Di sebuah rumah makan di area Malang, Jawa Timur. Rombongan Gita dan teman – temannya tampak sedang asyik makan malam disitu. Setelah menghabiskan beberapa jam lewat jalur utara, kini mereka sudah tiba di kota Malang.
“Hari Ariana itu kapan sih ?” tanya Banyu sambil mengunyah ayam bakar.
“Empat hari dari sekarang, mas Banyu.” jawab Mina. “Mudah – mudahan kita besok pagi udah nyampe, jadi masih H-3 kalo besok nyampe.”
Banyu manggut – manggut, “Besok nyampai ko. Malam ini kita istirahat disini. Aku tadi lihat ada hotel yang bagus dekat rumah makan ini.”
“Tiga kamar aja..” potong Gita. “Aku ama Mey aja tidurnya.”
“Lha aku pikir dua kamar..” tukas Banyu. “Kamu ama Mina aja, Git. Mey kan bisa sama aku.”
“Ogah !” seloroh Mey dengan cepat. “Atau dua kamar ga papa deh. Aku ma Gita. Kamu ama Mina, gimana ?”
Banyu mengerutkan kening sementara Mina menggoda Banyu dengan mengangkat alisnya.
“Ayo mas Banyu, nanti saya pijitin deh, pasti cape kan nyetir dari Jakarta..” goda Mina.
Gita dan Mey berusaha menahan supaya mereka tidak tertawa, apalagi melihat wajah masam Banyu.
“Aduh jangan,” tukas Banyu. “Kalau ampe kamu mijitin saya, ntar saya berubah jadi kucing garong gimana ?”
“Mau dong di garong..” timpal Mina. “Saya kan udah lama juga ga ada yang nge garongin.. miaauuwww..”
Gita dan Mey pun tertawa terpingkal – pingkal sementara Banyu cengengesan sambil tetap menikmati ayam bakarnya. Mina lalu berdiri dan meninggalkan meja untuk cuci tangan.
“Kenapa ga mau sih ama Mina ?” ledek Mey. “Mina kan cantik, Banyu. Yah janda juga kan baru punya anak satu.”
“Ngga ah, aku cari yang masih gadis aja, yang masih disegel.” jawab Banyu sekenanya. “Kayak kamu kan masih di segel, Mey.”
“Lama – lama mulutmu yang aku segel..” tukas Mey.
Mereka masih bersenda gurau hingga beberapa saat kemudian keempat rombongan itu sudah berada di sebuah hotel kecil dengan design pavilion dua lantai . Banyu berada di kamar bawah, sementara Mey sekamar dengan Gita di lantai atas, Mina disebelah kamar mereka.
“Udara di sini sejuk ya..” kata Mey. “Kita jalan – jalan dulu yuk Git.”
“Ngga ah, aku ngantuk.” Jawab Gita sambil merebahkan diri di tempat tidur.
“Aku keluar bentar ya..” kata Mey lagi. “Kamu mau nitip apa ?”
“Ngga usah,..” jawab Gita dengan suara parau karena memang sudah mengantuk. “Jangan pulang malam – malam Mey.”
“Siap Bu Komandan..”
Mey pun keluar dari kamar, sementara itu Gita melepas jaketnya dan menaruh senjatanya di laci, dia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dengan sabun muka yang dibawa di tas kecilnya.
Tok ! Tok !
Suara pintu kamarnya diketuk, Gita yang wajahnya masih penuh busa hanya melirik ke arah pintu kamar yang terlihat di kaca kamar mandi. Gita tahu itu bukan Mey, karena kalau Mey yang datang, pasti akan langsung membuka pintunya. Di hotel kecil itu memang pintunya menggunakan gagang pintu biasa, tidak menggunakan gagang pintu otomatis yang harus dibuka dengan key card.
Tok ! Tok !
Ketukan itu terdengar lagi, Gita segera membilas wajahnya dengan air lalu menyekanya dengan handuk. Setelah itu dia menuju pintu dan membukanya, namun tidak ada siapapun di dekat pintu. Gita maju selangkah untuk melihat keluar, tapi tidak ada siapapun di sekitar kamarnya.
“Ada yang ngga beres..” gumamnya.
Gita menutup pintu, dia merebahkan diri kembali di tempat tidur. Pikirannya menerawang jauh memikirkan apa yang dikatakan Rama tadi pagi sebelum mereka berangkat. Dalam sepanjang perjalanannya memburu para kriminal, baru sekali dia menghadapi penjahat yang punya latar belakang mistis yaitu Jager ( Rama’s Story : Krisna – Pandawa Pertama ), itupun dia dibantu Krisna. Tapi Jager tidak membuatnya merinding seperti sekarang. Dia bahkan belum mengetahui siapa pelaku kejahatan di lawangijo yang menculik Ariana dan semua gadis cilik berusia 10 tahun.
Karena merasa resah, dia mengambil HP nya dan menghubungi Rama. Setelah beberapa saat terdengar suara Rama di ujung telepon, suara yang selalu dirindukannya, suara yang selalu membuatnya tenang.