Aku sudah menjelaskan semuanya kepada Bu Nila. Aku terpaksa terbuka pada beliau agar masalah ini tidak panjang, apalagi harus terdengar sampai di telinga Ayah. Aku harap, setelah ini Bu Nila mengerti keadaanku sehingga ia maklum atas apa yang aku lakukan selama ini.
Setelah selesai urusan dengan Bu Nila, selanjutnya urusan baru dengan Pak Ahmad lagi. Begitulah, aku merasa seperti anak emas yang selalu diperhatikan oleh dua guru sekaligus. Menyenangkan dan menyebalkan terasa dalam waktu yang sama.
"Renno. Padahal Bapak sudah senang beberapa hari, oh, atau mungkin satu minggu tidak ada laporan kriminal dari kamu. Namun ternyata ..,” Pak Ahmad menarik napas panjang. “Ya, sudah. Saya juga tak pandai menyihirmu jadi orang baik.”
Tak ada laporan kriminal? Oh, fyi. Pak Ahmad sama sekali tidak mengetahui kasus kemarin bersama Anwar. Kasus ini tertutup dengan sangat rapi, sesuai rencana, hingga tak terdengar olehnya.
"Langsung ke intinya saja, Pak.”
"Diam kamu! Saya tidak menyuruhmu berbicara.” bentaknya, membuatku tertunduk.
"Coba sini, serahkan buku kamu. Saya mau lihat apa benar yang kamu ucapkan itu.”
"Tapi, Pak. Saya—”
"Serahkan buku itu, dan kamu boleh keluar dari ruangan saya. Bosan tahu, liat kamu tiap hari!” Tak pernah terpikirkan olehku, kalau Pak Ahmad punya rasa bosan.
Aku pun terpaksa memberikan buku itu. Huh, padahal aku baru bertemu dengannya!
“Silahkan kamu keluar. Setelah pulang nanti, kamu ke sini lagi, ambil buku kamu. Paham?”
Aku menganguk, kemudian keluar setelah mengucapkan salam.
"Bapak kira kamu sakit, Ren!"
Setelah keluar dari ruangan Pak Ahmad, aku tak langsung ke kelas. Aku jalan-jalan dulu keliling sekolah seorang diri, sambi beranggan jika SMA Flora adalah istanaku dan aku Rajanya. Tentu saja, aku ditegur oleh beberapa guru agar masuk kelas, namun, tak kupedulikan. Toh, di jam pelajaran kedua ini masih di isi oleh Bu Nila. Lagi pula, bosan tahu, bertemu Bu Nila terus. Besok lagi, jam pertama, Fisika, ketemu lagi dong sama Bu Nila.
Sekarang aku di kantin setelah bosan jalan-jalan. Lelah, letih, dan lapar tercampur menjadi satu, dan kantin adalah tempat ternyaman yang pernah ada.
"Enggak, kok, Pak Mur. Aku sehat jasmani dan rohani,” jelasku sambil bersandar pada dinding.
"Oh, begitu? Terus kenapa kemarin-kemarin nggak datang?”
"Ada masalah, dikit. Tapi udah teratasi,” jawabku dengan bangga. “Memangnya kenapa Pak, kantin Bapak sunyi nggak ada aku?”
"Nggak, tuh. Justru ramai. Bapak cuma mau balikin ini.” Pak Mur pun menaruh satu pecahan uang dua puluh ribu, sepuluh ribu, dan empat pecahan uang dua ribu. “Kembalian kamu belum kamu ambil,” lanjutnya. Aku menganguk.
Kuambil uang itu dan menyisahkan enam belas ribu untuk makanan dan minuman.
"Seperti biasa ya, Pak Mur.”
Pak Mur menganguk, mengambil uang, dan menghilang di balik etalase. Hendak saja menopang dagu datanglah seseorang yang dulu pernah mengisi. Natalie, namanya.
Kutegakkan badan sambil menatapnya datar. Ia tersenyum manja namun, menurutku itu senyum berbisa, beruntung aku sudah kebal.
"Renno. Kamu nggak masalah, kan, kalau aku duduk di sini?" Tak ada respon berarti dariku selain masih menatapnya datar. "Ih, jangan dingin-dingin dong, Ren. Biasa aja lagi. Santai,” ujarnya sambil menarik kursi, kemudian duduk di depanku.
"Lo mau apa sih?" tanyaku risih
"Oke. Gue langsung aja. Lo ada hubungan apa sama Vindy? Bukannya lo berdua udah putus?"
Alisku bertaut. "Urusannya sama lo apa?"
Natalie tak langsung menjawab, karena kedatangan Pak Mur membawakan seporsi pecel dan lemon tea.
"Gada. Nggak ada urusannya sama gue," balasnya sambil menggeleng pelan. Tentunya, setelah Pak Mur pergi. "Hati-hati, Ren. Apalagi teman lo yang cewek itu. Eh, tapi gue nggak yakin deh, kalau kalian berdua itu hanya sebatas teman. Secara ... Lo, kan, bajingan,” sindirnya.
Satu alisku terangkat. "Terus?"
"Gue cuma peringati lo. Gue cuma takut lo kenapa-napa. Karena lo harus tahu, sebajingan-bajingannya lo, gue tetap cinta sama lo. Sekalipun gue nggak bisa jadi milik lo lagi." jelasnya sambil memalingkan wajah.