Agar permintaan maafku terkabulkan, aku harus memenuhi syarat dari Tyara. Tak terlalu sulit menurutku, sebab aku hanya perlu mentraktirnya makan soto Pak Mur sambil mengajarkannya beberapa materi Fisika. Ada beberapa yang ia tidak pahami, ingin bertanya tapi ia takut kena semprotnya Bu Nila. Kasihan. Akhirnya, aku mengiyakan saja.
Dan ini kali pertama aku makan di kantin dengan seorang gadis setelah sekian lama. Jelas, ini mengundang perhatian halayak ramai. Sejujurnya, aku tidak mengkhawatirkan diriku, aku justru merasa kasihan pada Tyara. Ia ditatap sinis oleh banyak mata. Mungkin karena kedekatanku, manusia tampan lagi hina ini dengan Tyara, gadis berjilbab yang banyak dibicarakan oleh banyak orang. Jangan pikir aku tidak tahu perihal gosip yang menyebar antara aku dan Tyara. Gosip itu muncul setelah aku melerai Vindy cs dan Tyara. Entah siapa yang menyebarkan gosip itu. Sekali lagi, aku tidak peduli dengan diriku. Aku khawatir dengan Tyara. Namun tampaknya, ia terlihat biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa.
“Kamu yang murid baru itu, ya? Saya jarang sekali, bahkan tidak pernah melihatmu mampir ke kantin.”
“Hehe … iya, Mas. Aku sering bawa bekal, jadi nggak pernah ke sini,” jelas Tyara.
“Oh. Eits, jangan panggil saya Mas, panggil saja saya Pak Mur. Renno sering sapa saya seperti itu.”
Tyara menganguk. “oke, Pak Mur. Saya pesan soto, ya? Renno yang bayar.”
“Renno yang bayar?” tanya Pak Mur memastikan, lalu menatapku penuh introgasi.
“Pikirannya jangan kemana-mana dulu deh, Pak. Aku juga mau insaf, kali, Pak.”
“Dek, kamu mesti hati-hati, ya, sama Renno ini. Bisa-bisa--”
“Pak Mur, apaan, sih?” tanyaku risih.
Pak Mur menyengir. “Bercanda, Ren. Jangan masukin ke hati, ya? Oke. Jadi sotonya satu apa dua?”
“Satu aja, Pak. Aku kayak biasa. Minumannya juga sama aja, dibikin dua.”
“Oke, siap.”
Pak Mur pun berlalu. Sambil menunggu pesanan datang, aku dan Tyara mulai melakukan aksi coret-coret. Aku mulai menjelaskan bagian yang tidak ia pahami. Dan semua mengalir begitu saja, bahkan makanan yang telah diantar oleh Pak Mur pun, telah dingin.
“Ren, apa baiknya kita makan dulu? Kasihan makanannya udah dingin. Kalau terlalu lama nanti nggak enak di makan. Saying juga kalu dibuang, malu juga sam Pak Mur.”
“Oke. Kita rehat bentar.”
Kami pun mengisi perut kami tanpa berbicara sepatah-kata pun, hingga yang di santap telah masuk seluruhnya ke dalam perut.
“Ren, ingat, ya! Ini belum berakhir. Kamu masih harus ajari aku sampai H-1 ujian semester.”
“Iya,” balasku.
Tak apa, setidaknya Tyara memaafkan aku dan memastikan bahwa Vindy tak meneror Tyara lagi. Bel masuk pun berbunyi setelah aku membayar. Rencananya aku mau ke basecame, namun karena kehadiran Tyara jadi kuurung dan kembali ke kelas bersamanya.
Jika di pikir-pikir lagi, sepertinya aku salah dalam mengambil keputusan untuk mengajari Tyara hingga H-1 ujian semester. Kapan aku punya waktu untuk mengembangkan keahlianku?
“kenapa? Kok muka kamu kusut gitu?” Tanya Tyara tiba-tiba.
“Eng … eh, lo perhatiin gue dari tadi, ya?”
“Mukamu gusar banget, Ren!”
“Jangan keseringan liatin gue,deh, Ra! ‘Ntar kalau lo punya rasa sama gue, bisa panjang urusan!”
“Isshh! Apaan, sih! Lagian kamu itu bukan seleraku, ya! Heran juga sama orang-orang yang bilang kamu ganteng. Ganteng darimananya coba!” sindir Tyara membuat alisku saling menusuk.
“Lo seriusan nggak suka sama gue?”
“Jangan baperan, deh, Ren! Cuma karena aku liatin mukamu yang gusar, doesn’t mean I love you! Ngerti nggak?” desis Tyara, hingga memunculkan smirk pada wajahku.
“Ya … enggak usah emosian kayak gitu juga, kali, Ra! Biasa aja lagi. Lagian lo bukan tipe gue kok. Tenang aja.”
“Ya iyalah! Orang tipemu itu macam Vindy, kan?” timpalnya.
“Kalau lo tahu tipe gue macam Vindy. Terus kenapa lo marah-marah, pas gue Tanya?”
“Aku nggak marah,” balasnya sambil menggeleng-geleng kepala.
“Terus apa?”
Tyara cemberut, lalu menggaruk-garuk kepalanya. “tadi mukamu gusar, Ren. Jadinya aku Tanya, kenapa mukamu cemberut?”
“Muka gue cemberut karna mikirin kamu, Ra. Kamu sendiri pernah nggak mikirin aku?”
“Enggak,” jawabnya tegas. “lagian kenapa kamu mikirn aku?” Tyara mencipitkan matanya. “ Kamu mau ngeprank aku, ya? Kamu berencana bikin aku baper! Iya, kan?” tuduhnya.
“Gue enggak ngeprank lo, kok. Gue serius.”
“Dengar, ya, Renno Mahardika. Kamu nggak perlu repot-repot mikirin aku, karna itu buang-buang waktu. Mending kamu mikirin masa depanmu. Okay?” papar Tyara, dan aku terbungkam karenanya.
Sebenarnya, aku masih meragukan jika Tyara tidak membaca tulisan yang aku selipkan di dalam binder. Aku sangat yakin dia membacanya. Tapi, saat meihat Tyara bersumpah, matanya mengatakan kejujuran. Aku bingung. Sekalipun dia membacanya, aku yakin ia tidak akan membocorkannya, tetapi disisi lain, aku justru khawatir.
“Renno!”
Aku berbalik dan mendapati Gilang, tengah berlari ke arahku.
“kenapa teriak-teriak?” tanyaku padanya, saat ia telah berada di depanku.
“Astaga, Ren. Jangan marah dulu. Gue punya info penting nih, buat lo!”
“Apa?”
“Med.”
“Tumben lo datang. Udah selesai ngebucin?” goda Medi
“Ha?”