Gio menghentikan laju motornya tepat di depan kawasan komplek elit rumahnya. Di depan sana, ada satpam perumahan yang ditugaskan menjaga portal jalan dan menanyakan izin setiap pengunjung yang datang masuk. Kawasan di sini termasuk yang sangat aman, wajar saja untuk uang segala macam keperluan tetek bengeknya yang tak cukup sedikit. Maka dari itu, tingkat keamanan di sini bisa di jamin oleh penyedia properti. CCTV di mana-mana, belum lagi Satpam yang berjaga selalu berganti tugas setiap 12 jam sekali.
Pukul 16.25 sore, Mang Ujang adalah tukang bakso keliling yang sering ngetem di depan komplek. Biasanya para satpam akan jajan dagangannya sambil ngobrol dan ngopi. Baksonya pun enak dan murah meriah, bisa dipastikan tidak akan menguras kantong.
Tasya turun dari motor, kebetulan Mang Ujang baru datang. Beliau sedang membuat satu pesanan untuk penjaga warung di seberang jalan yang memesan. Gio pun mengikuti, pemuda itu melepas helm yang membungkus kepalanya dan mendaratkan bokongnya di kursi yang Mang Ujang sediakan. Lengkap dengan meja lipat pula untuk pelanggan yang tidak ingin repot memegang mangkok panas yang menganggu konsentrasi makan.
"Kamu laper juga gak?" Tanya Tasya dengan senyum ramahnya. Dia sendiri sebenarnya tahu jika Gio tengah merajuk padanya. Mungkin karena Dimas tadi, tapi Tasya hanya menduga-duga saja.
Gio masih diam sambil melipat tangan di dada, matanya melirik malas jalanan di samping kirinya. Kendaraan lalu lalang dengan bebas, hanya suara knalpot yang dominan di sekitar.
"Gi, kamu mau gak? Aku pesenin kalau mau. Tenang aja, aku traktir." Bujuk Tasya pada Gio yang duduk di seberangnya. Sementara cowok itu masih saja diam, malah menatap mata Tasya intens. "Gi..." Tasya menautkan alis sejenak, sampai suara cowok itu menginterupsinya. "Lo pikir gue gak punya duit buat beli?"
"Bukan gitu Gi..." senyum di bibir gadis itu perlahan luntur. Dia yakin, Gio pasti tersinggung dengan kalimatnya tadi. Bukan maksud menghina jika Gio tak punya uang, jika dibandingkan jelas Gio punya segalanya. Jangankan uang lima atau sepuluh ribu untuk membayar satu mangkuk bakso, untuk membeli gerobak dan seisinya saja Tasya yakin cowok itu sanggup. Tapi... Tasya hanya ingin lebih akrab saja. Cowok itu jika sedang marah atau merajuk, aura dinginnya melebihi dinginnya es di kutub utara. Dan Tasya tentu tidak nyaman dengan itu.
"Bang, baksonya satu. Oke!" Ucapan Gio langsung disambut anggukan dan senyum lebar dari Mang Ujang langsung. Beliau langsung membuatkan pesanan Gio setelah si jelmaan Squidward itu memesan.
"Satu lag—" belum selesai Tasya berucap, Gio sudah memotongnya. "Ngapain pesen lagi? Gak usah, satu aja berdua," kata Gio masih dengan raut datar dan dinginnya.
Tasya tak mampu menolak, kemudian dengan anggukan pelan gadis itu akhirnya menurut. Tanpa Tasya sadari, senyum tipis terbit di bibir cowok itu. Tasya hanya tidak melihat, dan tidak bisa merasakan jika jauh di dalam lubuk hati cowok itu, tengah berbunga-bunga dengan penuh kupu-kupu warna warni.
"Nih Den baksonya. Silahkan..." Mang Ujang menyajikan bakso itu di atas meja. Kemudian, masih dengan raut datarnya Gio mengambil sendok dan garpu di tempatnya. "Kenapa bengong, katanya laper?" Gio melirik Tasya sekilas.
Tasya menurut, dia pun ikut meraih sendok di tempatnya. Kemudian, ikut makan semangkuk berdua dengan anak muridnya itu. Rasanya sangat canggung sekali menurut Tasya. Di sisi lain, Gio justru merasa sangat girang karena bisa makan bakso semangkuk berdua dengan gadis yang disukainya.
Tasya mulai dengan menyeruput kuah kaldunya yang masih oringinal, sebelum ditambahkan kecap ataupun saus. Begini saja, menurut Tasya rasanya sudah sangat enak. Bakso Mang Ujang ini memang yang terbaik menurut Tasya.
"Hmm.." Tasya menggumam saat selesai menyeruput kuah kaldu bakso. Hal yang membuat Gio senang melihatnya, namun cowok itu masih diam menyaksikan Tasya makan padahal dia sendiri yang duluan mengambil sendok dan garpu. "Kamu gak ikut nyobain? Gak usah khawatir Gi, bakso Mang Ujang selain enak juga bersih kok. Kamu gak akan sakit perut setelah makan ini," ucap Tasya yang kali ini melahap baksonya bulat-bulat.
Gio senang melihat gadis itu makan dengan lahap, terlihat cantik natural dan apa adanya. Pada akhirnya, cowok itu tersenyum kemudian mencicipi baksonya, menuruti saran Tasya. Berlanjut dengan mulutnya yang ikut mengunyah bakso itu. Lalu, ikut bergumam karena rasanya memang enak. Bukan karena katanya lagi. Tapi memang enak.
"Lo, ada makanan seenak ini kenapa gak ngasih tahu gue?" Ucap Gio sembari mengunyah baksonya. Matanya melotot menatap Tasya di hadapannya.
Sementara Tasya hanya bisa tersenyum geli melihat Gio mengomel sambil mulutnya yang penuh mengunyah bakso. "Makan dulu, baru ngomel. Awas, takut keselek nanti baksonya keluar lagi. Kan sayang..."
Sayang? Lo lebih sayang bakso daripada gue? Gio membatin dalam hati. Kemudian, meraih mangkuk bakso itu agar semakin dekat dengannya. "Karena ini enak, jadi ini punya gue."
Tasya yang baru saja mau menyendokkan mie beserta isiannya pun harus berdecak kesal. "Gi, kamu bilang makannya bareng. Kenapa malah diambil. Aku pesen sendiri gak boleh?" Gadis itu merengut, kemudian menambahi, "aku laper banget tahu."
Gio yang melihat itu hanya bisa menahan senyum, sungguh lucu melihat ekspresi kecewa gadis itu. Menggemaskan!
"Iya.. iya... nih makan. Abisin, asal jangan sama mangkoknya lo telen juga." Kekeh Gio meledek.
"Kamu?" Tanya Tasya bingung, saat Gio memundurkan mangkuk itu tepat di depan Tasya. "Makan aja udah, liat lo makan lahap gitu udah bikin gue kenyang duluan," ucapnya sambil tersenyum. "Kalau kurang bilang aja, tambah lagi sana. Gue yang bayar, gak usah lo segala mau traktir gue."
"Kenapa?" Tasya mengerutkan alis saat kembali melahap bakso itu.
"Mana ada cowok sama cewek jalan berdua terus ceweknya yang bayar makan? Meskipun ada, tapi gue gak mau begitu. Ogah gue, udah kayak difficult people aja." Kemudian tertawa sumbang.
"Bukan nganggep kamu gitu. Ini namanya samaan. Lagian aku punya uang kok." Sergah Tasya setelah itu.