Mereka dekat, namun tidak ada hubungan khusus yang terjalin. Gio merasakan sedikit nyeri pada hatinya, kenapa Tasya tidak bisa melihat jika dia sangat bersungguh-sungguh dalam hubungan ini? Apa Tasya tidak percaya padanya? Sehingga gadis itu masih saja bungkam dan tak mau memberi jawaban. Perasaannya digantung sepihak, setiap Gio menanyakan tentang bagaimana perasaan gadis itu padanya, maka Tasya akan mengalihkan ke hal yang lain. Entah, Gio bingung harus bagaimana meyakinkan Tasya.
"Gi..." panggil Satya sekejab, si empu nama tak membalas. Dia tengah membenamkan wajah di lipatan tangannya di meja. Satya tahu, Gio tidak sedang tidur di kelas. Dan rumus matematika yang tengah diajarkan si guru garang itu begitu sulit dicerna.
"Gi... gue mau nanya ih. Ngapa sih lo? Cemberut aja kayak cewek lagi PMS?" Satya berdecak, cowok yang hari ini memakai sweater berwarna coklat itu mengguncang punggung sahabatnya tak sabar.
"Apa sih lo! Ganggu banget nyet!" Sungut Gio kesal setelah menoleh. Dia menghunus Satya dengan tatapan kesal lengkap dengan alis bertaut.
Satya terdiam, kemudian tersenyum miring. "Gue pengin main tebak-tebakan," katanya lengkap dengan cengiran.
"Gak jelas banget anak setan." Gio malas menanggapi, kemudian kepalanya kembali menoleh menatap tembok sekolah di samping kirinya yang bersih. Di sana, Gio tengah membayangkan wajah Tasya yang cantik. Juga kembali mengenang rasa manis bibir gadis itu yang beberapa waktu lalu disesapnya. Gio tak percaya bahwa dia berhasil mencium seorang gadis. Senyum tipis terbit di bibirnya, sementara Satya masih memandangi Gio yang kembali meringkuk malas.
"Bro, lo ditolak Tasya yak?" Tanya Satya hati-hati. Hal yang secara cepat langsung mendapat sambutan tak terduga dari Gio, cowok itu melebarkan matanya kemudian dengan cepat duduk dengan tegak.
"Lo tahu dari mana?" Tanya Gio dengan mata memicing. Saat ini mereka tak bisa berbicara dengan nada lantang, karena di depan sana Bu Tessa si guru garang itu tengah menjelaskan rumus logaritma yang membuat otak Gio meleleh. Sesuai janjinya, jika ada yang berani keluar dari kelasnya lagi maka orang itu tidak akan lulus tahun ini. Dan tentu saja, Gio tak mau mengulang lagi. Sekarang saja rasanya sudah sangat melelahkan, bagaimana jika dia mengulang kembali? Mungkin Gio bisa stres.
"Gue bisa baca pikiran..." kekeh Satya pelan. "Dari muka lo keliatan banget anjir. Beneran ditolak nih?" Tanyanya lagi, yang kini semakin mendekat dengan nada setengah berbisik.
Gio menghela nafas lelah, kemudian berujar, "dia belum ngasih jawaban. Bukan ditolak sebenernya. Cuma—" belum selesai Gio memberi penjelasan, Bu Tessa di depan sana sudah menginterupsi mereka berdua. "Kalian!! Ngapain bisik-bisik!? Mau kabur dari kelas saya ya!!" Teriak Bu Tessa lantang, selantang toa untuk berdemo. Dan hal itu, membuat semua murid di dalam ruangan kelas duabelas IPA3 menaruh pandangan pada dua manusia yang tengah mengobrol itu.
"Gak Bu, kita lagi sharing soal rumus itu." Tunjuk Satya pada rumus logaritma di papan tulis. Kemudian menyengir. Bu Tessa hanya menghela nafas, kemudian berlanjut menjelaskan rumus-rumus matematika di bab selanjutnya.
"Nilai lo udah ada perkembangan, semuanya karena dia kan? Bagus sih! Keren asli tuh cewek." Satya berdecak sambil menulis semua materi yang Bu Tessa ajarkan. Kemudian menoleh, menatap sang sahabat dengan raut datarnya yang sulit ditebak.
"Dia emang keren. Dia selalu bilang, dia gak mau komitmen sama siapapun. Tapi gue gak percaya..." ucap Gio.
"Dia bilang ada hal yang gue gak tahu, dan dia gak mau melewati batas. Maksudnya apa sih?" Gio menggeleng pelan, lalu menghembuskan nafas kasar.
"Melewati batas? Pager maksudnya?" Satya berpikir, sambil menautkan alis. Siapa tahu saja benar.
"Goblok!" Cibir Gio merasa lelah. "Udah, susah ngomong sama lo. Gak bakal ngerti lo urusan cewek mah."
***
Setelah pulang kuliah, seperti biasa hari Senin adalah jadwal untuknya mengajar les. Saat sampai di rumah megah itu, rupanya Gio belum pulang. Padahal jarum jam sudah berputar di angka 3. Sepertinya cowok itu sedikit terlambat.
Namun, ada hal yang berbeda kali ini. Heni—mamanya Gio sudah berada di rumah. Wanita paruh baya itu tengah duduk di sofa ruangan utama sambil tangannya sibuk dengan ponsel. Atau mungkin, wanita itu tak lembur dan pulang cepat.