Gitar Renno

Dadar Fitrianj
Chapter #17

16. Tyara — Melelahkan

Kakiku sudah tidak terlalu sakit lagi setelah melakukan terapi intensif selama empat hari di rumah, meski masih agak sakit saat berjalan. Tapi tak masalah.

Sejak semalam, aku terus membujuk Tanteku agar diizinkan untuk pergi ke sekolah keesokan harinya, sayangnya aku terus mendapatkan penolakan darinya. Akhirnya, kukeluarkan jurus andalanku. Pagi ini, aku bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, tentunya aku sudah mengenakan seragam sekolah.

Pertama kali beliau melihatku, aku langsung di omeli habis-habisan. Aku jadi merasa bersalah, sepagi ini, aku sudah membuatnya naik darah. Tapi aku mau ke sekolah! Aku bosan sekali di rumah. Lagi pula, bindernya Renno ada padaku, tidak baik jika barangnya ada padaku terlalu lama.

Setelah banyak membujuk, akhirnya luluh jua. Sayangnya, kami tak berangkat bersama. Beliau pergi terlebih dahulu, karena ada yang harus diurus. Tak masalah, yang penting, aku bisa ke sekolah hari ini.

*

Pagar sekolah hampir tutup saat aku tiba di sana. Sampai di lapangan pun, sudah banyak orang yang berbaris. Karena barisan sudah penuh, akhirnya aku berdiri saja di belakang. Sedikit menyesal, seharusnya aku mendengarkan perkataan Tante, tapi mau bagaimana lagi. Aku lupa kalau hari ini hari Senin dan ada upacara bendera.

Sial sekali. Aku harus berdiri cukup lama, sampai-sampai kakiku pegal karenanya.

Aku tidak boleh begini, aku harus tetap berdiri menghormati bendera yang sedang menuju puncak tertinggi.

Setelah sekian waktu, akhirnya ucapara ini berakhir. Kududuk di bawah pohon yang tak jauh dari tempatku berdiri, sekadar mengistirahatkan diri. Tidak lama, aku kembali bangkit lalu jalan perlahan. Sudah kucoba untuk berhati-hati, namun tetap saja ditabrak.

"Woy, cewek! Kalau berdiri ...."

Aku menengadah. Ternyata dia Renno!

"TYARA?!"

Kenapa Renno harus terkejut seperti itu?

"Eh, hai, Renno. Apa kabar?" sapaku sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Akan tetapi, reaksinya diluar dugaan, ia malah mencengkram erat bahuku dan melototiku. Aku berusaha untuk lepas dari cengkramanya, tapi tidak bisa. Cengkramananya semakin kuat hingga aku tak mampu bergerak.

"Kenapa lo baru masuk sekarang, sih?!" tanyanya kesal.

Aku dapat melihat orang-orang yang sedang berjalan di depanku berhenti, karena melihat kelakuan Renno padaku. "Eh, Ren. Lepasin! Sadar dong, kita—”

“Enggak! Gue enggak akan lepasin sampai lo ngasih tahu gue kebenaran tentang—” Aku yakin Renno pasti sadar dengan apa yang ia lakukan saat ini, makanya, dia berhenti berbicara dan menatap sekitar. “Lo. Ikut gue ke kelas!” ucapnya setelah mengamati sekitar.

Kan, aku memang mau ke kelas. tanpa aku mengikutinya pun, aku akan tetap bertemu dengannya karena jarak tempat duduk kami di kelas hanya 30cm.

Setelah kata-katanya selesai, ia lantas menarikku seakan-akan aku ini barang yang tak berguna. Aku tak mampu menyeimbangkan kecepatannya yang hampir seperti berlari. Kakiku kembali terasa sakit.

Baru beberapa langkah saja, tiba-tiba pengeras suara berbunyi. Itu suara Bu Nila.

Kudengar suara Bu Nila yang sangat marah, kumenoleh ke Renno, wajahnya sangat merah. Aku takut sekali. Sebenarnya, Renno kenapa? Apa dia marah? atau ... apa dia tahu kalau bindernya ada padaku? Tapi, kan, aku akan mengembalikan binder itu.

Aku menunduk dan tundukanku semakin dalam, seiring teriakan Bu Nila yang diabaikan oleh Renno. Aku malu sekali dilihat oleh bayak orang dalam situasi seperti ini. Aku tak mengerti Renno. Kenapa tak ia turuti saja perintah Bu Nila? Kenapa anak yang bernama Renno Mahardika ini, sangat keras seperti batu hingga perkataan guru diabaikan? Namun, sebuah ancaman pun keluar dari mulut Bu Nila membuat Renno akhirnya mau melepaskanku sebagai mangsanya. Tapi perasaanku justru tak enak saat Renno melepaskan dan membiarkan aku pergi.

Sesampainya di kelas, Renno kembali meneriakiku. Rasanya, jantungku mau lepas mendengar ia meneriaki namaku.

Takut-takut aku menatapnya lalu bertanya, "Ren. Aku tuh, salah apa, sih?”

Ia mendekat dan meraih tanganku, lalu berbisik, “dengar gue baik-baik, Tyara. Lo bawa pulang binder gue?”

“Binder?” Ah, sudah kuduga! temanku ini pasti mencarinya. “Oh, iya. Binder yang kovernya pesawat antariksa itu, kan?”

“Ada sama lo?”

Aku menganguk. kubuka tasku dan mengambilnya. “Nih, punya kamu. Aku jadi paham beberapa materi setelah baca penjelasan di dalamnya. Makasih ya, Ren.” Bohong. Aku hanya suka membaca tulisannya, dibandingkan rumus-rumus yang tak tertulis rapi seperti ayam cakar tanah.

“Apa lo bilang tadi?” tanya Renno, membuatku termundur beberapa langkah.

Apa aku salah bicara? “Um, aku paham beberapa materi setelah bac—"

“Jadi, lo buka binder gue?!”

Apa salahnya kalau aku buka?

“Eh, iya, Ren. Maaf. Soalnya—“

“Apa? Maaf? Setelah lo menjajah bebas binder gue, lo dengan mudahnya bilang maaf?!”

Uh, bagaimana ini? Wajah Renno merah sampai-sampai uratnya muncul, matanya pun jadi sangat besar.

Apakah Renno akan berubah menjadi Hulk?

“Aku terpaksa buka, Ren. Buku itu nggak sengaja ada—”

“Nggak sengaja lo bilang? Setelah lo pelajari dan baca semua isinya, lo masih bisa bilang nggak sengaja?!”

Dadaku mulai sesak sekali dan mataku pun terasa sangat panas. Aku benar-benar ketakutan melihat Renno seperti ini. Kutarik napas dalam, agar air mataku tak keluar. “Aku terpaksa buka, Ren. Biar aku tahu siapa pemiliknya.”

“Alasan lo benar-benar nggak masuk akal! Nama gue jelas-jelas tertulis di halaman pertama. Paling depan! Lo nggak bisa apa, setelah baca nama gue lo tutup, nggak usah keterusan baca SAMPAI DALAM-DALAMNYA!”

Air mataku terjun dengan bebas bertepatan dengan kata terakhir yang keluar dari mulut Renno. Aku tidak suka ada yang kasar padaku. Orang tuaku saja tidak pernah membentakku seperti yang dilakukan Renno.

Lagi pula, kenapa Renno harus semarah itu?

“Ren. Kok lo kasar banget, sih, sama cewek?” Aku tidak tahu siapa yang menyela

“Diam lo!” bentak Renno pada orang ynag menyela tadi. “Lo keterlaluan banget! Baru juga jadi murid baru satu minggu, udah lancang banget baca privasi orang!”

“Renno! Apa-apaan ini?” Suara itu membuatku sedikit tersentak. Itu suara Bu Nila. Kucoba untuk hentikan tangisku.

“Silahkan Ibu tanya sendiri ke murid baru."

Kutarik kursiku lalu duduk. setelah itu kuambil tisu di dalam tasku untuk membersihakan sisa-sisa air mata.

“Renno. Kamu lupa apa yang tadi ibu bilang di lapangan?” tanya Bu Nila.

Tangan Renno pun meraih sisi mejanya yang berbatasan langsung dengan mejaku, ia menyeretnya dengan kasar hingga menciptakan bunyi yang besar antara mejanya dan meja Ringgo dan Nino. "Udah semeter, Bu."

Lihat selengkapnya