Give Me A Break!

Handi Namire
Chapter #2

BREAK #1

3 Bulan Kemudian

Ah, aku ingin minum kopi.

Apa saja yang mengandung kafein di dalamnya. Secangkir espresso juga boleh, atau segelas americano dingin. Hmm... kalau dua itu terlalu kuat, baiklah... aku mungkin akan menggantinya dengan capuccino atau latte dengan krim yang banyak di atasnya. Terlalu manis mungkin, tapi setidaknya tetap ada kafein. Aku ingin kafein. Sayangnya zat keparat itu adalah sesuatu yang harusnya kuhindari selama aku masih dalam pengobatan.

Ah, tidak.... bukankah dokter hanya mengatakan aku seharusnya mengurangi kafein? Jadi sah-sah saja kan kalau aku sedang menginginkan minum kopi?

"Nggak! Kalau memang harus mengurangi lebih baik sama sekali nggak usah konsumsi kopi sekalian. Toleransimu dalam hal ngopi itu payah, Ning. Mula-mula kamu bilang akan minum setengah gelas saja, tahu-tahu dalam waktu kurang dari sejam kamu udah minum dua gelas penuh. Kopi hitam pula. Kamu mau pingsan lagi apa?"

Samar-samar aku ingat bagaimana cerewetnya mamaku saat bereaksi pada penolakanku akan peringatan untuk mengurangi minum kopi. Saat itu aku yang nggak punya tenaga untuk berdebat pun hanya diam saja. Bahkan untuk sesi konsultasi pun aku harus ditemani mamaku.

Saat itu adalah yang pertama kalinya aku masuk ke ruangan dokter. Ruang praktiknya terlihat rapi dipenuhi dengan rak-rak buku menjulang. Tidak seperti ruangan dokter-dokter lain yang berbau obat-obatan dan cairan antiseptik. Ruangan dokter yang aku kunjungi ini terlihat nyaman dengan dinding coklat susu yang berkesan hangat. Singkat kata, aku tidak terintimidasi dengan ruangan dokter bahkan dengan dokter itu sekalipun. Suara Mama lah yang membuatku enggan mengangkat kepala.

"Kalau sulit, pelan-pelan saja. Buat dirimu merasa nyaman. Jika sudah nggak tahan, kamu boleh minum kopi sekalipun sedikit." Begitulah yang dikatakan dokter. Psikiater lebih tepatnya. Lagi, mamaku ikutan mewanti-wanti dengan nada yang makin menakut-nakutiku seolah aku bisa saja sewaktu-waktu berakhir pingsan di ruang IGD lagi seperti sebelum-sebelumnya.

Sesi konsultasiku cukup panjang. Meski begitu aku tidak banyak bicara. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku mendengarkan dokter. Jika giliran Mama yang bicara, aku lebih suka mengamati ornamen sepasang wayang golek di sudut ruangan. Terlihat lebih menarik. Jauh lebih menarik ketimbang pemandangan sepasang kekasih. Aku memusatkan perhatianku sepenuhnya pada kedua wayang golek itu. Cukup lama sampai aku menyadari salah satu di antara wayang itu meringis ke arahku.

Lihat selengkapnya