Gio

Tri Wulandari
Chapter #21

Epilog

Gio tersenyum lebar saat barusan mendatangi kampus kebanggaan DeVictory. Surat penerimaan yang baru saja dibacanya digenggam erat. Senyum merekah benar-benar dia tampilkan. Tak lupa Satya, pemuda yang juga sahabat Gio itu diterima di Universitas yang sama. Semuanya tersenyum bahagia.

"Bro! Barengan lagi kita," ucap Satya dengan kekehan. Kemudian menyengir lebar, satu tangannya merangkul bahu Gio erat. "Kita harus ngerayain ini, Bro. Bokap gue sih udah nyiapin hadiah."

"Lo mau apa?" Tanya Gio ingin tahu. Mereka berjalan beriringan menuruni anak tangga bangunan kampus.

"Apa aja, asal jangan liburan berdua sama Cecil," jawab Satya apa adanya.

"Lo kenapa sih sama adek lo itu? Bertahun-tahun ngehindar gak ada abisnya?" Decak Gio merasa heran pada sang sahabat.

"Aduh... lo mana ngerti sih, Gi. Lo gak punya sodara. Gak punya adik, gak punya kakak. Lo emang bisa nerima, kalo adek lo diem-diem naksir berat sama lo dan terobsesi milikin lo?" Dengkus Satya sebal.

"Ya, biarin aja," balas Gio asal. Kemudian tersenyum miring.

"Bego! Walaupun Cecil adik angkat gue, gue gak mau dia sampe naksir gue. Gue sayang dia sebagai adik. Tapi dianya gak bisa ngendaliin diri. Bawaannya pengen hilap mulu sama gue, kan rese. Gue lelaki, punya nafsu juga. Lo pikir enak apa nahan lama-lama..." Satya mendumal. Hingga pelataran parkir, alisnya saling bertaut. Lalu membuka pintu mobil dan masuk. Diikuti Gio, mereka memang sengaja datang bersamaan.

"Ya udah sih, Bro. Lo gak punya ikatan darah sama dia. Tinggal pacarin aja susah amat?" Balas Gio santai.

"Emang udah gila lo! Mau taro di mana muka bokap sama nyokap gue? Kalo sampe rekan-rekannya tahu kalo anaknya saling pacaran satu sama lain! Mampus gue!"

"Ya taro di muka bokap lo lah. Masa bingung taro di mana? Ada tembok noh, tempelin aja, bokap lo kan ganteng." Ledek Gio masih dengan nada santai.

"Emang dasar sinting!!" Cibir Satya dengan kekehan. "Eh Bro..." Satya bersuara kembali.

"Apa?" Tanya Gio yang pandangannya masih fokus ke layar ponselnya. Dari tadi jarinya sibuk mengetik sesuatu di sana, dia pun mendengkus kesal karena seseorang yang tengah dihubunginya tak kunjung memberi tanggapan.

"Kenapa sih lo? Sebel sendiri?" Tasya udah lo kasih tahu?" Tanya Satya sambil memutar kemudi.

"Ini gue mau ngasih tahu dia. Tapi nomernya gak aktif," balas Gio sambil masih mendengkus.

"Coba aja samperin ke tempat kos-nya. Lo tahu kan dia tinggal di mana?"

"Tahu sih, tapi semenjak sekarang dia jadi nomaden gitu. Pindah-pindah mulu."

"Mau gue anter cari rumah dia? Tanya temen atau kerabatnya yang lo tahu, kita cari sama-sama." Tawar Satya pada sahabatnya itu.

"Oke, nanti dulu. Gue akan coba hubungi sekali lagi."

Namun, masih sama. Tak ada balasan dan tak ada jawaban. Tasya benar-benar menghilang dan bagai ditelan bumi. Kabarnya tak terdengar dan sulit sekali dihubungi. Ke mana gadis itu pergi?

Sesampainya di rumah, Gio turun dari mobil Satya. "Kalo butuh sesuatu telpon gue. Jangan sok iya lo," tawar Satya pada sahabatnya sebelum berlalu. Meskipun kerap menyebalkan, tapi Satya bagai seorang kakak untuk Gio.

"Oke," jawab pemuda itu lantas berjalan memasuki gerbang rumahnya. Di teras sana, sambutan meriah telah disiapkan mamanya—Heni. Ada balon, serta papanya dan suara terompet dan kue warna-warni.

Lihat selengkapnya