Aku sampai di rumah dan lekas menuju kamar. Kutelusuri seluruh pelosok kamar, namun nihil. Buku itu benar-benar tak ada.
Kemana aku harus mencari?
Mungkinkah, buku itu benar-benar ada pada Tyara?
Sekarang, aku berbaring sambil menghembuskan napas berat dan kasar yang tak henti-hentinya keluar dari jalan pernapasan. Pening sekali rasanya. Agendaku kali ini pun, terpaksa tertunda. Toh, sama saja, aku tak bisa ke basecame rahasiaku tanpa adanya buku itu. Apa aku harus mencoba bertanya pada Nino dan Ringgo? Tapi, mereka berdua tidak pernah tahu keberadaan buku yang selalu bersamaku.
Ah, tanya saja!
Kubangkit dari rebahan, kemudian merogoh ponsel yang berada di saku celana. Mencari nomor Nino terlebih dahulu, dan meneleponnya.
Tersambung.
"Napa, Bos?”
"No, tadi waktu di kelas. Lo liat sesuatu nggak, di atas meja gue?”
"Sesuatu? Sesuatu apa?"
"Ya, sesuatu gitu. Bendalah pokoknya.”
"Benda, ya? Um ... enggak ada apa-apa di sana deh, kayaknya. Eh, nggak tahu deng, gue nggak perhatiin lagi. Hehe.”
"Ya udah, makasih.”
Kuputuskan sambungan, buru-buru mencari kontak Ringgo. Kemudian menelponnya.
Tersambung.
"Go, lo liat sesuatu nggak?”
"Sesuatu apa?”
"Ya, sesuatu gitu. Waktu masih kelas. Di atas meja gue, lo liat sesuatu nggak?”
"Um, enggak tuh. Kenapa?”
"Ya udah makasih.”
"Eh, jangan matiin dulu, Bos! Gue mo bilang, ini soal Tyara!”
Deg!
Tyara?
Setelah mendengar nama itu, lantas kuurungkan niat untuk memutuskan sambungan.
"Kenapa dia?” tanyaku hati-hati.
"Kasihan banget dia. Kakinya terkilir. Sakit banget deh kayaknya, sampe dia teriak-teriak gitu.”
Oke. Informasi ini sama seperti yang di katakan oleh emak-emak gosip, di kelas tadi.
"Terus. Lo liat pas waktu dia pulang?”
"Liat. Kenapa?”
Aku harap, Ringgo dapat memberikan sedikit pencerahan.
"Ah, lo liat nggak, pas dia masukin barang-barangnya ke dalam tas?”
"Liat. Kenapa?”
Semoga Ringgo memberikan informasi lebih.
"Dia masukin sesuatu gitu nggak, dalam tas dia?”
"Li ... eh. Aduh, nggak tau deng, Bos. Lagian ini Bos nanya apa sih? Sesuatu, sesuatu. Sesuatu apa? Barang Bos ada yang ilang?”
Cukup. Ternyata Ringgo sedikit lebih peka, dibandingkan Nino.
"Yaudah, makasih.”
Buru-buru kuputusankan sambungan.
Ringgo tak boleh tahu lebih dalam apa yang sedang kucari, atau bahkan mengetahui keberadaan buku tersebut. Tak boleh seorang pun yang boleh membukanya selain aku.
Apapun yang terjadi tetap tidak boleh!
Hari ini aku datang ke sekolah pagi sekali, lebih cepat sepuluh menit daripada hari kemarin.
Sekarang, aku sedang menuju kelas setelah selesai mendengar petuah singkat dari Pak Ahmad. Lebih baik begitu, menyerahkan diri ke Pak Ahmad sebelum dicari. Bisa panjang urusan jika terbalik. Sesampainya di kelas, aku langsung menuju ke tempat dudukku. Kelas masih sunyi, karena seperti yang kukatakan tadi, aku datang ke sekolah sangat pagi.
Pukul 06.10 aku sampai di sekolah, ceramah Pak Ahmad berlangsung singkat. Biasanya, ia menceramahiku paling cepat tiga puluh menit. Namun, Pukul 06.20 tadi, aku sudah keluar dari sana.
Aku menuju tempat duduk sambil memperhatikan sekitar. Barang kali terselip di suatu tempat. Namun, tetap saja, binder itu sama sekali tidak ada. Aku cemas jika benda itu benar-benar hilang, walaupun harapan terakhir ada pada Tyara.
Aku pun duduk sambil mengusap tangan, kakiku tak berhenti bergerak tak tentu, apalagi jantungku. Sejak kemarin, jantung ini memompa dengan sangat tidak nyaman. Sesekali kugigit bibir bagian dalam, juga menghembuskan napas kasar.