Bukannya aku kejam, aku hanya tak ingin rasa ini semakin menguap
•••
"Udah selesai 'kan?" tanya Gio ketika melihat Saura menuruni tangga bersama kakaknya. Gadis itu memakai kaus berwarna maroon dengan celana jins setengah paha yang Gio yakini itu semua milik kakaknya, Tera.
Saura melangkah menghampiri Gio yang sedang duduk bersila di ruang televisi bersama Niza, di sampingnya ada si Emeng yang sedang tertidur.
"Emengnya udah Gio obatin?" tanya gadis itu sembari meneliti setiap inchi tubuh Emeng.
Gio memutar bola matanya jengah. "Nggak guna banget pertanyaan lo, ya udahlah, nyokap gue yang ngobatin. Ngerepotin lo, udah sana pulang!" ujar Gio sarkas.
"Gio..., " tegur Niza yang merasa jengkel pada anak bungsunya itu, "mulut kamu nggak bisa dijaga? Laki-laki kok mulutnya kayak cewek. "
Saura mengangguk setuju lantas memberikan dua jempolnya. "Bener tante! Mulut Gio itu memang kayak cewek, atau lebih tepatnya kayak samyang, pedesss." Saura memasang ekspresi yang menurut Gio lebay, bahkan kedua tangannya mengibas-ibaskan wajah putihnya.
Tera dan Niza terkekeh bersamaan, "Kamu dapet dia dari mana sih Gio? Mama gemes liat Saura."
"Polos banget otaknya sumpah, jadi pengen gue kotorin," timpal Tera kembali terkekeh.
Dengan wajah polosnya, Saura mengerjapkan kedua matanya. "Rara pengen dibawa ke rumah sakit?"
Seketika semuanya diam. "Maksud lo apa sih? Kalo ngomong tuh yang jelas!" kesal Gio.
"Tadi kata Kak Tera, otak Rara pengen dikotorin, berarti kita harus ke rumah sakit dulu untuk potong kepala Rara buat diambil otaknya dan dikotorin?" Oke, Gio akui kalau gadis ini memang polos tanpa dasar pura-pura, dan saking polosnya membuat Gio merasa gerah menghadapi sifatnya itu. Lihat saja, bahkan kakak dan ibunya sudah tertawa terpingkal-pingkal, sebenarnya apa yang lucu? Tidak ada.
"Ra, jadi anak Tante aja yuk! Tante gemes sama kamu!" ujar Niza disela kekehan nya.
"Kal-"