Gitar Renno

Dadar Fitrianj
Chapter #22

Kembali (2)

Di salah satu sudut cafe. Ada enam gadis cantik berseragam SMA yang sedang berbincang tentang seseorang yang pernah menghiasi hati mereka. Amarah mereka muncul bersama dengan kenangan manis yang diberikan oleh pemuda itu.

”Jadi, lo mantannya Renno yang ke berapa?” tanya Melinda, mantan Renno yang ke sepuluh.

”Kelima. Si bangsat bajingan itu ... argh! Bisa banget bikin gue betah lama-lama sama dia meskipun dia suka marah-marah. Pesonanya itu Ya Tuhan .... iiiihhhh! Renno itu titisan malaikat! Fix. Valid. No debat!”

Kelima cewek itu menganguk setuju dengan pernyataan Seska. Seska adalah mantan kelima Renno, yang merupakan anggota Cheerleaders SMA Flora.

"Terus, berapa lama kalian pacaran sama dia?" tanya Rachel, yang merupakan sekertaris Osis sekaligus mantan Renno yang ke delapan.

"Cuma Seminggu," jawab Celine. Gadis blesteran Chinese-Surabaya itu merupakan mantan Renno yang ketiga balas.

"Serius, Cel? wah, parah, sih, ini!" sesal Malda, mantan Renno yang ketiga. Pasalnya, menurut Malda, Celine adalah gadis yang sempurna. Tidak ada cela sedikit pun yang nampak pada diri Celine.

“Rerata kita Cuma dua bulan atau enggak tiga minggu,” timpal Seska.

“Dari hasil pengamatan gue, Renno tuh, ya, bukan tipe orang yang suka berlama-lama dalam menjalin hubungan,” papar Natalie. Gadis tomboy yang berhasil ditaklukan oleh Renno dalam sehari.

“Ho’o, Nat. Benar kata Seska tadi. Gue liat-liat, nih, pacaran yang paling lama sama Renno itu cuma tiga bulan itupun sama lo, kan, Nat?” tambah Rachel, yang duduk di depan Natelie.

 “Ups! Kayaknya udah nggak lagi, tuh, rekor lo udah diambil sama Vindy. Mereka sekarang udah lima bulan pacaran,” sanggah Malda.

“Yakin, mereka bakal langgeng? Gue sih yakinnya, bentar lagi mereka bakal putus. Renno tuh, pasti nggak bakal bentah sama dia,” sambung Natalie.

“Kenapa gitu?” tanya Melinda.

“Gue udah selediki hubungan mereka berdua. Ada yang nggak beres. Renno pun kayak nggak berdaya gitu. Udah udah ‘nnek sama Vindy. Itu sih, yang gue liat,” ungkap Natalie, sambil mengaduk-aduk jus lemonnya dengan sedotan.

“Apa yang lo selidiki?” tanya Rachel. Keempat gadis lainnya pun memajukan sedikit tubuh mereka ke arah Natalie, seakan menunggu penjelasan.

“Kalian mau tahu?” tanya Natalie, sambil menatap teman-temannya satu-persatu.

*

“Kok kita di sini lagi? Gue mau tau kelanjutan ceritanya!” renggek Renno. Kini mereka telah kembali ke depan pintu, tempat awal mereka masuk tadi.

Satu alis pemuda itu terangkat. Ia sedikit terkejut dengan renggekan Renno. Ia menoleh dan memunculkan smirk. “Lo penasaran?” Renno menganguk. “Biar gue ceritain ke lo. Lo nggak perlu liat semuanya.”

“Kenapa gue nggak boleh liat semuanya?”

“Natalie nggak hanya nyelediki lo sama Vindy, Ren. Semenjak lo putusin dia ....”

“Bentar ... bentar ... ini bukan jawaban yang gue mau.”

“Lo bilang lo penasaran, kan? Jadi sekarang gue jelasin ke lo. Kenapa lo potong penjelasan gue?”

“Gue mau ....”

“Dengar.” Potong pemuda itu dengan cepat, lalu menaikan jari telunjukknya di depan wajah Renno. “Gue mau lo dengar apa yang gue hendak gue sampaikan ke lo, dan lo nggak punya hak buat potong penjelasan gue. Ngerti?!” tekan pemuda itu.

Rahang Renno mengeras. “Nggak! Kenapa sih, lo selalu memaksa?” keluh Renno.

“Gue udah jelasin semua ke lo!”

“Lo nggak pernah jelasin apapun ke gue!” bantah Renno.

“Lo terlalu kers kepala, Ren!”

“Oh, ya? Dan lo pikir, lo enggak, huh?” sindir Renno.

“Ingat. Gue adalah lo dan lo ... belum tentu gue.”

“Persetan!!!”

Satu pukulan di berikan pada pemuda yang mirip dengannya itu. Alih-alih pukulannya mendarat pada wajah pemuda itu, justru kini mereka telah kembali ke tempat yang berwarna putih seutuhnya, lebih tepatnya, mereka ada di atas motor yang sedang melaju dan Renno berada dalam boncengan. Renno sudah terhuyung, hampir jatuh dari atas motor. Dengan singap tangannya memegangi lengan orang di depannya.

“Lo nggak bisa pukul gue,” ungkap pemuda itu.                                  

Makin lama dengan pemuda itu, makin membuat Renno naik pitam. Menurutnya, pemuda itu terlalu egois dalam melakukan segala hal. Seenaknya sendiri.

“Seegoisnya gue, itu sama aja dengan keegoisan lo. Apa yang pengen gue tunjukin ke lo nggak lebih tentang karakter lo yang teralu keras dan semaunya sendiri dengan orang lain. Ingat, kita nggak ada bedanya,” tambahnya.

“Gue nggak paham maksud lo apa. Jadi, turunin gue disini sekarang juga!” perintah Renno.

“Kalau gue nggak mau?” tantang pemuda itu.

“Gue akan loncat,” ancam Renno.

Pemuda itu berdecih lalu menyengir. “Silakan.” Bukannya memelankan laju berkendara atau membiarkan kelajuan itu stabil, pemuda itu justru makin meninggikan laju motornya. Semula, Renno sudah akan melompat, mendadak mengurungkan niatnya. “Kenapa lo enggak loncat? Bukannya lebih seru kalau lo loncat saat-saat begini?” pemuda itu tertawa puas.

“Terus aja lo permainkan gue!” sergah Renno. Rahangnya kembali mengeras, tangannya pun turut mengepal dengan kuat.

Lihat selengkapnya