Gio

Tri Wulandari
Chapter #13

Saling cinta, tapi tak bisa bersama

Seperti dugaan Gio sebelumnya, makan malam yang diadakan sang Papa—Willy Arthadinata di restorannya memang membosankan. Saat makan malam berlangsung, hanya hal seperti biasa yang ditanyakan. Apalagi kalau bukan nilai sekolahnya?

"Gi, bagaimana hasil nilai kamu? Papa dengar, kamu sedang les privat. Guru kamu tidak galak kan?" Tanya Willy di sela kunyahannya. Sementara Heni hanya melirik saja, mulutnya sibuk mengunyah makanan tanpa mau ikut andil dalam percakapan itu.

Gio hanya mengangguk, wajahnya datar. Dia sama sekali tak berselera makan. Setelah mengantar Tasya pulang ke kost-nya, Gio langsung datang ke restoran itu sendiri tanpa bersama sang Mama.

"Kamu lihat restoran Papa, semuanya sukses karena kerja keras Papa. Maka dari itu, Papa yakin jika nilai kamu bagus kamu pun akan sukses seperti Papa." Kemudian Willy tersenyum bangga setelah mengucapkan hal tadi. Hal yang disambut kekehan mengejek dari anaknya sendiri. Apa? Sukses? Ya, Willy memang sukses dengan bisnisnya, restorannya ramai dan banyak digandrungi oleh remaja jaman sekarang. Belum lagi, jika seseorang ingin melaksanakan perayaan di tempat ini. Maka, uang yang Willy dapat tidaklah sedikit. Namun hal itu, tak membanggakan sama sekali menurut Gio.

Gio menggeleng setelah menyesap air putih di gelasnya, lalu berujar, "gak, Gio gak mau jadi kayak Papa."

Heni melirik tajam ke arah anaknya itu, kemudian menendang pelan tulang kering pemuda itu di bawah meja. Setelah menyesap air di gelasnya, Heni berdeham pelan. Guratan di sepanjang dahi Willy nampak dengan jelas. Anaknya itu memang sering sekali bicara tanpa difilter dulu. Asal jeplak saja seperti petasan banting.

Gio melirik malas sang mama yang duduk di seberangnya. Wanita itu melotot sebagai kode agar Gio menjaga ucapannya. Namun Gio, bocah itu sudah tidak mempan jika diperingati dengan cara begini. Dia sudah lelah dengan semua omong kosong serta perangai palsu orang tuanya yang mereka saling tampilkan.

"Kenapa? Gio juga gak mau jadi kayak Mama, tukang selingkuh, sok sibuk, dan arogan." Tambahnya lagi, yang mana Heni menganga tak percaya dengan ucapan putranya. Siapa yang mengajari Gio berkata seperti itu?

"Kamu!" Heni bangkit dari duduknya, lalu menghunus Gio dengan tatapan kesal.

"Apa? Mama tersinggung?" Gio mendongak, dia tak gentar menatap mata sang mama yang diselimuti kabut amarah. Cowok berhoodie hitam itu pun menoleh ke sang papa yang terlihat termangu. Dia mengisyaratkan mantan istrinya untuk duduk dan bersikap dengan tenang.

"Sudah Hen, duduklah. Kita sedang makan malam." Ajak Willy memecah suasana mencekam. Heni pun menurut, dia memberengut sebal, selera makannya sudah hilang. Dan semuanya karena ulah anaknya sendiri.

"Yang sopan sama mamamu Gi."

"Papa..." panggil Gio dengan tangan melipat di dada. Cowok itu memicing menatap sang papa yang sudah bersiap mendengarkan anaknya.

"Papa pikir Papa sukses? Dari segi bisnis mungkin iya. Tapi dari ngebina rumah tangga? Ck..." Gio menggeleng. "Kalian semua sama. Pengkhianat, sama-sama gak beres bina rumah tangga dan gagal menyayangi Gio." Celetuk tajam cowok itu. Dia pun bangkit berdiri, makan malam ini hanya sebuah sarana untuknya mengemukakan kekesalannya. Dia benci dituntut dan kesal dengan pertanyaan yang sama. Mereka semua egois dan tak mau mengerti Gio.

"Gio! Jaga ucapan kamu!" Willy mulai naik pitam. Dia berdiri sembari menatap tajam sang anak yang masih tampak santai dan tenang.

"Apa? Mending Papa urusin keluarga baru Papa deh. Tante Becca udah nunggu di rumah. Sama Mama..." tunjuk Gio pada mamanya. "Mama urusin aja Om Jerry yang selalu ngajak Mama lupa sama rumah dan Gio. Gio gak butuh kalian."

Pada akhirnya, Gio beranjak pergi dari restoran itu. Meninggalkan makan malam yang sama sekali tak ada artinya. Di sana Willy dan Heni sama-sama kesal dengan perangai Gio. Segala macam umpatan keluar dari mulut Willy. Sementara Heni, wanita itu tentu tak mau disalahkan atas tindakan melawan dari Gio. Dia selalu membela diri dan tak mau disalahkan, padahal jika mereka tak egois dan bisa bekerja sama mendidik Gio dengan baik. Anak itu tidak akan sekeras kepala seperti sekarang.

Gio tak peduli, dia lantas menaiki motornya dan pergi ngebut menjauh dari restoran papanya.

Lihat selengkapnya