Gio

Tri Wulandari
Chapter #19

Keadaan tak berpihak

Tanpa terasa, hari berganti hari, bulan berganti bulan. Dan Ujian akhir yang sudah dinantikan banyak murid DeVictory International High School pun dilangsungkan. Semua anak duduk masing-masing di tempatnya dengan perasaan campur aduk. Bagi mereka nilai yang bagus dan bisa masuk ke Universitas DeVictory adalah suatu prestasi paling tinggi nan membanggakan. Orang tua mereka yang notaben-nya memiliki harta berlimpah dan kaya raya bahkan tak segan melontarkan banyak dana agar anak mereka bisa berkuliah di Universitas terkemuka tersebut. Bagi para orang tua yang mendaftarkan anaknya kuliah di Universitas itu, sama dengan menggadaikan harga diri mereka agar tak menanggung malu dan mendapat hujatan. Bagi mereka masuk di Universitas dengan tingkat nilai yang tinggi adalah sebuah hal yang sangat penting, dan tentu berpengaruh pada nama baik mereka sendiri.

Tak terkecuali Gio, nama Arthadinata yang disandangnya sama dengan beban yang berat dipikul. Nama besar keluarga papanya itu menjadi momok menakutkan andai dia tak lulus tahun ini. Semua orang akan membicarakannya dan orang tuanya—terutama papanya. Pemilik restoran terbesar di kota ini harus menanggung malu karena anaknya yang bodoh, pemalas, tak lulus dan tak bisa masuk Universitas besar seperti DeVictory. Gio seketika menciut, nyalinya bagai di ujung tanduk. Namun, dia tetap harus melewatinya. Tak ada kata menyerah, seperti yang Tasya selalu bilang.

Beberapa hari lalu, Gio dijemput paksa dari tempat kos Tasya yang kumuh dan sangat sempit. Heni merasa sangat marah dan merasa dikhianati gadis itu. Dengan lancang dia menyembunyikan keberadaan anaknya, saat ditanya di mana Gio, Tasya seolah bungkam dan tak tahu apapun. Padahal Tasya sangat ingin memberi tahu keberadaan muridnya tersebut kepada orang tuanya, hanya saja pemuda itu melarangnya mengatakan pada mamanya. Dia sudah sebal dan malas kepada mamanya yang tak pernah mengerti tentangnya. Dan hanya Tasya yang peduli sejauh ini. Sungguh Gio kini membenci hidupnya jika orang tuanya selalu berbuat demikian. Mau tak mau, pemuda itu mengikuti mamanya pulang ke rumah. Meninggalkan Tasya yang habis dicaci maki oleh mamanya, Heni sudah tak percaya kepada Tasya lagi, gadis itu bahkan dipecat menjadi guru les Gio. Heni dengan tega melempar uang sepuluh juta di depan wajah gadis itu agar berhenti mengusik hidup putranya. Tasya menangis tersedu-sedu merasa bersalah atas apa yang Gio lakukan. Dan setelah itu, pertemuan tak pernah terjadi lagi di antara Gio dan Tasya.

Tasya menghindari pemuda itu. Dia sulit dihubungi, dan sekarang tak ada kabar.

Gio resah, pemuda itu sulit fokus pada lembar pertanyaan dan jawaban yang ada di mejanya. Pikirannya melang-lang buana entah ke mana. Dia sangat merindukan Tasya. Sangat.

"Waktu tinggal 10 menit lagi, saya harap kalian bisa mengerjakan dengan baik dan benar. Setelah ini tidak akan ada remedi, jika jawaban kalian ngawur. Maka bisa dipastikan kalian tidak akan lulus. Maka lakukan dengan benar." Pengawas ruangan Ujian memberi nasehat dan peringatan untuk semua murid. Dari hari pertama Ujian, Gio sudah tidak fokus. Tapi, dia sudah berusaha sekuat tenaganya. Mencoba mendengarkan nasehat Tasya yang terakhir sebelum mereka tak bertemu lagi, dia harus bisa membuktikan pada orang tuanya bahwa usahanya selama ini membuahkan hasil.

Kriiinggg!!! Suara bel berbunyi, tanda waktu ujian sudah selesai. Dan semua murid yang mengikuti Ujian di hari terakhir ini mengumpulkan lembar jawabannya. Semua murid berjalan dengan berbaris, mengumpulkan masing-masing kertas jawaban di meja pengawas.

"Huaaaa!!! Lega banget gua Gio!!!" Seru Satya sambil meraup wajahnya. Raut senang kentara jelas di wajahnya. Akhirnya masa yang membuat jantungnya berdegub tak beraturan selesai juga. Dan kini tinggal menantikan hasil, serta fokus ke seleksi bersama masuk perguruan tinggi.

Gio hanya diam, dia tak membalas. Setelah semua murid keluar dan mengambil barang-barangnya di loker sekolah. Mereka bergegas pulang. Gio berjalan dengan lamunan yang melekat di wajahnya, ke mana Tasya? Seharusnya gadis itu berada di sisi Gio dan memberi selamat serta hadiah atas perjuangan pemuda itu dalam menjalankan Ujian terakhirnya.

"Masih belum ketemu Tasya? Lo gak berusaha nyari, Bro?" Satya duduk di sebelah Gio, cowok itu mendaratkan bokongnya di trotoar pembatas tempat parkir. Lalu menghela nafas lelah, kemudian meraup wajahnya frustasi.

"Gue gak tahu harus nyari dia ke mana? Gue bingung, selama ini gue selalu ikutin saran dia. Dia yang selalu ada buat gue Sat. Dia yang selalu nyemangatin gue ketika gue merasa stres. Dan sekarang..." Gio tak mampu melanjutkan kalimatnya. Rasanya sangat sulit jika harus dipikirkan terus menerus.

"Nyokap lo keterlaluan sih menurut gue. Coba aja kalo dia gak sampe maki-maki Tasya dan pake acara ngelempar segepok duit. Gue yakin Tasya gak akan pergi. Tasya pasti sakit hati banget, Bro."

"Iya, gue tahu. Dan semuanya karena salah gue. Seharusnya gue yang ditampar Mama, seharusnya gue pula yang dicaci maki. Bukan Tasya, dia cuma ngikutin apa permintaan gue. Tapi nyokap gue salah paham," ucap Gio sendu. Dia merindukan gadis penyemangat yang saat ulang tahun kemarin memberinya sebuah lukisan indah tentang potret dirinya.

"Lo harus cari dia, Bro!" Usul Satya merasa Gio harus melakukan sesuatu.

Lihat selengkapnya