Gitar Renno

Dadar Fitrianj
Chapter #13

12 Tyara — Bangku kosong

“Perkenalkan. Nama saya Tyara Nuthasya. Teman-teman bisa panggil saya, Tyara. Saya pindahan dari Kalimantan,” jelasku memperkenalkan diri di depan kelas, sambil tersenyum.

“Silahkan duduk, Tyara."

Dan di sinilah awal kehidupanku yang baru sebagai siswi di SMA Flora. Harapan-harapan baik kupanjatkan kala kakiku memasuki gerbang sekolah ini untuk pertama kalinya. berharap, semoga teman-temanku ramah padaku, itu sudah cukup.

Namun saat hendak duduk, aku malah kebingungan di mana aku harus duduk. Ingin bertanya, tiba-tiba ada sahutan yang mewakiliku dari belakang kelas.

“Dia duduk dimana, Bu?” tanya seorang pemuda, dia duduk di paling pojok belakang dekat dinding.

“Iya, Bu! Dia duduk di mana?” timpal teman di sebelahnya.

“Oiya. Saya lupa. Kamu duduk di ….”

”Ya di kursi kosong di sebelah kalian, lah!” sanggah Bu Nila, Mereka berdua saling menatap.

Kudengar bisik-bisik dari penjuru kelas. Memangnya apa yang salah dengan kursi kosong yang ada di belakang sana? Angker, kah atau apa?

”Tapi, kan, Bu. Itu tempat duduknya Bos Renno,” bantah pemuda yang duduk di dekat dinding lagi.

”Bos, bas, bos, bas! Di gaji berapa kalian sama dia sampai bisa membantah saya? Hah? Kan, kursi di sebelahnya Renno masih kosong. Memangnya badannya sebesar sumo apa, sampai bisa makan dua tempat? Kan, Renno kerempeng, badannya cuma muat di satu tempat saja, itu pun, masih ada kelebihan. Lagi pula, Renno tidak masuk, kan, hari ini? Sudah, jangan membantah!” papar Bu Nila, sambil berkacak pinggang. “Silakan, Tyara. Kamu boleh duduk di kursi kosong di sebelah Renno.”

“Tapi, Bu ….”

“Apalagi Ringgo?” tanya Bu Nila dengan penekanan, masih dengan posisi yang sama.

“Gini, Bu. Nggak bisa gitu dong, Bu. Ibu, kan, tahu sendiri kalau kursi di sebelah Renno harus kosng. Ini, kan, perintah langsung dari Kepsek, Bu. Apa Ibu lupa?” protes pemuda yang bernama Ringgo.

Bu Nila pun menepuk dahinya sambil menghela napas berat. “Duh. Kalian berdua ini! Pagi-pagi sudah bikin saya pening! Huh!” keluh Bu Nila sambil memijit dahinya. “Iya, saya tahu. Kepala sekolah pun sudah mengetahui ini, beliau juga telah menginzikan. Lalu apa salahnya, Ringgo? Kamu harus mengerti situasinya. Ini tuh, urgent banget. Paham?” jelasnya.

“Duh. Gimana, nih, No?” tanya Ringgo panik kepada temannya.

“Hei! Saya tanya ke kamu Ringgo. Kamu paham atau enggak? Ini saya tanya loh, malah ngomong sama Nino. Nggak ada sopan-santunnya kalian ini.”

Teman yang disebelah Ringgo, yang kudengar namanya Nino itu lantas menyengol Ringgo dengan sikunya. “Maaf, Bu. I-iya, kok, Bu, saya paham,” balas Ringgo gelagapan.

“Ck, hah. Pagi-pagi sudah bikin saya pusing,” desah Bu Nila lelah. “Sudahlah. Tyara, silahkan kamu duduk di tempatmu.”

Aku memanganguk dan segera menuju ke tempat yang di tunjuk oleh Bu Nila. Dibenakku mulai membayangkan dan bertanya-tanya, siapa Renno?

Kenapa dia seakan ditakuti?

Apakah dia orang jahat?

“Woy, lo yang namanya Tyara,” panggil orang disebelahku ketika sudah duduk di kursiku. Saat aku menoleh, ternyata itu Ringgo.

“Iya. Aku Tyara. Ada yang bisa aku bantu?”

“Ih! Nggak usah berlagak macam penjaga toko deh, lo! Gue cuma mau bilang, lo nggak boleh duduk di situ,” pungkasnya

“Kanapa? Tadi kan ….’

“Iya, gue tau lo udah dapat izin dari Bu Nila tapi … gue minta sama lo jangan duduk di kursi ini. Lo duduknya di kursi yang di sebalahnya.”

“Kenapa begitu?”

“Lah, banyak tanya lagi! Ya, karena tempat yang lo duduki itu kursinya Bos gue namanya, Re-nno. Ntar kalau dia ngamuk gimana? Dia tuh, kalau ngamuk nggak pandang bulu,” ungkapnya.

“Oh. Oke-oke. Bentar, aku pindah dulu.”

Pikirku, menyeramkan juga jika seorang cowok marah-marah tak pandang bulu. Apa teman yang bernama Renno sejahat itu?

Apa jangan-jangan dia preman di sekolah ini?

“Hai. Gue Titha. Nanti pas jam istirahat, kita jalan bareng yuk, keliling sekolah,” sapa seorang gadis cantik dengan senyum ramah di depanku. Aku memangaguk sebagai balasannya.

Dan hari senin yang melelahkan ini berakhir dengan sempurna, meskipun aku tak kunjung melihat orang yang bernama Renno. Tapi tak masalah, aku justru jadi berteman dekat dengan Ringgo dan Nino. Mereka orangnya lucu dan suka membuatku tertawa. Selera humor kita sama, jadi, nyambung jika diajak bercanda. Awalnya aku pikir mereka orang yang buruk dan patut dijauhi, ternyata tidak. Mereka orang yang sangat menyenangkan.

Aku dan Titha berpisah saat ojol pesanan Titha datang terlebih dahulu. Arah rumah kami juga berbeda. Tadi sewaktu jam istirahat, aku diajaknya keliling sekolah sambil bercerita banyak hal hingga aku tahu seluk-beluk sekolah ini. Ingin sekali aku bertanya tentang Renno padanya, anehnya, aku tak menanyakan ini pada Ringgo dan Nino. Mungkin karena keasyikan bercanda. Aku ingin bertanya padanya, sebab, tadi sewaktu aku masuk, Titha juga ikut berbisik ketika nama Renno disebut pada teman di sebelahnya yang bernama Clara. Sayangnya, itu tak terealisasikan karena aku takut. Mungkin alangkah baiknya aku tanyakan ini pada Ringgo dan Nino besok.

Ojolku datang juga, setelah berkali-kali mencoba mencari driver dan tentunya, setelah menunggu cukup lama. Oya, setelah bercerita dengan hangat dengan Titha, akupun mengajaknya agar nantinya menginap di rumahku pekan depan, dan dia dengan senang hati menerima ajakanku. Aku jadi tak sabar menunggu waktu itu datang.

 

Lihat selengkapnya