak pernah dihargai sama sekali oleh sang ibu tiri. Dia selalu membenci apapun yang Tasya lakukan.

Tasya mengusap air mata yang meleleh dengan punggung tangannya. Gadis berkaus merah itu kembali berjalan. Dia tahu penjual buah di ujung sana, siapa tahu dengan ikut membantu mengangkat peti buah sang pemilik akan berbaik hati memberinya beberapa saja. Asal ada untuk ibu tirinya, tanpa Tasya harus repot mengeluarkan uang—yang memang tidak ada.

Setelah satu jam Tasya ikut mengangkut peti buah yang berat, si pemilik toko dengan baik hati memberi satu kilo buah mangga dengan uang lima puluh ribuan untuk ongkos pulang. Tasya tak henti-henti mengucap terima kasih. Senyum bahagia tersungging manis di wajahnya. Dia pun segera pulang untuk membuatkan ibunya jus.

Namun hal lain terjadi, suara riuh di rumahnya terdengar jelas. Beberapa orang berkumpul di sana. Tasya dengan sigap berlari menuju rumah, rautnya kaget dengan mata membulat.

Lihat selengkapnya