Bahagiamu adalah bahagiaku. Tapi rasa sakitku bukan rasa sakitmu. Hati seseorang memang se-bercanda itu.
•••
Gio yang merasakan ketakutan dalam diri Saura menoleh ke belakang, membuat gadis itu langsung memeluknya dengan erat sambil terisak.
"Ra? Kenapa?" tanyanya khawatir.
"Gio an-antar Rara p-pulang," lirih Saura semakin memeluk Gio dengan erat. Tidak peduli banyaknya pasang mata yang memperhatikan dirinya, Saura tetap memeluk Gio dengan erat.
"I-iya, ya udah ayo pulang." Gio berusaha melepaskan pelukan Saura, tapi gadis itu malah enggan untuk melepasnya. "Sah, katanya mau pulang, ya udah ayo lepasin dulu."
Saura langsung melepaskan pelukannya membuat Gio terkejut ketika melihat wajah cantik Saura yang sangat merah dengan pipi yang sudah basah karena air mata. Dengan pelan, Gio mengusap air mata di pipi Saura dengan lembut setelahnya mengecup kening gadis itu sebentar.
"Jangan nangis lagi ya?" ujarnya lembut. "Yuk pulang." Ketika Gio sudah melangkah sembari menarik tangan Saura, lelaki bernama 'Dion' tadi memanggil nama Saura berkali-kali, sedangkan yang dipanggil malah menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Lo tunggu sini bentar, biar gue yang samperin dia, kalo lo gak mau liat dia lo diem aja di sini jangan noleh. Ngerti?"
"J-jangan sam-perin d-dia."
"Bentar doang." Dan setelahnya Gio berlari meninggalkan Saura di dekat ambang pintu kafe, dan pergi menghampiri Dion.
"Lo siapanya Saura? Kenapa Saura nangis liat lo?" tanya Gio to the point.
"Gue pacarnya."
Gio terkekeh. "Bullshit, lo pikir gue bakal percaya sama omongan lo?"
"Tapi gue beneran pacarnya! Gue belum putus sama Saura walaupun udah tiga tahun kita nggak ketemu. Gue masih sah pacarnya!"
Bugh
Satu pukulan mendarat di pipi Dion. "Anjing, diem lo brengsek! Gak ada kata sah untuk orang pacaran goblok! SAURA NGGAK MAU KETEMU LO, LO CUMA MASA LALUNYA. HANYA MASA LALU!" Gio menatap murka pada Dion yang tersungkur di lantai kafe. Suasanya kafe tiba-tiba saja ramai, pengunjung yang mayoritas adalah murid SMA Laksana langsung menghampiri kedua remaja itu dengan pandangan yang berbeda-beda.
Dion tersenyum sinis, lalu bangkit dari lantai. "Gue cowok pertama yang pernah nyentuh Saura asal lo-"
"DIEM LO ANJING!" Baru saja Gio akan kembali menghajar Dion, pinggangnya serasa dipeluk oleh seseorang. "Saura?" kagetnya, menetralkan amarahnya yang semula naik pitam, Gio berkata lembut pada Saura, "Kan gue udah minta lo tunggu di sana. Kenapa nggak dengerin gue?"
"Gio yang nggak dengerin Rara! Kan Rara udah bilang, jangan samperin orang itu. Liat buktinya sekarang kan? Gio buat mereka merhatiin Gio," kata Saura sembari menunjuk orang-orang yang sedang mengerubunginya, lalu mata bulat itu memberanikan diri menatap Dion yang juga sedang menatapnya dengan pandangan tak bisa diartikan. "Kalau kamu hadir di hadapan Rara untuk mencari masalah yang kesekian kalinya, lebih baik kamu nggak usah hadir." Setelah mengatakan itu, Saura menarik tangan Gio untuk keluar kafe setelah sebelumnya mengusir segerombolan orang yang tadi memperhatikan mereka. Tapi, baru beberapa langkah Saura berjalan, Dion tiba-tiba berlari menghadang jalannya.
"R-Ra, gu-gue minta maaf, sekali aja kasih gue kesempatan buat jelasin semuanya."
Mata Saura kembali berkaca-kaca, bersiap meluncur untuk kesekian kalinya. "Gak ada yang perlu dijelasin, semuanya sudah jelas."
"T-tapi, gue masih pacar lo Ra."
Saura tertawa sumbang, dan sekarang air matanya berhasil menetes. "Pacar? Sejak kapan kita pacaran? Bukannya kamu jijik pacaran sama Rara?"
"Tapi kita pacaran Saura! Kita belum putus."
"Fine! Kita putus mulai hari ini. Puas?"
Dion terdiam, membuat Suara langsung menarik Gio keluar dari kafe depan sekolahnya tanpa banyak bicara.
Saura masih menggenggam tangan Gio ketika mereka sudah sampai di tempat parkir, sedangkan Gio hanya diam dengan ekspresi terkejut yang sangat ketara.
"Sah?" panggil Gio pelan ketika melihat Saura yang hanya diam di parkiran.
Gadis itu tersenyum kecil menatap Gio. "Rara buat Gio dalam masalah di kafe tadi, maaf ya?"
Gio menggeleng pelan. "Bukan salah lo." Sebenarnya, ingin sekali Gio bertanya siapa sebenarnya cowok di kafe tadi, tapi melihat Saura yang seperti ingin menangis, cowok itu mengurungkannya. Ini bukan waktu yang tepat. Batinnya.
Gio segera menaiki motornya. "Yuk Ra naik," ucapnya ketika Saura tak kunjung naik.
"I-iya."
Selama perjalanan pikiran Saura berkelana, setelah kejadian di kafe tadi pikirannya menjadi tidak fokus. Ketika motor yang ditungganginya berhenti Saura tersadar dan merasa asing dengan tempat ia berhenti sekarang.
"Gio, ini di mana? Kok nggak antar Rara pulang?"
"Main dulu bentar, biar fresh, yuk turun."
Saura hanya menuruti apa kata Gio, sampai akhirnya mereka sampai di tempat berbelanja yang membuat mata Saura melotot seketika. "KITA DI DUFAN? SERIUS? AAAAA SENANGNYA RARA!!" Gadis itu bersorak senang sebelum memeluk tubuh Gio dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Raut sedih yang tadi ditampilkannya tiba-tiba saja hilang entah ke mana.
"Udah Ra, malu. Cepet pilih baju yang mau lo beli, nggak mungkin kan kita ke dalem pakai baju sekolah?" Saura mengangguk mengerti, lantas memilih sepasang stelan dan langsung memberikannya ke kasir bersamaan dengan pakaian milik Gio. "Gue aja yang bayar, lo tunggu luar."
"Uang Rara cukup kok buat beli ini."
"Susah."
"Ck, iya iya Rara tunggu luar."