Definisi goodboy menurut kamu itu seperti apa, sih?
Menurutmu, apa dia itu orang kaya?
Terlalu tampan?
Kapten basket atau bagian dari tim basket?
Oh! Apakah goodboy itu bagian dari anak band? Entah dia adalah sang vokalis dengan suara merdu. Atau sang gitaris dengan teknik bermain gitarnya yang memukau. Atau bahkan sang drummer yang terlihat membara ketika bermain dengan stiknya?
Oh! Apa dia juga bagian dari klub-klub olahraga di Sekolah?
Atau bagaimana?
Apakah dia punya segudang prestasi, mengharumkan nama sekolah, juga membanggakan orang tua?
Kutu buku?
Atau bagaimana?
Baik ke semua orang dan tak memainkan hati para gadis. Dia setia pada satu orang saja?
Bagaimana lagi dengan badboy?Apa badboy itu kebalikan dari goodboy?
Itu menurut pandanganmu saja, bagaimana jika aku bilang, "dia punya segalanya."
Bukan Gery Stu ala pangeran-pangeran kerajaan dalam negeri dongeng.
Bukan.
"Kamu itu anak berprestasi Renno. Kamu juga sudah terlalu sering mengharumkan nama sekolah ini. Tapi, kalau kelakuanmu seperti ini terus-menerus, sama saja, tak ada artinya!"
Benar-benar menyebalkan dan membosankan jika setiap pembukaan cerita harus bermula di ruang BK, namun beginilah adanya. Aku selalu mendengarkan nasihat namun mirip seperti penghinaan, aku bahkan tidak peduli dengan apa yang ia katakan. Memangnya, apa dampak yang akan aku terima jika aku masuk ruang BK, selain … dikeluarkan dari sekolah?
Hahahah ….
"Pak, Bapak nggak bosan apa, ceramahi saya tiap hari? Kuping saya udah panas nih, Pak," keluhku berharap sang guru berhenti mengoceh. Aku tidak bohong, lihat saja telingaku ini. Merah seperti darah, tak lama lagi asap-asap akan keluar, persis seperti asap yang keluar dari corong kereta api uap.
"Renno, kamu saya nasihati biar kamu sadar! Lihat, buku merah ini. Tinggal sebaris lagi penuh, dan —"
"Yaudah, Pak, tinggal tulis nama saya saja disitu terus ganti sama yang baru, beres, kan, Pak?" saranku setenang mungkin pada Pak Ahmad. Sejujurnya aku sudah tidak nyaman berlama-lama pada tempat ini. Ingin sekali lekas bangkit dari kursi yang kududuki sekarang ini, sebab rasanya seperti penuh dengan paku yang menusuk-nusuk bokongku.
"Renno, kamu!"
Dan hobi guru satu ini adalah melototi murid yang membantah, atau menyela ucapannya. Akan tetapi, matanya yang nyaris keluar dari tempatnya itu tak berpengaruh sama sekali padaku.
"Pak, maaf. Tapi jangan melototi saya seperti itu. Saya nggak takut. Memangnya Bapak nggak kasihan sama saya? Setelah ini, pasti saya kena marah lagi sama Bu Nila. Bapak tahu, kan, wali kelas saya itu terlalu sayang sama saya. Saking sayangnya, beliau over-protective sama saya, Pak. Lebih baik bapak lepaskan saya karena—"
"Kurang ajar kamu Renno! Beraninya memotong bicara bapak. KELUAR KAMU DARI RUANGAN SAYA DAN LARI KELILING LAPANGAN LIMA PULUH KALI!" perintah Pak Ahmad membuatku terkesiap.
“Hanya lari keliling lapangan lima puluh kali, kan, Pak?” tanyaku antusias. Sebab ini adalah hukuman teringan yang pernah aku dapatkan.
“Iya. Setelah itu, kamu push-up seratus kali,” tambah Pak Ahmad santai.
Bahu dan senyum sumringah langsung turun begitu saja. Dasar Pak Ahmad! Tak bisa melihatku senang barang sehari saja. “Siap, Pak!”