H – 2 sebelum Ariana Day..
Mobil yang dikemudikan Banyu menyusuri jalanan utama lawangijo yang memang sepi. Ririn berada di belakang, duduk di samping Mey, sementara Gita duduk di depan.
“Apa kamu yakin bahwa yang kamu ajak main saat itu memang manusia ?” tanya Mey. “Bukankah klaim dari warga bahwa rumah panti itu sudah berpuluh tahun tidak dihuni.”
“Yakin mbak,” jawab Ririn. “Saat kami main kejar – kejaran, salah satu dari mereka terjatuh dan berdarah. Saya ikut mengobati lukanya saat itu.”
“Tapi kenapa selama itu tidak ada yang menegurmu dan teman – temanmu saat kamu bermain di rumah panti itu ?”
“Orang tua kami ngga pernah tau dimana kami bermain, terkadang kami bermain di lapangan yang berbatasan dengan alas kayulegi. Makanya kami semua dimarahi saat peristiwa Ariana hilang.”
“Apa kamu pernah masuk ke dalam rumah panti asuhan itu ?”
Ririn menggeleng, “Mereka melarang, karena katanya pengasuh panti itu sangat galak.”
Gita kini menoleh pada Ririn, “Apa kamu pernah bertemu atau melihat pengasuhnya ?”
Ririn kembali menggeleng. Tidak lama kemudian Ririn meminta Banyu untuk berbelok keluar dari jalan utama. Kini mereka menyusuri jalan yang berkerikil dan tidak rata. Kanan kiri jalan itu ditumbuhi ilalang yang cukup tinggi. Hingga kurang lebih 200 meter kemudian, jalanannya sedikit membaik namun tetap tidak rata, kini semuanya bisa melihat Alas Kayulegi yang terbentang kurang lebih seratus meter dari jarak mereka. Dan sebuah rumah terlihat berdiri sebelum alas, rumah itu bentuknya sederhana, memanjang ke samping, cat nya sudah pudar dan banyak ditumbuhi lumut.
“Aromanya memang menyeramkan,” kata Mey. “Aku udah merinding, padahal ini masih pagi.”
Mobil Banyu melewati pagar masuk yang sudah rusak dan tidak berbentuk. Kini mereka berada di halaman rumah panti. Tanahnya becek karena hujan semalam, sementara rumput liar tumbuh di sekitar halaman. Setelah berhenti, semuanya turun dari mobil.
“Git, kamu ngerasa ada yang aneh ga sih ?” tanya Banyu lirih.
Gita mengangguk, “Iya, rasanya ada yang mengawasi kita.”
“Coba tunjukkan dimana biasa lokasimu bermain saat masih kecil..” pinta Mey.
Ririn mengangguk, dia baru mau berjalan tapi Gita memegang lengannya untuk mencegahnya melangkah.
“Kenapa Mbak ?” tanya Ririn.
Gita tidak menjawab, dia berjalan beberapa meter lalu berlutut. Tangannya di letakkan di tanah.
“Ada apa Git ?” tanya Mey.
“Jejak ban..” jawab Gita. “Hujan semalam membuat tanah ini becek, lihatlah jejak ban ini.”
Mey, Banyu, dan Ririn kini ikut melihat apa yang ada dihadapan mereka. Benar sebuah jejak ban yang berbelok lalu mengarah pada jalan yang saat ini di atasnya ada mobil BMW X5 milik Rama yang mereka pakai.
“Ini asal jejaknya ?” tanya Banyu. “Karena seolah sebelum jejak ini tidak ada jejak mobil lagi.”
Gita mengangguk sambil memegang tanah beberapa senti dari jejak ban, “Tanah yang ini tidak basah.”
“Maksudmu ?” tanya Mey.
“Mobil itu parkir disini sejak sebelum hujan,” jawab Gita. “Gerimis semalam berubah menjadi deras sekitar jam 7 malam. Artinya mobil itu sudah berada disini sebelum jam 7 malam, hujan baru berhenti tadi pagi kan sekitar jam 6 pagi. Mungkin beberapa menit setelah hujan reda, mobil itu pergi. Itu sebabnya tanah ini tidak basah dan jejak ban disini cukup dalam sebelum akhirnya dia berjalan dan meninggalkan tempat ini.”
“Apa mungkin seseorang yang tersesat dan menumpang istirahat disini sebelum melanjutkan perjalanan ?” tanya Banyu.
“Ngaco !” tukas Mey. “Mana ada yang mau istirahat di tempat menyeramkan kayak gini..? Emang kamu pikir ini hotel ?”
“Lho bisa aja, siapa tahu kan ? Aku juga mau ko kalo istirahat disini, asal ada kamu yang nemenin aku, Mey.”
“Ngomong tuh ama jejak ban..” sungut Mey.
Ririn tertawa kecil melihat Banyu dan Mey, tapi tidak dengan Gita. Wajah Gita menunjukkan ekspresi yang sangat serius. Dia kemudian menatap Ririn.
“Apa kamu tahu siapa yang sering berkunjung ke rumah ini ?” tanyanya.
Ririn menggeleng, “Ngga mbak, saya malah baru tahu sekarang kalo ada yang mengunjungi rumah panti ini.”
“Banyu, kamu bawa handycam kan ?” tanya Gita.
Banyu mengangguk, dia mengeluarkan handycam dari tasnya lalu mulai merekam situasi mereka termasuk jejak ban itu. Gita memberi isyarat agar semua mengikutinya.
“Eyes open guys.. and stay close.” katanya.
Mereka berempat kini berada di teras rumah panti, perlahan Gita membuka pintunya, derit suara yang ditimbulkan saat terbuka membuat bergidik mereka berempat. Seketika hembusan angin menerpa ke empatnya. Cahaya matahari masuk melalui jendela di sekitar ruangan itu. Kini mereka berempat masuk ke dalam. Gita paling depan, Mey dan Ririn dibelakangnya, Banyu paling belakang sambil tetap mengarahkan handycam nya. Seluruh lantai berdebu tebal, sarang laba – laba juga banyak sekali di sekitar ruangan. Ruangan itu sepertinya adalah ruang untuk menerima tamu, karena ada kursi dan meja yang tertata seperti di ruang tamu rumah.
Gita berhenti berjalan, dia kembali berlutut sambil melihat sesuatu.
“Ada apa Git ?” tanya Mey.
“Tidak ada jejak kaki, lihat aja, itu jejak kaki kita ada dari pintu depan,” jawab Gita. “Tapi tidak ada jejak kaki lain. Apa pemilik jejak kendaraan itu tidak masuk kesini ?”
Gita dan yang lainnya kembali berjalan, setelah ruangan tamu itu mereka berada di lorong yang lebarnya sekitar satu setengah meter dengan panjang sekitar sepuluh meter ke dalam. Disebelah kanan lorong, ada jendela yang mengarah kembali ke halaman depan.
“Huaaaaaa !” teriak Banyu.