Gitar Renno

Dadar Fitrianj
Chapter #3

2. Gitar Renno — Tragedi

"Bu, nggak bisa gitu, dong! Masa mesti anak cewek, sih, yang duduk di sebelah saya?"

Setelah aku mendengar penuturan langsung dari Duo Tail. Lekas, aku menuju ke ruang guru, bertemu dengan Bu Nila. Segala persiapan untuk memprotes pun sudah tersimpan mantap di kepala.

"Jadi mau kamu apa, Renno?”

"Dia pindah.”

"Lah? Dia, kan, memang murid pindahan dari Kalimantan. Kamu mau suruh dia pindah kemana lagi?” tanya Bu Nila hingga garis lurus muncul di antara alisnya.

Kutepuk pelan dahi. Bu Nila tak mengerti maksudku. Oh, mungkin karena saking banyaknya rumus Fisika yang bersarang pada kepala Bu Nila hingga ia tak lagi paham bahasaku?

"Maksud saya, Bu. Si anak cewek itu pindah tempat duduk, jangan duduk di sebalah saya, lah!"

"Renno. Dengar. Kamu tahukan, sekolah kita ini padatnya kayak apa? Cuma kelas 12 IMIA 2 yang punya satu kursi kosong! Kelas 12 IMIA yang lain sudah penuh, udah pas 30 orang. Saya juga nggak mungkin kasih dia duduk di kelas IIS, karena jurusannya udah IMIA!”

“Saya cuma minta dia pindah tempat duduk, kok, Bu. Nggak nyuruh dia pindah kelas. Si anak cewek itu, jangan duduk dekat saya-lah, Bu!” rengekku pada Bu Nila.

“Kamu perintah saya? Memangnya siapa kamu memerintah saya seperti itu?” sembur Bu Nila.

Mataku melebar dan mulutku ternganga. Semburan Bu Nila tak sesuai ekspektasi. Padahal, aku hanya meminta agar tak duduk berseblahan dengan murid baru, kenapa Bu Nila repot-repot pikir kalau aku memerintah beliau?

Kupejamkan mata lalu menghembuskan napas pelan. "Kalau saja anak baru itu cowok, ya, nggak papa, Bu. Masalahnya, kan, yang duduk disebelah saya ini, Bu! Hiish! Kenapa harus cewek, sih?" gumamku

 Bu Nila mengerutkan kening. "Ya, karena dia sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang cewek," jawab Bu Nila enteng, kemudian ia menyipitkan matanya, seakan sedang menilaiku. "Kenapa? Sekarang kamu sudah alergi sama makhluk bernama cewek, iya?”

"Bukan begitu, Bu. Tapi ...”

"Lagian dia masuk kemarin, hari Senin. Kenapa kamu mempermasalahkan hal ini di hari Selasa? Kamu nggak masuk, waktu hari Senin?" cibir Bu Nila lalu menggebrak meja. "Terus kenapa lagi tadi, nggak masuk di kelas saya? Kan, saya wali kelas kamu. Kalaupun kamu nggak suka dengan guru lain, setidaknya kamu tunjukkan rasa patuh, dan hormat kepada saya, dong!”

Intonasi Bu Nila yang semakin meninggi, ditambah suaranya yang cempreng, membuatku telingaku berdenging.

Hah! Capek juga, ngomong sama Bu Nila! Semua persiapan untuk memprotes pun hilang seketika. semuanya diluar ekspektasi.

"Oke, Bu. Makasih.” Lantas, aku pun mengalah dan segera beranjak meninggalkan Bu Nila yang sedang tebakar.

Siapa juga sih, yang tahan dengar suara beliau? Daripada urusan makin panjang, dan telingaku makin rusak, mending cabut, kan?

"Renno, mau kemana kamu? Saya belum selesai ngomong! Renno!”

Aku jadi berpikir, berapa besar frekuensi yang dihasilkan oleh suara cempreng Bu Nila? Ditambah lagi cara bicaranya yang cepat, membuatnya persis seperti Eminem.

Aku yang sudah di ambang pintu pun berbalik, kemudian menyaut, “udah, Bu. Jangan teriak-teriak. Malu di dengar orang. Saya mau izin pamit, Bu. Ada yang ngundang kami untuk tawuran. Mohon doa restunya, ya, Bu. Biar saya nggak kenapa-napa. Udah ya, Bu. Ciao.”

Huh, akhirnya bebas juga!

"Gimana, Bos. Udah siap?” tanya Nino

"Kalau gue nggak siap, gue nggak bakal ada di sini!”

"E'eh, si Bos! Belum juga matahari setinggi tiang, udah terbakar aja!” ejek Ringgo sambil menepuk bahuku.

"Nggak, kok. Mood gue aja lagi, yang nggak bisa di ajak kompromi!”

"Hah? Jadi ceritanya Bos kita badmood, nih?” cicit Ringgo, lalu keduanya tertawa.

Apa sih? memangnya lucu, ya?

Aku yang kebingungan melihat Duo Tail tertawa terpingkal-pingkal, sambil memukul satu sama lain. Lantas bertanya, "Kenapa, sih, lo berdua?”

"Bentar, Bos. Lo yakin, lo badmood?” tanya Nino memastikan sambil menahan tawa. Aku hanya memutar mata sebagai jawaban.

Memangnya apa yang lucu, sih?

"Bos macam anak cewek lagi PMS!” seru Ringgo dan keduanya pun tertawa makin menjadi-jadi.

"Terserah, deh, Lo berdua mo ngomong apa! Lagian jam berapa, sih, mulainya?”

"Um, sekitaran jam 2 deh, kayaknya, tunggu sekolah sepi dulu.”

Lihat selengkapnya