Tasya berjalan dengan langkah mantap, jiwanya dan perasaannya tak tenang sejak pertemuan tak sengajanya dengan Gio. Tepat satu bulan setelah itu, hidupnya seperti tengah dihantui pemuda itu. Bayangnya kerap muncul dan membuat tidur gadis itu tidak nyenyak. Gio membayanginya, sering.
Dia tak punya pilihan lain selain berbuat sesuatu, entah ini benar atau bukan. Tapi Tasya selalu percaya bahwa hal apapun di dunia ini selalu memiliki kesempatan kedua. Langkahnya terhenti di depan kursi kafe, sebuah kafe sepi di pagi yang cerah ini. Tasya duduk di kursi itu, lantas memanggil pelayan untuk memesan secangkir teh madu. Lalu setelah itu, dia diam menunggu. Menunggu seseorang yang sangat ingin diajaknya bicara dan meminta kesempatan kedua.
Tasya tak yakin orang itu akan datang menemuinya. Tapi setidaknya Tasya sudah mencoba, mencoba agar jiwa dan hatinya kembali tenang setelah banyaknya kejadian dan kesengsaraan yang kian bertambah. Ada rasa dosa yang menyelimuti benaknya, dan dengan ini dia memohon agar mendapat kesempatan terakhir untuk membahagiakan seseorang yang berharap padanya. Lalu, setelah itu dia akan pergi dan tak akan muncul lagi.
Teh pesanannya datang, dengan perlahan Tasya menyeruput teh madu itu. Uap panas mengepul dari atas cangkir keramik berwarna putih tulang itu. Dengan gugup gadis itu memilin jari telunjuknya. Sudah 15 menit dia duduk di sana, namun orang itu tak kunjung datang. Hingga...
Suara derap sepatu hak tinggi membuyarkan lamunannya. Orang itu datang, dengan wajah yang sulit diartikan. Dia diam, bibirnya terkatup dan membentuk garis tipis. Entah, Tasya tak tahu apakah permintaannya meminta wanita itu datang ke sini adalah sebuah kesalahan atau bukan?
"Ada apa? Katakan dengan cepat, saya gak punya waktu lama." Heni duduk setelah sampai di depan gadis itu. Dia menatap Tasya dengan raut datar, tak ada kata-kata lain yang terlontar dari mulutnya.
Tasya menelan salivanya berat, rasanya sangat canggung. Otaknya bahkan nge-blank dan tak tahu harus bicara apa.
"Apa uang yang saya kasih waktu itu kurang? Kamu pikir saya gak tahu pertemuan kamu dengan anak saya di taman waktu itu? Hey, gadis murahan! Kamu dengar, saya selalu punya cara dan akses untuk menguntit kamu! Jangan macam-macam dengan saya!" Ucapnya dengan desisan. Tasya mengerjab cepat, semua kalimat menohok itu begitu menyakitkannya. Tapi, Tasya harus berpikir jernih dan tak terbawa emosi.
"Saya akan pergi Bu dari hidup Gio seperti yang Ibu minta," balas Tasya yakin.
"Buktikan! Saya akan beri kamu cek, berapa nominal yang kamu inginkan? Saya akan kasih berapapun, tapi setelah itu pergi dan jangan pernah muncul lagi di depan saya ataupun Gio." Heni menginterupsi. Lalu menyilangkan tangannya di dada. "Jangan kamu pikir, karena saya dulu baik sama kamu, terus kamu bisa seenaknya mengendalikan Gio. Ingat, kamu hanya remahan. Kamu hanya orang asing yang kebetulan lewat di hidup anak saya. Kamu hanya gadis miskin yang sedang butuh uang ketika melihat iklan saya di laman internet. Saya menyadari sesuatu..." Heni menjeda ucapannya. Lalu melirik kuku-kuku jarinya yang mengkilap, lengkap dengan raut congkak. "Kamu gak selalu berdampak baik buat Gio. Tapi perlu saya akui, bahwa kamu berhasil membuat nilainya membaik. Tapi," Heni memberi penekanan di kata 'tapi'. Lalu menatap intens Tasya, lalu melanjutkan, "itu bukan berarti kamu bisa mengendalikan Gio hingga dia membenci saya."
Tasya tercekat, dadanya sesak. Untuk semua penghinaan yang Heni lontarkan, sudah cukup menenggelamkan harga dirinya. Rasanya sangat menyedihkan. Heni dengan gamblang meremehkannya.
"Ingat, kamu cuma gadis miskin. Sampai kapanpun kamu gak akan pantas untuk Gio. Kamu sadar itu?"
Tasya rasa sekarang adalah gilirannya. Gadis itu menelan saliva berat, lidahnya terasa kelu tapi tetap dipaksakan untuk berbicara. Dia hanya ingin memastikan Gio hidup dengan baik dan akan melupakannya setelah ini.
"Saya minta kesempatan terakhir untuk ketemu Gio, setelah itu saya janji saya akan pergi. Ibu gak perlu khawatir saya akan muncul lagi dan dekat dengan Gio. Saya juga tahu diri, saya gak pantas untuk anak Ibu. Seperti yang Ibu bilang tadi, saya hanya 'remahan'."
"Untuk apa? Apa kamu mau mempengaruhi Gio lagi agar membangkang kepada saya? Kamu pikir saya bodoh!" Heni melotot saat berucap. Dia begitu mengintimidasi Tasya, rasa benci lebih dominan sekarang. Gadis itu telah dicap buruk olehnya.
"Saya janji Bu, saya akan pergi setelah itu. Saya hanya ingin memastikan Gio baik-baik saja dan akan melupakan saya. Saya mohon, hanya untuk yang terakhir." Air mata Tasya menetes perlahan. Benteng dirinya hancur oleh perasaan yang mendera. Dia hanya menginginkan kesempatan terakhir bertemu pemuda itu, lalu pergi menjauh. Tasya adalah orang yang selalu menepati janji. Dia tak akan pernah mengingkari sesuatu yang telah dia janjikan.
Heni terdiam beberapa saat, dia tengah berpikir.
"Saya mohon Bu, hanya untuk yang terakhir. Setelah itu, Ibu bisa memastikan saya tidak akan muncul lagi di depan anak Ibu." Tasya berucap dengan bibir bergetar. Dia terisak, dan rela memohon agar bisa bertemu Gio untuk yang terakhir kalinya.