Gitar Renno

Dadar Fitrianj
Chapter #21

Kembali

Dalam ruangan yang seutuhnya berwarna putih itu, terdapat seorang pemuda yang tidur dalam posisi tengkurap. Hawa dingin yang sejak tadi memeluk mesra dirinya, kini sudah mencapai tulang sampai-sampai membangunkannya. Pemuda itu membuka matanya perlahan lalu mengerjap beberapa kali, bangkit lalu duduk, kemudian menyentuh dadanya yang seketika terasa sakit, jantungnya masih berdetak. Setelah semua dirasa normal, ia mulai memindai sekitarnya. Putih. Ia tidak menemukan warna ataupun beda lain di sekitarnya.

“Di mana, nih?” tanyanya, entah siapa yang akan menjawabnya.

Kini kepalanya beralih, mendongak ke atas, dan yang tertangkap oleh lensa bukanlah langit biru dengan kapas awan yang mengambang, atau langit-langit kamarnya yang berwarna krem, melainkan warna putih seluruhnya.

“Kok horor banget, ya?” kali ini ia menyapu lehernya sampai ke belakang. Mirinding dan risau. Sorot matanya mulai menampakkan kepanikan.

Pemuda berkulit cerah itu langsung bangkit, mencari sesuatu yang dapat mengatasi rasa penasarannya. Satu langkah, dua langkah, dan seterusnya. Awalnya berjalan, berjalan sambil berlari kecil, hingga berlari sekencang-kencangnya. Nihil. Ia tak menemukan apapun, bahkan sudut ruangan sekalipun.

Hati kecilnya mengatakan, bahwa ia hanya berjalan di tempat saja meski ia sudah beberapa kali berbelok. 

“Halo ... apa ada orang di sini?!” tanyanya frustasi, sampai-sampai menimbulkan gema. Seketika itu bulu romanya menegang, rasanya, napasnya sudah ada di ujung hidung.

Matanya semakin meliar, mencari cela untuk mengatasi rasa paniknya. Namun, dia tidak menemukan apapun yang dapat menjawab rasa khawatirnya. 

“Sebenarnya, gue ada di mana?!”

Gema itu muncul kembali seakan mempersilahkan satu-persatu biji keringat untuk terjun bebas membasahi tubuhnya yang terbalut kaos berwarna biru tua. Dirinya mulai kepanasan. Ia kembali berlari sejauh mungkin, berharap ada pintu yang ia temui sebagai jalan keluar. Lagi-lagi hati kecilnya menyuruhnya untuk berhenti, kali ini berteriak dengan lantang sampai-sampai raga itu mematung.

Tenanglah. Dia akan datang. Jika kau tidak sabar, kau akan mati di sini. Begitu kata hatinya. 

Ia menuruti kata hatinya meski ia tak tahu siapa yang akan datang. Lama-lama ia bosan. Dari kebosanan inilah, otaknya mengajaknya untuk berkeliling memikirkan banyak hal. Detak jantungnya berpacu dengan kecepatan normal bahkan, ketenangan kini menjalar keseluruh tubuh sampai-sampai matanya pun mulai tertutup perlahan.

Deg ... deg ... deg

Pemuda itu langsung bangun dari tidur begitu wajahnya terasa panas di cumbu sang surya dari balik jendela. Sudah siang rupanya. 

Ternyata cuma mimpi, pikirnya.

Sekarang ia berada di kamarnya. Untuk memastikan ini nyata atau tidak, ia pun bangkit dan menyentuh segala benda yang ada di sana, termaksud mobil-mobilan yang tersusun rapi di rak mainan, yang menyisahkan debu yang tertempel pada jarinya.

Sudah lama sekali tak ia bersihkan mainan kesayangannya ini.

“Tunggu.”

Ia menegang. 

Deg ... deg ... deg. 

Napasnya memburu.

Seingatnya, ia sudah menyumbangkan mobil-mobilannya ke panti asuhan, saat ia naik ke kelas 3 SD. 

Keningnya mengkerut. Kepalanya terasa sakit, dan dunianya berputar. Dirinya bersandar pada lemari, hingga pelahan tubuhnya merosot duduk diatas lantai.

Pemuda itu merasa seperti deja vu.

Ingatan apa yang sedang terlintas? Pemuda itu tak menemukan jawaban

Setelah semua normal, ia lekas membuka pintu kamarnya dan berlari menuju ruang keluarga, akan tetapi tak ada seorang pun di sana.

“Mama ... Ayah!” Ia lantas berteriak mencari penghuni rumah ini, sambil berputar ke segala arah dan terus berteriak. “Bang Renndi ... Mbak Renni! Mama ... Ayah! Kalian di mana?”

Saat sedang sibuk mencari, tiba-tiba ia mendengar suara mobil di susul langkah kaki, dan suara kegirangan.

“Nanti kita beli lagi, ya, Ma, Yah.”

Suara anak kecil itu terdengar familiar di telinganya, lantas ia pun berbalik.

“Iya, sayang. Nanti kita beli lagi. Yang penting, kamu rajin belajarnya. Mau jadi Polisi, kan?”

Mama?

“Iya! Aku mau jadi Polisi atau nggak Tentara seperti kata Ayah,” jawab anak kecil itu dengan semangat.

Pria yang berdiri di samping anak itu, lantas jongkok dan membelai pelan kepala anak tersebut. “Good boy. Ini baru anak Ayah,” pujinya, lalu mengangkat anak itu dan membawanya terbang dengan kedua tangannya. Anak kecil itu tertawa gembira atas perlakuan Ayahnya. 

“Kamu Tuan Muda Mahardika yang paling gampang bikin Ayah senang, Renno.”

Menyaksikan kejadian yang sedang berlangsung, membuat pemuda itu menitihkan air mata. Itu aku kecil

“Ba-bagaimana bisa?” tanyanya Entah siapa yang akan menjawab pertanyaannya itu.

”Aku mau ke kamar,” ujar Renno kecil, sambil berlari dan memeluk erat mobil-mobilannya ke kamarnya.

”Eh, tunggu. Kamu akan —ah!” Niat hati ingin menahan anak itu agar tidak menabraknya, justru malah tertabrak. Dan saat tabrakan itu berlangsung, tubuhnya jadi terasa aneh.

Renno kecil menembusinya seperti ia tak ada di sini. Khawatir, ia pun menyentuh tubuhnya, lalu merasakan detak jantunganya. Masih berdetak.

”Renno. Hati-hati sayang,” peringati Mama.

Renno kembali mengingat-ingat. Ia rasa ada sesuatu yang penting di sini, tapi apa?

Lagi-lagi memperhatikan pesikatarannya. Rumah ini tak berubah sedikit pun. Letak benda-benda yang ada di sana tidak berubah sama sekali. Tetap pada tempatnya.

Saat ia berbalik lagi, Ayahnya sedang berjalan menujunya. Sebelum ia berhasil menghindar, Ayahnya sudah menabraknya, ah, tidak. Menembusinya sampai-sampai ia termundur.

Tok ... tok ... tok ...

”Ren. Ayah boleh masuk?”

”Ya, boleh.”

Renno pun tersenyum ketika menyadari betapa menggemaskan sekali suaranya waktu kecil. Belum lagi senyum itu memudar, tiba-tiba ada yang terlintas di kepalanya, sangat cepat. Saking cepatnya, ia sampai pusing.

Lihat selengkapnya