“Renno. Kamu dulu temenan sama Titha, kan? Kok sekarang udah enggak lagi?” Seketika aku membeku mendengar pertanyaan dari Tyara. Tidak ada yang salah dari pertanyaan itu, hanya saja … aku bingung mau jawab apa.
“Kenapa memangnya?”
“Nggak papa. Aku tanya aja.”
Sekarang, kami berada di bus yang mulai bergerak ke tempat tujuan. Sesuai dengan permintaan dari Bu Nila kemarin, aku harus duduk berseblahan dengan keponakannya sekaligus menjaganya. Aku berasa seperti pengasuh bayi untuk Tyara, tapi tak apalah.
“Kamu tahu darimana kalau aku temenan sama dia?”
“Ya, dari orangnya langsunglah!
“Dia cerita apa aja?”
“Mmm … banyak! Kamu penasaran?”
“Lo nggak mau cerita ke aku?”
“Nanti aja deh!”
Aku selalu khawatir berlebihan saat di dekat Tyara. Walau aku sudah pasang mata tajam pada siapa saja yang menatap tidak suka pada Tyara, aku tetap saja tidak bisa tenang. Pasalnya, Tyara terlihat biasa saja seakan tidak terjadi apapun. Aku yang sudah muak melihat ini, lantas bertanya dan jawabannya, “aku nggak masalah sama sekali dengan itu. Kenapa aku harus memikirkan sesuatu yang aku sendiri tidak melakukan apapun?”
Rasa masa bodoh yang diterapkan olehnya, cukup membuatku geram. “Lo yang diliatin, gue yang geram.”
“Ya ngapain kamu geram? Buang-buang waktu aja, Ren!”
Ish! Aku benci orang sabar.
Setelah kurang lebih tiga jam perjalan, akhirnya kami sampai pada tempat tujuan kami. Dari pantai panjang perbatasan kota menuju ke tempat perkemahan kami cukup jauh, terkadang, kami harus turun beberapa kali dari bus sebab, besi besar ini sering kali terjabak di dalam lumpur. Cukup melelahkan juga. Tapi dengan begini aku mulai kenal teman-teman sekelasku, walau takku tujukan sikap ramahku pada mereka. Selama perjalanan pula, aku dan Tyara tak banyak berbicara, hanya sesekali seperti meminta tolong untuk mengambil barang yang terjatuh, atau Tyara meminta maaf karena kepalanya jatuh pada pundakku.
“Renno.”
“Apa?”
Sekarang, aku sedang berbaring diatas rumput-rumput liar yang tidak terlalu panjang setelah selesai mendirikan tenda-tenda, sambil menghadap matahari, tentunya aku mengenakan kacamata hitamku untuk menghalau sinar sang surya.
“Makasih, ya?”
“Untuk?”
“Karenamu, aku diizinkan untuk pergi.”
“Menurutmu, ini karena gue?” tanyaku, lalu bangkit dari tidur dan melepakan kacamata. “Dengar, Ra. Bu Nila sebenarnya ngizinin lo pergi, kok. Cuma beliau khawatir karena ini kali pertama buat lo.”
“Tante aku cerita, ya?”
“Yaiyalah! Kalau nggak cerita, gimana aku mau setuju. Lagi pun ….”
“Apa?”
“Nggak papa.” Aku tak mungkin memberitahukan ini pada Tyara.
“Kamu nggak sembunyiin sesuatu dari aku, kan?” tanyanya menyelidik, sambil mencipitkan matanya.
“Enggak, tuh! Oya, kalau kamu mau kemana-mana izin dulu sama aku ya?”
“Kenapa begitu?”
“Ya ini karena perintah dari tantemu!”
Seandainya Tyara tahu apa yang akan menimpanya … mungkin ia akan merengek minta pulang sekarang. Sayangnya, aku tak mau merusak kebahagiaan yang baru saja ia rasakan. Apakah ini sama saja seperti aku membiarkan insiden itu terjadi? Tidak kurasa, posisiku saat ini ialah sebagai penutup cela agar Tyara aman.
“Tanteku over-protective ya, Ren?”
“Lo baru sadar atau baru tahu?”
“Dua-duanya. Rada nyesel aku pindah ke sini. Oya, Ren, katanya malam ini Mars sama Venus berdekatan ya? Duh, nggak sabar pengen liat.”
“Lo mau liat pake apa?”
“Pake teropong bintang milikmu, dong!”
“Enak aja!”
“Jangan pelit, Ren!”
Siang mulai berganti malam, senyum lebar sang mentari pun tergantikan dengan taburan bintang yang tergantung jelas di atas lagit berwarna biru gelap. Di sini, malam cerah yang sempurna, sesempurna bintang-bintang dan bulan di tengahnya. Aku sendiri tak henti-hentinya kagum pada benda langit satu ini, kerlap-kerlipnya sungguh memanjakan mata, dan kecantikan benda langit ini membuat jantungku berdebar takaruan. Kuraih teropong dan mencoba melihat kecantikan benda langit sedekat mungkin.
Hatiku terasa tenang saat melihatnya begitu dekat. Mereka sangat banyak, entah bagaimana cara mendeskripsikan keelokan ini hingga dapat tergambarkan jelas apa yang kulihat saat ini. Intinya mereka sangat memuakau, rasanya ingin kuambil beberapa dari mereka untukku bawa pulang.
“Ren!”
Kupisahkan teropong dengan mataku saat sapaan terdengar dari jauh. Siapa lagi kalau bukan Tyara.
“Kenapa lo ke sini?”
Dia pun mengambil tempat beberapa jengkal di sebelahku, lalu pasang duck face.”Nggak boleh ya, kalau aku ke sini? Padahal, aku bawain kamu kopi, loh!” ujarnya, sambil menyodorkan segelas mug kopi.
“Makasih. Tapi lo nggak perlu repot-repot segala. Gue bisa ambil sendiri kok!”
“Lagi pula, kopi ini aku yang bikinin kok, bukan panitia. Ini aku buatkan khusus untukmu sebagai tanda ucapan terima kasih.”
“Terima kasih kembali,” balasku, lalu menerima kopi darinya.
Hening tercipta. Aku menikamati malam ini dengan bintang dan segelas mug kopi cappuccino ala Tyara. Hingga kekhawatiran itu datang kembali setelah menyeruput kopi tersebut. Sesekali aku menoleh kepadanya, namun yang jadi target terlihat benar-benar santai.
Sejak siang tadi, aku terus menjalin komunikasi dengan Medi. Medi bilang, “semua aman, kok, Ren. Lo tenang aja.” Tapi rasanya … aku tidak yakin. Vindy itu licin seperti belut. Setelah mendegar penuturan hari itu dari Gilang, aku langsung mengkonfirmasi kebenaran berita pada si Dramaqueen, dan iya membenarkannya.
.
.
“Lo gila, ya?” tanyaku frustasi.
“Gue benar-benar cinta mati sama lo, Ren. Dan gue pastiin lo nggak bisa lepas dari gue!”
“Tapi … kenapa harus Tyara, sih, Vin?”
“Kalau gue pakai orang lain, apa lo mau peduli? Apa lo mau repot-repot telpon gue buat konfirmasi segala? Enggak, kan, Tuan muda Mahardika?” ujarnya sinis.
“Lo gila, Vin!”
“GUE GILA KARENA LO, BAJINGAN! GUE NGELAKUIN INI SEMUA BIAR LO SADAR DAN BERHENTI DEKAT DENGAN CEWEK ITU! TAPI APA, REN? LO NANTANG GUE!”
“jadi itu mau lo?”
“Enggak! Masa berlakunya udah kadaluarsa. Sekarang lo siap-siap aja, lo atau cewek itu. Stay safe, Ren”
.
.
Sejak hari itu, aku terus memohon pada Vindy, agar ia mau membatalakn semuanya, akan tetapi … Kurasa itu cukup mustahil terlebih aku masih belum bisa mengikuti jalan pikiran Vindy. Apa yang patut ia cemburui pada sosok gadis seperti Tyara? Aku tidak menduga kalau kedatangan Tyara pasca hubunganku berakhir dengan Vindy akan serumit ini. Alhasil, aku pun meminta batuan Medi. Berutungnya, ia paham dan mau membantu.
Ganjalnya, darimana Vindy tahu sedalam itu tentang Tyara? Aku yakin Vindy punya mata-mata, tapi siapa? Emak-emak gosip, kah?
“Renno!”
“Hm?”
“Astagfirullah! Aku pikir kamu kerasukan!”
“Lo takut?”
“Engg … iya, sih. Kamu tiba-tiba diam, terus ekspresi wajahmu berubah juga. Kamu kenapa si? Punya banyak pikiran, ya?”
Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan kasar. “Ingat pesan gue tadi, ya, Ra. Kalau kamu mau kemana-mana, harus bilang dulu sama aku. Okay?”
“Sekalipun aku kebelet harus ngasih tau kamu juga?” Aku menganguk. “kamu mau ngintip aku ya?”
Kutepuk pelan dahi dengan gusar. “Astaga,Ra! Ngapain juga gue ngintip lo! Ingat, ya, ini perintah dari tante lo sendiri.” Dan juga, gue mau ngelindungi lo dari kejahatan Vindy yang terkutuk.
“Oiya.”
“Terus, lo mau tanya apa lagi? Tadi waktu di bus, lo nyuruh gue buat jawab jujur, kan?”
“Oiya, lagi. Lupa aku. Untung kamu ingetin aku.”
“Okay. Gue akan jawab jujur, tapi dengan satu syarat. Lo harus jawab pertanyaan gue dengan jujur juga.”
“Okeh. Deal! kamu mau tanya apa?”
“Jawab pertanyaan gue dengan jujur, Tyara. Waktu binder gue ada pada lo dan lo buka, lo pasti baca bagian tertentu, kan? Ayo, jawab dengan jujur!”
“Seriously? Ren, aku ….”
“Eits … no … no … no … pilihan lo cuma dua. Ya atau tidak.”
Cukup lama Tyara menjawab. Ia beberapa kali menutup mata dan menghembusakan napas kasar. “Iya. Aku baca,” jawabnya pada akhirnya, aku tidak terkejut dan tidak senang juga. Menurutku sangat tidak masuk akal sekali jika ia membuka binder itu dan hanya membaca bagian pentingnya saja.
“Oke. Makasih udah mau jujur. Jadi, kamu mau tanya apa?”
“kamu nggak marah?”
“Untuk apa marah?”