Ada sesuatu yang sedang menari di dada dan di perutku. Rasanya sangat aneh, sungguh. Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Senyumku juga terus mengambang sampai pipiku sakit. Sadar, itu semua terjadi karena hari ini adalah hari yang aku nanti-nantikan. Kubersihkan rumah sebelum Titha datang menjemputku, katanya ia mau menjemputku dan nanti Bapaknya yang mengantarkan kami ke sekolah. Bagaimana dengan Tanteku, Bu Nila? beliau tidak pergi. Aku jadi tahu alasan sebenarnya mengapa ia bisa nekat menyuruh Renno untuk menjagaku. Ia melakukannya karena Mamanya – Nenekku—sakit. Sudah dari lama sebenarnya, dan ia baru bisa menyempatkan waktu untuk menjenguk saat ini.
Ya sudahlah, aku maklumi.
Bu Nila tak punya siapa-siapa di rumah ini selain aku. Suaminya di luar negeri sedang melanjutkan pendidikan S3 di Amerika, dan mereka belum dikaruniai anak. Jadi, sejak kepulangannya ke Kalimantan, aku sendirian di sini.
Seteleh bersih-bersih, aku duduk di depan rumah dengan beberapa barangku berupa tas ransel, dan satu tas jinjingan. Sekitar 30 menit kemudian, Titha datang, lalu kami mulai bertolak ke sekolah sebagai titik kumpul.
Sesampainya di sana, kami langsung bergabung dengan teman-teman dari kelasku. Agak canggung sebenarnya karena selama ini aku hanya berbicara dengan Titha, Miko, Ringgo, Nino, dan Geri. Yang lainnya … aku hanya sebatas tersenyum kecil lalu menjaga jarak seperti saat ini. Ditengah komunikasi yang berlangsung mataku tak sengaja menangkap Renno yang sedang berdiri di bawah pohon dan juga sedang melihat kearah kami. Aku menghampirinya meski ia tampak malas melihatku berlari kecil menujunya. Sambutan yang kuterima pun tak beda jauh dari wajahnya yang mendadak kusut.
Sudah tahu wajahnya tak bersahabat, tapi tetap saja aku menyodorkan beberapa pertanyaan untuknya, sampai-sampai ia menyamakanku dengan wartawan. Ada-ada saja! Lalu aku tutup pertanyaanku untuk sementara waktu, nanti saat sampai di bus akan kusodori pertanyaan lagi.
Untuk pertanyaan pertama yang kulemparkan, cukup membuat wajah Renno berubah. Mungkin salah, mungkin seharusnya aku tidak mempertanyakan soal hubungan pertemanannya dengan Titha. Lagi pula, aku rasa Titha masih menyimpan sesuatu.
Pertanyaan pertama tak kunjung memunculkan jawaban yang pasti, Renno malah balik bertanya lalu menyuruhku untuk menunggu. Nanti akan dia ceritakan. Lalu hening. Aku yang duduk di dekat jendela, memilih untuk melihat pemandangan di luar. Tiba-tiba Renno bertanya tentang mereka yang senang sekali melihatku dengan tatapan aneh. Kujawab, aku tidak masalah sama sekali dengan itu.
Renno mungkin tidak peka bahwa ini bermula karena kejadian waktu itu, saat Vindy memblokir jalanku dan dia datang melerai. Terus berlanjut dengan masalah ini terpampang di mading sekolah, dan sampai sekarang mereka membenciku hanya karena kesalapahaman. Aku sama sekali tidak peduli karena itu hanya buang-buang waktu saja.
Tiga jam terlewat, sekarang kami telah sampai di tempat tujuan kami. Aku pun berpisah dengan Renno dan bertemu kembali dengan Titha. Iya, tadi kami sempat terpisah karena tempat duduk yang berbeda.
Kami pun bergotong-royong membangun tenda. Ini akan jadi pengalaman yang begitu mengesankan untukku sebelum lulus dari bangku SMA. Aku banyak membantu tak mau ketinggalan dalam melakukan banyak hal, dan hal yang paling penting adalah menyicipi makanan milik teman. Sekalipun aku sering dijadikan bahan bicaraan orang-orang. Menurutku kalau orang lain bisa menggenakan topeng terbaiknya di depan kita, kenapa tak kita coba melakukan hal yang sama, demi kebaikan bersama?
Awalnya Titha menawariku sekeping kue kering, katanya itu bikinan dia sendiri. Dan rasanya lumayan enak. Hampir mirip seperti yang di jual di toko-toko parcel saat musim lebaran tiba. Lalu datang sekumpulan emak-emak gosip yang ikut mencoba kue kering buatan Titha.
Oya, sekadar info. Aku tahu istilah Emak-emak gosip dari Renno. Dia bilang, dia paling benci sama mereka karena kurang kerjaan menceritakan keburukan orang lain. Aku setuju untuk ini. Mereka menceritakan orang lain seperti tak punya sisi buruk. Aku yakin, pasti mereka juga suka menceritakan keburukan temannya sendiri. Jika menceritakan keburukan orang lain saja mudah untuk mereka,lantas kenapa tidak mudah untuk menceritakan keburukan temannya sendiri, iya, kan?
Seperti saat ini. Lagi-lagi mereka tertawa seakan kami akrab, aku beberapa kali saling melemparkan keheranan dengan Titha karena ini untuk kedua kalinya dalam hari ini, mereka tertawa seakan tidak terjadi apa-apa. Di kelas pun begitu, paginya menyapa semua orang dengan ramah, siangnya … ya begitu. Bisa, ya, orang-orang seperti itu?
Lalu, karena ketawa mereka sangat besar. Akhirnya, yang lain ikut bergabung dan membagikan makanan mereka untuk dicicip bersama. Astaga! Namun, di tengah keramaian ini aku tak melihat Renno. Setelah selesai mendirikan tenda tadi, aku tidak lagi melihatnya. Aku pun keluar setelah mencoba semua makanan yang mereka sediakan. Dan pemuda itu di sana, di atas rumput sedang mantap langit.
Jadi, persamaan antara Renno dan Emak-emak gosip adalah, sama-sama tak punya kerjaan.
Ku sapa dia saat sudah dekat. Anak ini, apa ia tak takut gosong?
“Apa?”
Aku duduk tak jauh dari tempatnya berbaring. “Makasih, ya?”
“Untuk?”
“Karenamu, aku diizinkan untuk pergi.”
“Menurut lo, ini karena gue?” tanya Renno, lalu bangkit dan melepaskan kacamatanya. Lalu menjelaskan alasannya yang kurang lebih sama seperti apa yang diatakan oleh Tnateku hari itu. Aku merasa bersalah. Apapub alaannya, aku tetap menjadi beban untuk Renno.
Percakapan kami berlanjut, dan ia membuat satu peraturan yang menurutku agak aneh. Kata Titha, ini kemah antar kelas. Otomatis pasti ada panitianya, kalau mau kemana-mana, kan, harus izin ke panitia. Rasaku, sangat aneh jika ia mengatakan kalau ini perintah dari Bu Nila, kan, pasti Bu Nila tahu tentang kepanitiaan kemah ini. Lagipun, kenapa harus repot-repot memberitahunya? Kan, ada Titha yang kebetulan tergabung dalam kepanitiaan.
“Tanteku over-protective ya, Ren?” tanyaku, membuatnya mendengkus. Aku pun mengalihkannya pada informasi yang sempat aku dapatkan tentang Mars dan Venus yang akan terlihat dekat pada malam ini. Lalu lanjut bercakap-cakap.
Sekarang, aku sedang di dapur bersama beberapa teman lainnya menyiapkan camilan untuk menemani keakraban malam ini. Mereka sudah ramai duduk melingkari api unggun, sambil bernyanyi dan bermain gitar.
Setelah selesai membagikan makanan, aku ikut bergabung dan duduk di sebelah Titha. Seharian ini, aku jarang berbicara dengannya, tentu saja karena dia sibuk dengan tugasnya sebagai bagian dari panitia.
“Capek banget, Ra,” keluhnya, lalu bersandar di bahuku.
“Semangat, Tha.”
“Aku gabung, ya?” Sebelum aku dan Titha menjawab, Miko sudah duduk di sebelah Titha.
Aku jadi ingat, tentang cerita Titha yang mengatakan kalau Miko dan Renno bertengkar hanya untuk menjadi yang terbaik. Kalau diingat-ingat juga, suara Miko memang hampir mirip dengan suara cowok yang ada di aula waktu itu. Tapi, tak mungkin dia, kan?
“Kenapa, Tha?” tanyanya pada Titha.
“Capek, Mik,” jawab Titha
“Mau gue pijitin?”