Gitar Renno

Dadar Fitrianj
Chapter #15

14. Tyara — Bagaimana bisa?

Pagi ini, aku buru-buru berangkat ke sekolah. Ini semua karena Tanteku, entah mengapa ia jadi sangat terburu-buru. Padahal, aku sudah bilang padanya bahwa aku bisa berangkat sendiri naik ojol, tapi ia malah marah dan melototkan matanya padaku. Karena aku takut darahnya tambah naik di pagi hari, akhirnya aku mengalah saja.

Sekolah masih sangat sunyi, mungkin aku siswa pertama yang masuk ke Sekolah. Dengan malas, kujalan pelan menuju kelas, ditemani dengan kicauan burung yang tengah menari di atas lantai koridor seakan mengajak pergi teman di sebelahnya, tak lama kemudian mereka pergi. Sesekali kulirik kelas yang kosong, semoga tak ada penampakan yang muncul pagi-pagi begini.

Hingga terdengar suara berat yang tengah berbicara lalu tertawa. Suara itu dari arah tangga. Aku pun berbalik, memastikan siapa yang datang sepagi ini setelah aku. Kumulai berjalan mengendap-endap melirik tangga, hingga pemilik suara datang. Dua-duanya cowok.

“Nino? Ringgo?”

Mereka berdua menoleh. “Wii … selamat pagi Tyara,” sapa Ringgo ramah.

“Assalamualaikum, Ukhti,” ucap Nino member salam.

“Selamat Pagi, Go. Waalaikumsalam, No. Panggil aku Tyara aja, ya? Soalnya namaku bukan Ukhti,” balasku.

“Oh, begitu? Jadi namamu Tyara? Kukira Ukhti. Kalau aku panggil Ukhti Tyara boleh, nggak?” tanya Nino

“Oh. Boleh aja. Asalkan ada namaku,” jelasku

“Oh …” Nino menganguk. “Oke, baik. Kalau aku panggilnya … Tyara sayang boleh nggak?” tanyanya, sampai-sampai Ringgo memukulnya. Ia pun mengeluh kesakitan.

“Oh, kalau kayak gitu nggak boleh dong! Ini kamu ceritanya gombalin aku pagi-pagi, ya? Mau aku ruqiah kamu pagi ini juga?”

“Ih, jangan gitu dong, Ra. Lagian, dalam tubuhku ini gada setan and the geng!” ungkapnya.

“Dahlah. Apaan, sih, pagi-pagi udah bahas beginian. Kuy, jalan ke kelas!” ajak Ringgo.

Aku jalan di depan dan mereka mengekor di belakang. Baru beberapa langkah saja, Nino melemparkan pertanyaan.

“Oya, Ra. Kemarin pas lo pulang, lo kena marah nggak?”

Aku berhenti dan menoleh, sambil menunggu mereka mendekat, aku menjawab, “Um, nggak juga, sih.”

“Seruisan nggak kena marah?” tanya Ringgo tak percaya.

“Iya.”

Aku kembali berjalan dan memori semalam terputar kembali. Saat aku sudah selesai membersihkan dari lalu makan malam, lalu baring diatas tepat tidur, aku pun bertanya-tanya, siapa yang ditelepon oleh tanteku itu?

Siapa juga Pak Ahmad?

Kenapa malam itu Tanteku bilang kalau dia mungkin sedang dalam perjalanan?

Ini membingungkan. Kemarin pula, saat aku diculik, mereka bahas tentang target. Siapa lagi target itu? Dan pangeran! Aku ingat kemarin ada seorang cewek mengatakan bahwa, Pangerannya sudah datang tapi belum sadar.

Mereka orang yang sama, kah?   

“Woy, Ra!” teriak Ringgo. Aku berbalik. Badannya ada di dalam kelas, sedangkan kepalanya keluar “Salah kelas. Kelas kita di sini.”

Kulihat papan nama kelas yang tergantung di sebelah kiriku yang ternyata kelas 12 IMIA 3. Dan tempat yang Ringgo masuki adalah kelas yang aku tempati, 12 IMIA 2. Kutepuk jidatku.

“Lo kenapa si, Ra?” tanya Nino, saat aku sudah duduk di kursiku.

“Enggak papa. Eh, aku boleh tanya sama kalian berdua nggak?”

Sontak keduanya menjawab kompak, “tanya apa?”

“Target itu … siapa, sih?”

“Ha? Coba lebih jelas,” ujar Ringgo                           

“Um, begini. Kemarin saat aku di sandera, mereka bilang kalau aku akan di bebaskan kalau target udah datang.”

“Oh ….” Ringgo menganguk.

“Memangnya, target siapa, si?” tanyaku penasaran.

Lihat selengkapnya