"Renno!"
Setiap kali pulang, pasti teriakan ini yang menyambutku.
"Berbalik!" perintahnya. Bodohnya aku yang mengikuti perintahnya tanpa berpikir panjang.
"Pukul 15.50, tumben sekali kamu pulang jam segini. Pasar udah tutup?" tanyanya sarkas.
Alisku saling menusuk, menatapnya heran. "Aku baru pulang sekolah,Yah. Bukan pulang pasar!” terangku.
"Oh. Syukur, kalau kamu udah sadar,” balasnya dengan nada menyindir.
"Aku memang sadar. Karena dari awal, aku berjuang untuk membuktikan ke Ayah, kalau aku bisa dan mampu—”
“Mampu baku hantam? Setiap kali pulang pasti babak belur. Kamu ini kenapa si, Ren? Cobalah kembali menjadi Renno yang dulu. Renno yang--”
“Oke. Aku masuk kamar!”
Sejujurnya, aku bingung dengan sikap Ayah. Kadang kala, Ayah bersikap seolah ingin berdamai, namun terkadang pula, Ayah menjadi sangat agresif pada apa yang aku inginkan. Aku benci tatkala Ayah mulai membahas ini. Sesuatu yang berhubungan dengan ketidaksukaanku. Kenapa, sih, Ayah tidak pernah mengerti? Padahal dari awal aku sudah bilang ...,
“Renno!” teriaknya kasar.
“Kalau ayah mau melempar sesuatu pada pintu kamarku, silahkan saja!”
... berhenti mengaturku seperti anak kecil. Karena aku benci di atur-atur!
Aku selalu menerawang seperti apa masa depanku nanti?
Seperti apa suasana kamar ini, ketika aku bukan lagi anak SMA?
Dan ... seperti apa reaksi Ayah jika aku berhasil membuktikan kepadanya?
Aku sungguh tak sabar akan datangnya hari itu.
Haah ... sial!
Harusnya aku tak memikirkan ini.
Seharusnya, aku tidak memikirkan hal ini. Masa depan terlalu abu-abu untuk diterka, belum saatnya memikirkan situasi yang belum tentu akan terjadi. Yang menjadi fokusku saat ini adalah ... isi di dalam binder berkover pesawat antariksa, yang kini telah kembali lagi padaku.
Aku tersenyum, tatkala lensaku menemukan buku itu di atas meja dekat jendela. Akan tetapi, itu tak berlangsung lama. Rasa bersalah mulai mengerubungiku, padahal, sudah kucoba alihkan dengan tidak masuk kelas tadi.
Huuh!
Bagaimana perasaan Tyara? Apa ia terluka karena ucapanku? Pasti ia terpukul sekali saat kata-kataku keluar dengan bebas begitu saja, iya, kan? Lagipula, ini salahnya sendiri. Siapa suruh membuka buku orang hingga dalam-dalamnya. Binder ini terlalu berharga untukku, karena segala jenis coretan ada di dalamnya. Dan aku benci jika ada orang lain yang membukanya selain aku.
Sudahlah. Urusan Tyara nanti saja. Toh, sejak kapan aku mulai peduli lagi kepada perasaan orang-orang, apalagi telah sembrono?
Kubuka pintu yang terhubung dengan taman kecil dan kamarku. Kuraih gitar yang tergantung pada dinding. Keluar. Dan duduk di depan kolam ikan koi. Bersama ini, kupetik pelan string gitar sesuai kuncinya, bersenandung kecil meramaikan suasana sunyi. Ikan koi ikut menari pelan. Petikan gitarku pun terdengar senanda dengan gemericik air yang tumpah dari kolam.
Di sinilah kenyamanan itu kudapatkan. Gitar dan gemericik air, juga tarian ikan koi. Petikan gitar membuatku hidup kembali setelah mati suri tertimpa beban hidup. Suara gemericik air membuatku tenang dan damai. Dan ikan koi, sebagai penghias hidup. Semoga saja memang ada keberuntungan.
“Bos.” Satu gangguan datang dari Nino, saat aku tengah menyelesaikan soal Fisika.
“Ha?”
“Lo tahu?”
“Enggak.”
“Makanya, ini gue mau bilang.”
“Apa?”
“Danger, Bos! Danger!”
“Apanya?”
“Tyara tadi nangis sesenggukan, Bos! Lo kenapa sih, marah dia kayak gitu?”