"Bukan apa-apa." Tasya menggeleng saat Gio bertanya mengapa matanya merah dan tentang amplop yang tengah dipegang Tasya tadi. Pemuda itu lantas mengangguk mengerti, meskipun rasa penasaran terhadap amplop—entah berisi apapun itu masih jelas terasa. "Semangat ya, dikit lagi kamu lulus." Tambahnya lagi.
Senyum mengembang terbit dari bibir cowok itu. Dia tersenyum merekah saat gadis yang disukainya mengucapkan kalimat penyemangat yang membuatnya yakin untuk melanjutkan pendidikan. Benar kata Tasya; pendidikan tidak boleh disia-siakan.
"Semakin cepet kamu pinter, semakin cepet tugas aku selesai." Tasya membelai puncak kepala cowok itu. Lalu tersenyum manis seperti biasa, seakan tak ada luka yang tengah dirasakannya.
"Dan sampe kapan lo akan gantungin perasaan gue?" Celetuk cowok itu, seketika menangkap tangan Tasya yang membelai rambutnya. Tasya terdiam sesaat, dia mengerjab pelan. Lalu, menghela nafas. Lidahnya kelu untuk menjawab.
"Jawaban apa yang kamu inginkan, Gi?" Tanya Tasya pelan nan sendu.
Gio memegang tangan gadis itu, lalu meletakkannya di dada sebelah kiri. "Gue mau lo jadi milik gue." Gio terdiam beberapa detik.
"Apa lo gak ngerasa detak yang sering gak beraturan ini karena siapa? Apa lo gak sadar kalau gue bener-bener gak bisa ngelepas lo. Gue sayang sama lo... perlu berapa kali gue bilang ke lo?" Kini Gio balik bertanya dan menatap intens Tasya. Gadis itu sontak melepas tangan yang tengah dipegang Gio, dan mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Sebentar lagi kamu mau Ujian, aku berharap kamu lebih baik fokus ke sekolah kamu." Lalu, Tasya mendongak menatap langit biru nan cerah yang begitu indah. Helaan nafas lolos dari bibirnya.
"Lo belum jawab gue lagi," ucap Gio lagi. Tasya menoleh, dan menatap lelah Gio. "Kali ini apa?"
"Amplop itu? Apaan isinya? Sini, gue pengen liat." Gio mencoba merebut amplop yang tengah Tasya pegang. Gadis itu buru-buru menyembunyikannya di belakang tubuhnya. "Kamu gak perlu tahu."
Dengan cepat Tasya memasukkan amplop itu ke dalam tasnya, lalu beranjak dari duduknya. "Mumpung masih sore kita jalan-jalan yuk."
"Kenapa gue gak boleh liat? Surat cinta dari si Dimas itu yak!? Ngaku lo!" Sungut Gio merasa kesal, dia menduga jika surat itu dari teman kuliah Tasya waktu itu.
"Ih apa sih? Bukan! Jangan ngada-ngada deh." Tasya mengibas tangan isyarat jika apa yang dibicarakan Gio tidak benar. "Kamu jangan sok tahu."
"Terus kenapa gue gak boleh liat?" Cowok itu memang tengil, tidak puas rasanya jika belum melihat langsung.
"Ini privasi aku. Mending daripada kamu marah-marah terus, kita jalan-jalan aja." Ajak Tasya meredam rasa penasaran Gio yang makin menjadi-jadi. Gio melirik malas Tasya, wajahnya merengut karena tak diperbolehkan melihat isi amplop rahasia yang gadis itu sembunyikan.
"Kita ke taman bermain mau?" Ajaknya lagi.
"Lo pikir gue bocah apa diajak ke taman bermain? Kayak gak ada tempat lain aja?" Ucap Gio malas.
"Sadar umur, kamu masih kecil." Sergah Tasya sambil terkekeh.
"Heh, bulan depan gue 18 tahun ya!"
"Udah jangan marah-marah aja, kita jalan yuk." Tasya menggandeng lengan Gio agar mengikutinya berjalan menuju pelataran parkir. "Oh iya, aku suka bunganya. Makasih ya?" Imbuhnya lagi, lengkap dengan senyuman manis yang membuat Gio seketika luluh. Memang senyuman Tasya tidak ada tandingannya.
"Lo yang bener aja, mana ada orang kencan ke taman bermain? Ke kafe kek, bioskop kek?" Ucap Gio masih dengan nada malas.
"Emang kita kencan?" Tanya Tasya masih ingin meledek Gio. Melihat cowok itu merajuk sangat membuat Tasya ingin tertawa kencang. Alisnya akan saling bertaut dan lengkap dengan pipinya yang menggembung. Sungguh menggemaskan!
"Menurut lo? Cowok cewek jalan berdua apa namanya kalo bukan kencan? Jualan rengginang gitu?"
"Hahaha kamu lucu ya ternyata..." Tasya tetap tertawa, berusaha menutupi sakit yang mendera hatinya. Masalah baru datang dan membuat hidupnya seperti berada di ujung tanduk. Mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir, hingga kalimat Gio lagi-lagi menganggu pikiran Tasya dalam sepersekian detik.