Aku sampai pada sebuah tempat yang sudah lama tak kukunjungi. Sebuah pantai dekat perbatasan kota. Aku sampai ketika malam hampir tiba. Ketika sang surya dilangit hendak kembali pada pangkuan, bertukar jaga dengan rembulan sebagai pencahayaan malam.
Ternyata, perjalanan ini, memakan banyak waktu juga.
"Datang juga lo, Renno,” sambut seorang cowok yang tingginya lebih lima senti dariku. Ia berjalan mendekat sambil menyeret sebuah kayu rotan, sedangkan dibelakangnya, ada empat orang sebaya yang boleh kukatakan adalah anak buahnya.
"Urusan gue sama adek lo udah kelar, War,” tukasku tanpa berpikir panjang.
"Oya? Siapa bilang? Apa gue udah ngasih pertanyaan ke lo?!” tanyanya bersamaan dengan langkahnya yang terhenti. Jika di hitung, beda jarak kami hanya satu meter setengah.
Dengan enteng aku menjawab, "gue. Gue yang bilang. Lo belum tanya tapi gue tahu isi kepala lo!"
Anwar bedecih, kemudian mengangkat kayu rotan tersebut tertidur pada bahunya. “Oke. Seratus buat lo! Dan ya … urusan kita belum selesai banci! Adek gue nangis gara-gara lo!”
"Siapa yang nyuruh dia nangis? Nggak ada, kan?"
"Bajingan!” gertak Anwar.
"Emang lo nggak bajingan? Bahkan lo lebih bajingan daripada gue. Ngaca dong!” hardikku tak mau kalah.
Mendengar perlawanan dariku, lantas membuat wajahnya mengeras dan merah, juga tangan yang jelas terkepal. Tatapan horor ia berikan padaku, layaknya sebuah santapan spesial untuk sang Raja Hutan.
"Lo nggak berhak marah, War. Kalau dia mau nangis, ya nangis aja, nggak ada hubungannya sama gue! Kalau dipikir-pikir, ini juga salah adek lo sendiri, siapa suruh dia nerima gue? Kan, lo tahu sendiri, dan seperti kata lo tadi, gue bajingan. Kenapa nggak lo peringati dia?"
"Nggak ada akhlak, lo! Asal lo tahu, adek gue nangis, sampai nggak mau makan gara-gara lo!”
"Jadi, gue harus peduli?" tanyaku membuat wajahnya makin merah. "Terus gue harus apa, War? Gue nggak ngerti. Gue pacaran sama dia karena dia suka sama gue. Lo pernah tanya nggak ke gue, suka sama dia karena apa? Asal lo tahu War, gue suka sama dia karena dia mostwanted, bukan suka karena cinta. Bayangin aja, War. Gue Renno, kata orang-orang gue badboy tertampan yang pernah ada. Terus gue disandingkan sama mostwanted. Gue berasa sempurna dong, macam cerita-cerita fiksi. Dan, ketika gue udah ngerasa bosan ... Ya, gue tinggalinlah."
"Lo terlalu menjadi-jadi, Ren!"
"Terus gue harus a—”
BUGH!
Sial!
Untuk hari ini, aku tonjok oleh dua orang panglima yang berbeda. Pertama, dari Mediar Permana, panglima tawuran SMA Flora. Kedua, dari Anwar Rendika, panglima tawuran sekaligus panglima geng motor SMA 35 Aksara.
"Nggak usah banyak bacot deh, lo!"
"Gue cuma je—”
"DIAM LO, BACOT! Sekarang, lo bangun, dan gue mau lo pulang tinggal nama hari ini!”
Aku menghembuskan napas kasar, sambil menatap langit jingga. "Oke, fine! Kalau lo mau gue pulang tinggal nama. Tapi satu, lepasin dulu cewek yang lo sandera."
"Enggak!"
"Lo jangan bikin gue emosi deh, War!"
"Tahan dia!"
Empat orang temannya yang sedari tadi dibelakang pun maju, setelah diperintah oleh Anwar.
Huh! Dengan wajah yang dibuat-buat seakan bengis, dia pikir aku akan takut apa?
"Jangan sampai lo semua pegang gue. Atau ... Lo semua akan pulang tinggal nama sebelum gue!"
Ancamanku membuat mereka berhenti, saling pandang seakan bertanya satu-sama lain untuk melanjukan ini atau tidak.
"Jangan dengarin dia,” ucap Anwar sambil menatap tajam ke arahku. “Coba aja kalau lo berani. Gue jamin, lo nggak bakal mampu selesaikan mereka seorang diri,” lanjutnya dengan angkuh.
Mereka pun kembali maju. Aku juga ingin langsung berlari dan menghajar wajah mereka. Namun, sayang. Entah mengapa, aku tak bisa maju bahkan mundur, langkahku seakan terkunci di sini. Satu dari keempatnya berlari karahku dengan cepat. Disaat yang sama, entah apa, aku merasa tubuhku sangat ringan dan sekitarku seperti mengambang.
Oke, mari ikuti permainan ini.
Aku tak tahu apa yang mereka lakukan padaku. Saat bangun, aku dalam kondisi tidur menyamping, kedua tangan diikat ke belakang, dan sekarang aku haus. Kupindai ruangan yang terbuat dari papan, dan pengap ini. Tidak ada siapa pun, selain satu lampu berwarna kuning sebagai pencahayaan yang mungkin tepat tergantung di atasku.
"Udah bangun?" Ternyata aku salah. Ternyata ada orang di dalam ruangan ini. "Make it easy, Ren. Lo balikan sama adek gue, dan imbalan yang lo dapat adalah lo bebas bersama teman lo yang mirip Mak Lampir itu,” tawar Anwar yang kini berdiri di depanku.
Aku tak menatap matanya, karena terlalu tinggi untukku tatap dengan kondisiku yang seperti ini. Jadi kulihat saja sepatunya yang berwarna putih pudar.
"Enggak! Lo bilang, lo mau bunuh gue! Kenapa nggak lo bunuh aja, biar lo puas?!"