Gitar Renno

Dadar Fitrianj
Chapter #5

4. Gitar Renno — Sekelas

 

"Darimana kamu, Renno?” Padahal aku sudah mengendap-endap, berharap tak ada yang meyadari kedatanganku. Namun nyatanya .... "Kalau Ayah tanya, kamu harus jawab!”

Aku membeku sejak kali pertama mendengar suara Ayah yang dingin. Ingin sekali aku berbalik dan menatapnya tajam, namun, aku tak berani karena kondisiku yang seperti ini.

"Nggak punya mulut, ya, kamu?" sindir Ayah.

"Kalau Ayah mau pukul aku lagi, silahkan aja. Aku siap,” balasku datar, masih membelakanginya.

"Bukan itu jawaban yang Ayah mau. Ayah tanya, kamu darimana?!” Kali ini suara Ayah bergema. Namun sayang, bentakkannya sudah tak mempan lagi untuk kutakuti. Sebab, aku sudah kebal.

"Sadar, Ren. Kamu udah kelas tiga. Harusnya kamu matangin lagi persiapan masa depanmu, yang sebentar lagi—“

"Cukup, Yah. Aku mau istirahat!” Aku pun berlalu kerana tak mau lagi berdebat dengannya. Sungguh lelah jiwa ini jika harus beradu mulut terus dengan orang tua, terlebih orang tua ini sangat menjengkelkan. Maka, kucukupakan saja hari ini, cukup raga ini yang lelah, untuk jiwa, jangan.

"Memangnya kamu mau jadi apa, hah?! Anak laki-laki pulang larut itu wajar. Kalau pulangnya dalam keadaan babak belur, itu nggak wajar! Mau jadi preman pasar kamu?!”

Tak kenal masa, entah itu pagi, siang, ataupun malam, jika saat itu Ayah ada di rumah, maka aku akan selalu dimarahi dan dituduh yang bukan-bukan. Kenapa Ayah begini? Kenapa Ayah tidak pernah mengerti aku?

PAAAAKKK!

Kubanting pintu kamar sekuat mungkin. Menepis kata-katanya yang meremehkan itu. Aku sendiri benci diremehkan, aku benci jika diatur-atur. Aku ingin kebebasan, aku ingin melakukan apapun yang aku suka! Aku benci keadaan seperti ini, keadaan yang memaksaku untuk tetap diam, dan aku sendiri tak bisa berbuat banyak.

tok .. tok .. tok ..

"Renno?” panggilan lembut itu selalu datang sesudah kemarahan Ayah. Suara lembut itu, selalu berdiri pada jeda dinding.

"Pergi, Ma. Renno mau tidur.”

"Kamu udah makan?”

"Renno bilang, Renno mau tidur!”

PRRAAAAAAANNNGGGGG!

Aku tahu itu ulah Ayah. Sudah terlalu sering ia melakukan itu pada pintu kamarku. Pernah sekali ia melemparkan kursi hingga patah. Pernah juga sebuah kapak, yang kupikir sangat tajam, sebab benda itu dapat tertancap pada pintu kamar. Dan semuanya, sudah pernah ia lemparkan pada pintu kamarku. Dan sekarang ini, yang Ayah lempar adalah ...

"Yah! Itu vas kesayangan Mama!”

Ada tiga vas kesayangan Mama. Aku tak tahu Ayah melemparkan yang mana.

"Bukan urusan Ayah! Ayah sangat berharap vas itu kena kepala anakmu yang brandalan itu!”

Aku juga benci mewarisi sifat keras kepala Ayah.

“Elo!”

Demi Dewa Neptunus di Bikini Bottom. Rasanya, aku sedang dikutuk oleh Sang Maha Agung, sejak kali pertama bertemu dengan cewek ini.

"Hai. Jadi, kamu yang duduk di sini ya? Wah, nggak nyangka,” sambutnya dengan mata berbinar.

Aku juga tak menyangka, jika harus menyelesaikan waktuku selama kelas tiga dengan duduk bersebelahan dengannya.

"Bos. lo udah kenal sama dia?”

Dan ini adalah pertanyaan yang dilemparkan oleh Nino sejak tadi malam. Sejak cewek itu menunjukku dan membuat semua orang terkejut. Aku pun tak kalah terkejutnya.

“Gue, ya, dari kemarin. Sejak Medi telponan sama Anwar, dan Medi bilang cewek yang diculik Anwar bernama Tyara. Gue langsung mikir, ini Tyara yang di kelas gue bukan, yang anak baru itu? Eh, ternyata benar, Tyara yang diculik itu elo!” beber Ringgo, kemudian terkekeh.

"Iya, itu aku. Sumpah, aku keget pas diculik. Tapi ternyata, diculik nggak semenyeramkan macam di film-film. Soalnya yang nyulik receh banget! Suka bikin aku ketawa, hahahaha,” akunya heboh.

Aku, Nino, dan Ringgo saling tatap. Mata kami ikut membesar seiring besarnya ketawa Tyara. Fix. Dari awal aku sudah menduga cewek ini punya sisi horor. Ketawanya memang mirip Mak Lampir, persis seperti yang dibilang Anwar kemarin. Oh, tambahan. Suaranya gabungan antara Mak lampir dan Bu Nila.

"Eh, kita belum kenalan. Aku Tyara, Tyara Nuthasya,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.

Aku tidak serta-merta menerima ulurannya. Aku justru bergantian menatap tangannya, dan sang pemilik tangan yang tengah tersenyum lebar. Entah apa yang tengah terasa sekarang, sangat di luar kendali. Awalnya aku mau datang marah-marah, agar orang yang duduk disebelahku takut, dan memohon pada Bu Nila supaya pindah tempat duduk. Nyatanya ... lagi-lagi tak sesuai ekspektasi. Ia justru tertawa horor seakan tak terjadi apapun. Saat aku masuk kelas saja, ia sudah mengobrol akrab dengan Nino dan Ringgo. Benar-benar di luar dugaan. Padahal, siswi-siswi di kelas ini, tak ada yang berani bertegur-sapa dengan Duo Tail.

"Kamu nggak mau kenalan sama aku?” tanya Tyara, lalu menarik ulurannya. “Nggak papa. Aku tahu namamu, namamu ialah Renno. Renno Mahardika. Kamu yang nyelamatin aku tadi malam, dan kamu adalah teman yang duduk bersebelahan denganku.”

Dan saat itu, aku merasa akan terjadi sesuatu. Akan ada sesuatu yang berbeda.

Hari ini kami hanya mendapatkan satu mata pelajaran, yakni pelajaran Matematika dari Bu Starla. Entah mengapa, setelah jam beliau usai. Tak ada lagi guru yang masuk walaupun sudah dipanggil oleh ketua kelas. Dan ini, bukan hanya terjadi pada kelasku saja, tetapi seluruh kelas. Uh, baguslah kalau begitu. Kelas ribut seperti biasa, namun aku memilih untuk keluar dari kelas dan mencari ketenanganku sendiri. Tyara, Ringgo, dan Nino kompak bertanya kemana aku hendak pergi. Namun, kuabaikan.

Huh! Dasar kepo!

Ngomong-ngomong, aku senang mengikuti mata pelajaran Bu Starla. Menurutku, beliau lebih piawai dalam mengajar dibandingkan Bu Nila yang sukanya ngomel-ngomel terus! The reason why, setiap ada mata pelajaran beliau, aku akan nekat bangun pagi sekali, agar bisa cepat-cepat bertemu dengan Pak Ahmad. Biasa, rutunitasku sebelum masuk kelas. Dan setelah bertemu Pak Ahmad, aku langsung ke kelas menunggu kedatangan Bu Starla.

Semangat sekali, kan, aku?

Oh, iya. Part masuk kelas sudah aku ceritakan!

Sekarang aku lagi di kantin, di tempatku yang biasa. Tempatnya Pak Mur.

“Ren. Bolos lagi?”

"Bolos apaan? Orang kelas kosong kok. Lagian yang berkeliaran bukan cuma aku aja, kok, Pak Mur. Nih, satu sekolah, semua berkeliaran.” paparku pada Pak Mur, matanya berkeliaran seakan tengah mencari Sesuatu.

"Oh, gitu ya? Tapi kok, kantin sunyi ya?”

Jika dilihat-lihat lagi, kantin memang sunyi melompong. Hanya ada aku dan Pak Mur di sini. Aku mengendikkan bahu dan membalas, “nggak tahu, Pak Mur. Mungkin, rezeki Pak Mur pagi ini, ngelayani aku dulu sampai selesai, baru yang lain datang.”

Lihat selengkapnya