Gita & Geng Lanjut Usia

Ridho Agung Pangestu
Chapter #1

CAHAYA SENJA

Usia Gita belum genap dua puluh tiga, tapi setidaknya dia sudah mencoba bunuh diri sebanyak tiga kali. Pertama menggunakan pisau, kedua menggunakan racun dan yang ketiga memakai tali. Semuanya selalu tidak berhasil karena ada saja yang mengagalkannya. Namun Gita dikenal gigih dan tidak akan menyerah begitu saja. Kini, dia akan mencoba cara yang keempat: pergi ke panti jompo.

Dengan mengandalkan arah map yang ditunjukan oleh aplikasi dan driver gojek yang sudah entah berapa kali nyasar, motor itu mulai menuju ke arah jalan yang benar. Bahkan sengatan matahari dan bau helm tua yang menempel di kepalanya, tidak lagi dipedulikan oleh Gita. Untungnya, titik merah pada map semakin mendekat hingga notifikasi bahwa dia sudah sampai di lokasi berbunyi. Di depan matanya, berdiri bangunan dengan dominasi warna putih yang mulai memudar dan halaman yang cukup luas. Kombinasi yang langsung memberikan kesan asri. Namun mata Gita hanya tertuju pada spanduk kecil yang tertempel di bangunan itu: “Panti Jompo Cahaya Kasih”. Pertanda tegas bahwa dia memang sudah sampai.

“Semuanya jadi delapan belas lima ratus mbak.” Ucap driver gojek memecah lamunan Gita.

Dengan terburu, Gita langsung mengambil dompet di sakunya. Matanya begitu hati-hati mengeluarkan lembar-lembar demi dari dompetnya. Seakan setiap lembarnya adalah hal yang begitu berharga. Diawali dengan lembar lima ribuan pertama, lima ribuan kedua hingga lima ribuan ketiga. Driver gojek itu menerimanya dengan wajah pasrah ketika melihat ketiga lembar uang itu terlihat begitu lecek dan kusam. Tangan Gita semakin dalam merogoh ke dalam dompetnya. Hingga tangannya berhasil mengeluarkan selembar dua ribuan dan seribuan yang sama-sama leceknya. Usahanya tidak berhenti sampai di situ saja, karena masih kurang 500 rupiah. Tangannya sibuk bergerilya merogoh isi dompetnya, berharap masih ada sisa uang di sana. Sayangnya, dia tidakmenemukan apapun hingga memindahkan pencarianya ke saku celananya. Bahkan driver gojek yang melihat pemandangan naas itu tidak tertarik memberikan kelonggaran harga.

Namun bukan Gita namanya jika gampang menyerah begitu saja. Dia langsung teringat dengan tas Hello Kitty yang ada di punggungnya. Tas itu sudah seringkali menyelamatkan Gita dari berbagai situasi sulit karena berbagai isi ajaib di dalamnya. Dan benar saja, sebuah kantong kecil di dalam tas tersebut tersimpan beberapa koin recehan. Sigap, Gita langsung mengambil satu koin lima ratusan dan langsung memberikan ke Driver Gojek dengan ekspresi sumringah. Sedangkan driver Gojeknya hanya tersenyum kecut dan langsung menarik gas motornya. Meninggalkan Gita.

Dengan memantapkan langkah kakinya, ia masuk perlahan ke dalam area bangunan itu. Udara segar adalah kesan pertama yang langsung dirasakan, hal yang tidak terlalu heran mengingat beberapa pohon rindang mengelilingi tempat ini. Namun baru beberapa langkah saja, mendadak ada seorang pria bertubuh kurus dengan seragam satpam lengkap datang mencegahnya.

“Ada keperluan apa ya Neng?”

Gita melirik sebentar ke arah nametag seragamnya yang tertulis “Supratman” , “Saya nyari Bu Dewi, pak.”

“Gita ya?”

Mendadak dari belakang, ada sosok wanita yang menoel punggungnya. Gita langsung refleks menoleh, dan mendapati Bu Dewi sudah berdiri di belakangnya.

“Datangnya pagi amat? Padahal saya bilang di telepon jam 10 aja. Ini baru …” Bu Dewi terdiam sebentar untuk melirik ke arah jam tangannya, “Baru jam setengah 10.”

“Ya bu, saya takut telat.” Gita memilih berbohong. Padahal dia memilih datang lebih cepat, karena dia sudah tidak punya tujuan lagi.

Bu Dewi tersenyum kecil dan langsung mengajak Gita masuk ke dalam ruangannya. Begitu masuk, mata Gita langsung menatap ke sekeliling. Terpukau dengan berbagai tatanan aksesoris dinding yang tertata rapi. Mulai dari piagam penghargaan sebagai perawat terbaik, foto keluarga dan berbagai lukisan kartun yang Gita tebak itu adalah gambar dari anaknya.

“Jadi saya sudah baca berkas lamaran yang kamu kirim. Kamu yang paling cocok sama pekerjaan ini daripada kandidat yang lain.” Ucap Bu Dewi sambil membuka berkas lamaran yang ada di meja kerjanya.

“Makasih Bu.”

Hingga tangan Bu Dewi berhenti pada sebuah lembar kertas, “Tapi kamu masih kuliah, ini beneran gak papa? Dari kami sendiri sih tidak masalah, asal kamu bisa bagi waktunya. Apalagi ini full time.”

“Seperti yang saya jelaskan kemarin di telepon bu. Saat ini, saya sedang cuti kuliah. Jadi bisa dijamin, pekerjaan ini tidak akan menganggu proses kuliah.”

Bu Dewi langsung mengangguk-angguk pelan mendengar penjelasan dari Gita sambil terus membolak-balikan berkas lamaran. Tidak butuh waktu lama, ia langsung menutup berkas lamaran tersebut dan langsung berkata, “Ya sudah, besok kamu mulai kerja ya. Seragam susternya akan dikasih besok pagi pas hari pertama dan juga perlengkapan lainnya.”

Gita sedikit tersenyum lega. Sampai suara pintu dari ruangan yang terbuka perlahan, menarik perhatian mereka. Datanglah seorang perempuan berbaju suster lengkap dengan perawakan kurus dan rambut hitam lurus memanjang. Dengan tampilan tersebut, Gita langsung menaksir usianya jauh lebih tua darinya.

“Perkenalkan Git, ini namanya Suster Alin. Dia yang bakal bantu kamu selama masa adaptasi kerja di sini.”

Suster Alin langsung menawarkan sebelah tangannya yang kemudian langsung disambut oleh Gita, “Suster Alin.”

“Gita.”

Pada detik itu, Gita menyadari bahwa jabat tangan itu adalah sebuah gembok yang mengunci pintu jalan kaburnya. Tidak ada lagi ada pintu keluar yang akan menyelamatkannya. Apapun yang akan menyambutnya di balik pintu, mau tidak mau ia harus siap menghadapinya.

 

                                                           ******

 

Sebelum pulang, Gita setuju dengan usulan Suster Alin untuk mengajaknya berkeliling panti jompo terlebih dulu. Supaya dia bisa lebih cepat beradaptasi di hari pertama kerja esok hari. Tidak butuh waktu lama bagi Gita untuk mengenal Suster Alin. Bahwa ternyata Suster Alin sudah bekerja lebih dari 3 tahun di panti jompo ini, kesukaannya pada orang tua membuatnya betah di pekerjaan ini hingga makanan favorit semua penghuni panti begitu dia hapal. Kurang dari setengah jam, tapi Gita serasa sudah berkenalan dengan Suster Alin setengah masa hidupnya. Apalagi dengan perangai Suster Alin yang ramah dan bahkan kadang terlalu lewat ramahnya.

“Jadi setiap suster itu bertugas mengurus satu bangsal. Nah bangsal itu terdiri dari masing-masing 5 kamar. Nanti kamu tugasnya ngurus bangsal Cemara.” Ucap Suster Alin sambil menunjukan sebuah bangsal di sebelah kanannya.

Namun ada yang janggal, karena dari tadi Gita merasa suasana di sini terlalu sepi. Tidak ada lansia yang terlihat mondar-mandir. Suster Alin seperti mampu menangkap rasa tanya di wajah itu, “Setiap hari minggu, semua penghuni ikut senam santai di lapangan sebelah.”

“Semua penghuni?”

“Iya, kecuali …”

Lihat selengkapnya