“Aku nggak pernah bermaksud untuk buka binder kamu, Ren. Binder itu tiba-tiba ada di dalam tasku. Karena aku penasaran siapa pemiliknya, akhirnya aku buka. Oke. Kamu boleh bilang aku lancang, atau kurang sopan, atau apa! Terserah! Setelah aku baca itu punya kamu—”
”Iya, kan? Kamu baca semua termaksud tulisanku yang itu!”
Tyara menggeleng. “Enggak. Aku nggak baca!”
”Bohong!”
“Oke. Aku baca,” akui Tyara
“Kan! Coba dari awal lo jujur, Ra. Gue nggak akan semarah ini!”
“Tapi nggak seperti yang kamu bayangkan, Ren!”
“Maksudnya?”
“Aku memang buka dan baca beberapa materi.”
“Nggak mungkin! Pasti lo baca itu juga, kan?”
“Terserah! Sekarang aku minta, kamu jangan dekat-dekat sama aku!”
“Apa lo bilang?”
“Kamu nggak ngerti?”
“Enggak! Maksud lo apa? Setelah menjamah buku gue dengan bebas, lo nyuruh gue menjauh? Ada otak nggak si lo?!”
“Aku nyuruh kamu menjauh karena kamu kasar sama cewek, terutama sama aku!”
Aku mengerutkan kening. “Gue kasar sama lo, karena lo udah lancang sama buku gue! Kalo lo nggak gitu, gue nggak bakal kasar sama lo!” Kutatap sekeliling sambil memijit kening pelan. “Oke. Sekarang gue mau minta maaf,” lanjutku pelan.
Tyara mengerutkan kening, seakan-akan ucapanku itu salah. “Setelah kamu marah-marah dan buat aku malu, sekarang dengan mudahnya kamu minta maaf?”
“Lah. Emang gitu, kan? Jadi, lo nggak mau maafin gue?”
“Iya!” balasnya kemudian berlalu sambil mengehentakan kaki.
Aku jadi tidak paham dengan gadis itu. Aneh. Sangat aneh. Atau aku juga aneh sama sepertinya?
Aku kembali ke kelas dan Tyara belum juga menyambungkan mejanya dengan mejaku. Terserahlah, kalau ia ingin seperti itu. Buru-buru kuambil tasku sebelum bel masuk berbunyi, namun, baru saja sampai di depan pintu, Ringgo dan Nino masuk dan menyeretku kembali pada tempatku. Aku sempat memberontak tapi tak lama, setelah itu aku pasrah sebab lengkingan bel.
Sial!
Padahal aku ingin ke basecame!
“Bos! Lo udah minta maaf ke Tyara?” tanya Nino
Aku menghembuskan napas kasar sambil melirik Tyara yang tengah mengobrol dengan Miko. “Kenapa lo tanya-tanya?”
“Yaelah, Bos!” seru Nino sambil memukul bahuku. “Sante aja napa sih? Lagian minta maaf aja, apa susahnya?”
“Susah kalau minta maaf sama cewek model begitu!”
“Kalau cewek macam Vindy, gimana?” sahut Ringgo membuat otaku memutar ulang kejadian sepulang sekolah, saat Vindy dan gengnya mengintimidasi Tyara karena alasan konyol tak masuk akal!
Maksudku, aku tahu Vindy hanya baperan saat aku datang menyelamatkan Tyara, makanya ia bisa seberani itu. Lagi, Vindy bukan tipe orang yang mudah melepaskan mangsa. Lagipula, mana kutahu orang yang kuselamatkan itu, ternyata Tyara? Tapi, jika dilihat lebih teliti lagi .., Tyara ... Apakah ia mendapatkan teror dari Vindy?
“Tyara!” Tyara hanya menoleh singkat lalu kembali mengobrol dengan Miko. Aku yang sudah gemas dengan tingkah Tyara, langsung bangkit dan mendekatinya.
“Ra. Gue mau ngomong.” Tawa Tyara dan Miko terhenti saat kata-kataku keluar begitu saja.
“Ren, ingat! Kita itu harus jaga jarak sat—”
“Gue tahu, kok! Sekarang urgent banget, makanya gue mau tanya dan lo harus jawab.”
“Enggak! Kamu lupa, tadi saat jam istirahat aku bilang apa ke kamu?”
“Iya. Tapi ini urgent! Ini tentang Vindy!” Tepat saat nama Sang Dramaqueen terlepas dari mulutku, mimik wajah Tyara langsung berubah dan sekarang ia mulai menunduk.
“A-aku nggak tahu siapa Vindy. Aku harap kamu jauhin aku! Karena dekat-dekat sama kamu, aku dapat masalah terus!”
Aku menganguk.
Fix. Tyara di teror!”
“Gue nggak teror dia kok!”
Masuk jam terakhir, aku langsung menghubungi Vindy dan memintanya agar nanti bertemu di cafe, tempat aku menembaknya dulu. Dia langsung tertawa kegirangan saat aku mengatakannya. Ya. Aku tahu dia sangat senang mendapat ajakan dariku. Semoga saja ia tak berekspektasi tinggi tentang ajakan ini.
Dan sekarang, kami sudah berada di cafe yang kumaksud. Ini juga sudah ketiga kalinya aku melemparkan pertanyaan yang sama, dan tiga kali pula jawaban yang sama kudapatkan.