Ava melintasi gerbang yang menjulang tinggi, melewati seorang penjaga sekolah berseragam hitam yang sedang bercakap-cakap menggunakan seperangkat walkie-talkie. Pemandangan yang terhampar di hadapannya membuat Ava berhentisejenak sambil menahan napas.
Alistaire School of Performing Arts and Music.
Sekolah ini jauh lebih luas daripada yang diingatnya. Selama ini, Ava hanya sering melihatnya di brosur dan artikel majalah, dan ia baru dua kali berada di sini untuk menghadiri pementasan kakaknya.
Alistaire adalah sebuah sekolah swasta berasrama yang terkenal elite di Jakarta, jauh dari keramaian dan ingar-bingar pusat kota. Pagar bercat hitam melingkupi bagian depan, tidak terlihat terkelupas meski usia sekolah ini tergolong tua. Selai gerbang yang luar biasa tinggi, area sekolah juga dikelilingi oleh tembok bata kukuh yang diselimuti oleh tanaman menjalar, membuatnya sekilas tampak seperti kastel Eropa dari abad kedelapan belas.
Bangunan sekolahnya memberikan kesan serupa, dicat warna merah tanah mendekati cokelat, bermodel kuno dengan jendela-jendela kotak yang tak terlampau besar. Dua gedung utama berdiri berdampingan, keduanya identik dalam bentuk maupun ukuran. Jalan setapak panjang yang dialasi batu-batuan mengarah ke pintu masuk dan terbelah di tengah, salah satunya menuju sebuah tempat lain yang tak terlihat dari posisi Ava berdiri. Kiri kanan jalan dihiasi rerumputan yang terpangkas rapi serta bunga-bungaan yang masih kuncup. Beberapa alat penyiram otomatis memancarkan percikan air setiap beberapa menit sekali, membuat tanahnya lembap, membaur dengan aroma embun pagi yang masih membekas di udara.
Ava mengembuskan napas pelan-pelan, merasakan detak jantungnya melambat. Tempat ini aneh, tetapi luar biasa indah. Berada di sini terasa familier, seolah ia sudah berjalan melewati gerbangnya ratusan kali.
Ini adalah SMA Rae. Kakak perempuan Ava tersebut menghabiskan dua tahun di sekolah ini, berlari melintasi gerbang seperti yang barusan dilakukan Ava, duduk dalam salah satu ruang kelas, menjejakkan kaki di jalan setapak yang menuju entah ke mana. Dua tahun lalu, Ava yakin Rae pun pernah berdiri di tempat yang sama sepertinya sekarang. Pikiran itu membuatnya sesak sehingga Ava buru-buru memalingkan muka untuk menekan rasa yang tiba-tiba muncul.
Ia berjalan melewati pekarangan, berusaha mencari kantor administrasi untuk mengambil kunci kamar asrama dan berkas-berkas yang diperlukannya; jadwal, silabus, juga daftar buku pelajaran untuk semester pertama. Ia mengedarkan pandangan, mencari seseorang yang dapat ditanyai arah, tetapi area itu kosong. Tidak terlihat siswa-siswi lalu-lalang, begitu juga dengan para guru. Penjaga sekolah yang tadi masih asyik mengobrol dengan walkie-talkie di tangannya, membuat Ava enggan mengusik. Akhirnya, ia memutuskan memasuki gedung di sebelah kiri, menyeret koper mengikuti langkahnya yang terasa kian berat.
Bagian dalam gedung tua itu ternyata lebih mengesankan dari luarnya. Langit-langitnya tinggi, dengan motif-motif cantik di jendela yang mengingatkan Ava pada mozaik kaca gereja. Dindingnya yang dipoles dengan warna krem dipenuhi oleh foto-foto berbingkai, semacam tribut bagi para alumnus sekolah yang kini telah sukses mengukir karier di bidangnya masing-masing. Interiornya kuno, seperti bagian dalam sebuah teater zaman dulu, dengan paduan warna merah marun, cokelat tua, dan remang cahaya keemasan. Samar-samar, Ava dapat membaui aroma lavendel—mirip dengan wangi pengharum ruangan yang dipakai Mama di mobilnya, juga bau yang melekat pada barang-barang Rae setiap kali pulang ke rumah. Bau yang tak asing itu membuat Ava sedikit lebih relaks.
Dari ambang pintu, terdengar gema musik dari berbagai penjuru ruangan. Gesekan biola, petikan gitar, denting organ, suara nyanyian, semuanya bercampur menjadi satu, membentuk harmoni yang saling tumpang-tindih. Suara-suara itu sepertinya keluar dari ruang-ruang tertutup yang ada dalam gedung ini. Ava memantapkan langkah, lalu masuk lebih jauh, bertekad tidak akan membiarkan nyalinya ciut hanya karena berada di lingkungan baru.
Seorang lelaki paruh baya yang sedang menyapu menunjuk tangga tanpa banyak bicara ketika Ava menanyakan di mana ia dapat menemukan kantor administrasi. Dengan susah payah, ia menarik kopernya ke atas, menyalahkan diri sendiri karena telah membawa terlalu banyak barang, juga karena lupa bahwa sekolah ini tidak memiliki fasilitas lift. Sekolah sebesar ini bukan hanya perlu lift, ia ingat Rae sering berkata, malah harusnya dibuatkan peta khusus. Ava tersenyum samar. Kakaknya benar; sekarang, Ava merasa seperti seorang Muggle yang sedang tersesat di Hogwarts.
Untungnya, kontras dengan keadaan di luar, lantai dua tempat itu penuh sesak dengan manusia, kebanyakan remaja seumurnya. Beberapa berkelompok di sofa usang di depan televisi, beberapa saling melempar kaleng soda dari mesin pen- dingin, sisanya terlihat sama hilangnya seperti Ava. Ia menghampiri seorang wanita bertubuh gempal di balik meja setengah lingkaran, yang tanpa basa-basi menanyakan nama lengkapnya dalam suara berat yang terdengar jemu.
“Ava Tirtadirga.”
Ava berani bersumpah, beberapa orang di sekelilingnya mendadak berhenti bicara ketika mendengar namanya disebut walaupun ia sudah berusaha memelankan suaranya sebisa mungkin. Jika Rae ada di sini, kakaknya itu akan menyebutkan namanya dengan lantang, tanpa peduli apa yang akan dipikir- kan orang.
Wanita di balik meja menyerahkan sebentuk kunci tembaga, sehelai formulir yang perlu diisi dengan data pribadinya, dan seberkas map berisi jadwal pelajaran serta buku yang perlu dibelinya dari toko buku sekolah. Ava mengangguk penuh terima kasih, kemudian bergegas mencari kamar nomor 304.