Berkat udara pekat yang diselubungi jelaga, kami sempat menghabiskan beberapa detik untuk menyaksikan petaka yang datang menyongsong kami. Siluet para prajurit bertambah gelap, bergerak menyusuri jalan dari arah utara. Aku belum bisa melihat senjata mereka, tetapi pasukan Perak tidak butuh senjata api untuk membunuh.
Para anggota Barisan kabur mendahului kami, lari gila-gilaan sepanjang jalan raya. Untuk saat ini, kelihatannya mereka bisa saja meloloskan diri, tetapi ke mana? Di balik kabut asap, hanya terbentang sungai dan laut. Tiada tempat yang bisa dituju, tiada tempat untuk sembunyi. Pasukan Perak berderap pelan, langkah mereka janggal karena terkesan diseret-seret. Aku memicingkan mata ke balik kepulan debu, berusaha melihat mereka. Serta-merta aku tersadar apa tepatnya ini, apa yang telah Maven lakukan. Saking terguncangnya, badanku serasa tersetrum, memang dialiri setrum, memaksa Shade dan Kilorn untuk melompat ke belakang.
“Mare!” teriak Shade, setengah kaget-setengah marah. Kilorn tidak mengucapkan apa-apa, hanya memperhatikanku terhuyung-huyung di tempat.
Tanganku mencengkeram lengan Kilorn, tetapi dia tidak berjengit. Percik-percik listrik sudah sirna dari tubuhku—Kilorn tahu aku tak akan menyakitinya. “Lihat,” kataku sambil menunjuk.
Kami tahu para prajurit pasti datang. Cal sudah memberi tahu kami, memperingatkan kami, bahwa Maven akan mengirim selegiun prajurit sehabis pesawat jet. Namun, Cal sekalipun tak akan memprediksi ini. Hanya seseorang berhati sekeji Maven yang mampu menggagas mimpi buruk ini.
Sosok-sosok di baris pertama tidak mengenakan seragam abu-abu pupus seperti para prajurit Perak terlatih anak buah Cal. Mereka bahkan bukan tentara. Mereka adalah pelayan bermantel merah, berselendang merah, bertunik merah, bercelana merah, bersepatu merah. Merah di mana-mana sehingga terkesan seperti mengucurkan darah. Di seputar pergelangan kaki mereka, rantai besi berkelontangan saat menggesek tanah. Bunyi itu serasa menggaruk-garukku, menenggelamkan gemuruh pesawat jet serta misil dan bahkan perintah galak yang dibentakkan oleh para perwira Perak di balik tameng Merah. Yang aku dengar hanyalah gemerincing rantai mereka.
Kilorn naik pitam, hampir-hampir menggeram. Dia melangkah maju sambil mengangkat senapan untuk menembak, tetapi senjata itu bergetar di tangannya. Pasukan masih berada di seberang jalan raya, terlalu jauh untuk dibidik oleh penembak ahli kalaupun tidak ada tameng manusia. Kini, menembak prajurit Perak praktis mustahil.
“Kita harus terus bergerak,” gumam Shade. Amarah menyala-nyala di matanya, tetapi dia tahu mesti berbuat apa, mesti mengabaikan apa, demi bertahan hidup. “Kilorn, ayo ikut sekarang juga, kalau tidak mau kami tinggalkan.”
Kata-kata tajam Shade menyadarkan aku yang sempat linglung saking ngerinya. Ketika Kilorn tidak bergerak, kupegangi lengannya, lalu aku berbisik ke telinganya, berharap mudah-mudahan bisa menenggelamkan kelontang rantai.
“Kilorn.” Suara itulah yang kugunakan untuk menenangkan Ibu sewaktu kakak-kakakku pergi berperang, sewaktu Ayah sesak napas, sewaktu situasi sedang gawat. “Kilorn, tak ada yang bisa kita lakukan untuk mereka.”
Kilorn mendesiskan kata-kata dari balik giginya. “Itu tidak benar.” Dia melirik ke balik bahunya, ke arahku. “Kau harus bertindak. Kau bisa menyelamatkan mereka—”
Alangkah malunya aku karena justru menggeleng. “Tidak, aku tak bisa.”
Oleh sebab itu, kami kembali berlari. Kilorn juga mengikuti.
Kian banyak saja misil yang meledak, kian lama kian cepat dan kian dekat. Aku nyaris tak bisa mendengar karena telingaku berdenging. Baja dan kaca terombang-ambing bagaikan perumpung yang tertiup angin, doyong dan kemudian patah sampai keping-keping perak menggigit menghujani kami. Dalam waktu singkat, berlari menjadi kelewat berbahaya. Shade mencengkeramku semakin erat dan memegangi Kilorn juga, kemudian mengantar kami bertiga melompat saat dunia runtuh. Perutku melilit-lilit tiap kali kegelapan mengungkung kami. Tiap kali melompat, kota yang runtuh kian dekat pula. Abu dan debu beton mengaburkan penglihatan kami, menjadikan kami sulit bernapas. Kaca yang pecah berantakan memantulkan sinar cemerlang, menghasilkan luka-luka lecet di wajah serta tanganku, sekaligus merobek-robek pakaianku. Kilorn kelihatan lebih kepayahan daripada aku, perbannya menjadi merah karena kerembesan darah segar, tetapi dia terus bergerak, berhati-hati supaya tidak terlampau jauh meninggalkan kami. Cengkeraman kakakku tidak kunjung melemah, tetapi Shade mulai kelelahan, bertambah pucat seiring tiap lompatan anyar. Aku bukannya tidak berdaya, sebab aku bisa menggunakan percikan listrik untuk menepis serpih-serpih logam yang bahkan tak bisa Shade hindari. Namun, kami tidak cukup, bahkan tidak cukup untuk melindungi diri kami sendiri.
“Seberapa jauh lagi?” Suaraku kedengarannya kecil, ditenggelamkan oleh ingar-bingar perang. Di balik kabut asap dan jelaga, aku hanya bisa melihat sampai beberapa kaki saja. Namun, aku masih bisa merasa. Dan yang kurasakan adalah sayap, mesin, listrik yang mendenging nyaring di atas dan kian lama menukik kian dekat. Kami tak ubahnya tikus di permukaan tanah yang menunggu disambar oleh elang.
Shade menyetop kami, matanya yang sewarna madu melirik ke sana-kemari. Sekejap aku sempat takut kalau-kalau dia tersesat. “Tunggu,” kata Shade, mengetahui sesuatu yang tak kami ketahui.
Kakakku menatap ke atas, ke kerangka bangunan yang dulunya megah. Ukurannya mahabesar, malah lebih tinggi daripada menara tertinggi di Balairung Matahari, lebih lebar daripada Alun-alun Caesar di Archeon. Bulu kudukku berdiri sewaktu aku menyadari bahwa kerangka bangunan itu bergerak. Depan-belakang, kiri-kanan, kuda-kudanya yang sudah berabad-abad ditelantarkan bergoyang-goyang. Selagi kami memperhatikan, kerangka bangunan mulai miring, awalnya pelan-pelan, seperti lelaki tua yang hendak duduk. Lalu kian lama kian cepat, terjungkal ke sekeliling dan sepertinya bakal menimpa kami.
“Pegang aku,” teriak Shade untuk melampaui kegaduhan sambil memperbaiki pegangannya pada kami berdua. Lengannya yang sebelah mendekap pundakku demikian erat, hampir-hampir meremukkanku dan membuatku sesak napas. Aku menanti-nantikan sensasi melompat yang kini tak nyaman, tetapi kami tak kunjung melompat. Aku justru disambut oleh bunyi yang lebih akrab di telinga.
Letusan senjata api.
Yang kini menyelamatkanku bukanlah kekuatan Shade, melainkan darahnya. Peluru yang mengincarku justru mengenai lengan atas Shade, sedangkan sebutir peluru yang lain menyerempet tungkainya sehingga mencuil dagingnya. Shade meraung kesakitan, nyaris jatuh ke tanah retak-retak di bawah. Aku merasakan tembakan yang mendera Shade, tetapi aku tak punya waktu untuk merasa sakit. Makin banyak saja peluru yang mendesing di udara, terlalu cepat dan banyak untuk dilawan. Kami hanya bisa berlari, kabur dari bangunan-bangunan yang runtuh dan pasukan yang mendekat. Yang satu menafikan yang lain, sebab baja berkelindan yang roboh menjadi penghalang antara kami dengan legiun. Paling tidak, seharusnya begitu. Gravitasi dan api menjatuhkan bangunan-bangunan, tetapi daya magnetron menyingkirkan reruntuhan sehingga urung menamengi kami. Ketika menengok ke belakang, aku melihat kira-kira selusin orang berambut perak dan berbaju tempur hitam, sibuk menepiskan tiap kasau dan kuda-kuda baja yang ambruk. Aku kurang dekat sehingga tidak bisa melihat wajah mereka, tetapi aku sudah cukup mengenal Klan Samos. Evangeline dan Ptolemus mengarahkan keluarga mereka, membersihkan jalan terlebih dahulu supaya legiun dapat maju terus. Supaya mereka bisa memungkasi yang mereka awali dan membunuh kami semua.
Andaikan Cal menghabisi Ptolemus di arena, andaikan aku membalas “kebaikan” Evangeline dengan imbalan yang setimpal. Andai demikian, kami mungkin berpeluang menang. Namun, belas kasihan kami ternyata mesti dibayar mahal, sedangkan bayaran itu mungkin adalah nyawa kami.
Giliranku memegangi kakakku, untuk menyokongnya sebisa mungkin. Kilorn-lah yang lebih banyak bekerja berat. Dia menopang sebagian besar bobot Shade, setengah menyeret kakakku ke arah lubang bekas ledakan yang masih berasap. Kami terjun ke dalamnya dengan penuh syukur, berlindung ala kadarnya barang sejenak dari hujan peluru. Namun, tidak bisa lama-lama.
Kilorn tersengal-sengal, tetes-tetes keringat menempel di atas alisnya. Dia merobek sebelah lengan bajunya, menggunakan kain itu untuk memerban tungkai Shade. Darah segera saja menodai perban itu. “Bisakah kau melompat?”
Kakakku mengerutkan kening, bukan untuk merasakan sakitnya melainkan untuk meraba-raba kekuatannya. Kalau itu, aku paham. Dia lantas menggelengkan kepala lambat-lambat, matanya tampak mendung. “Belum bisa.”
Kilorn mengumpat pelan. “Kalau begitu, kita harus berbuat apa?”
Aku tidak langsung menyadari kalau Kilorn sedang bertanya kepadaku, bukan kepada kakakku. Bukan sang prajurit yang lebih mengenal pertempuran ketimbang kami berdua. Namun, dia sesungguhnya tidak minta saran dariku. Yang dia mintai saran bukan Mare Barrow dari Desa Jangkungan, si pencuri, si pembohong, temannya. Kilorn sedang melihat orang lain, yaitu aku yang terlahir dari balairung istana dan arena pasir.
Dia sedang menanyai si Gadis Petir.
“Mare, apa yang harus kita lakukan?”
“Tinggalkan aku, itu yang harus kalian lakukan!” geram Shade sambil menggertakkan gigi, menjawab sebelum aku sempat buka mulut. “Larilah ke sungai, cari Farley di sana. Begitu aku sanggup, aku akan melompat untuk menyusul kalian.”
“Jangan berbohong kepada tukang bohong,” ujarku, berusaha sebaik-baiknya agar tidak gemetaran. Kakakku baru saja dikembalikan kepadaku, bak hantu yang baru kembali dari kematian. Aku tidak sudi membiarkannya pergi lagi, demi apa pun juga. “Kita akan angkat kaki dari sini bersama-sama. Kita semua.”
Derap kaki legiun menggetarkan tanah. Dengan sekali lirik dari bibir lubang, bisa kulihat bahwa mereka tidak sampai seratus meter dari tempat kami berada dan tengah maju dengan cepat. Aku bisa melihat para prajurit Perak di sela-sela barisan Merah, seragam mereka abu-abu pupus. Sebagian mengenakan baju tempur, pelat-pelatnya selaras dengan warna klan mereka. Aku melihat warna biru, kuning, hitam, cokelat, dan masih banyak lagi. Para nymph dan telky serta sutra dan lengan perkasa, para kesatria terkuat yang dapat diutus kaum Perak untuk membabat kami. Mereka menganggap Cal sebagai pembunuh raja, aku teroris, dan mereka tentu sudi menghancurleburkan seisi kota untuk membinasakan kami.
Cal.
Hanya darah kakakku dan napas Kilorn yang tak teratur yang mencegahku meloncat ke luar lubang. Aku harus menemukan dirinya, harus. Kalau bukan demi diriku sendiri maka demi perjuangan, demi melindungi langkah mundur kami. Nilai dirinya setara dengan seratus prajurit ulung. Dia bagaikan perisai emas. Namun, dia mungkin sudah pergi, melarikan diri, meleburkan belenggunya dan kabur ketika kota mulai ambruk di sana-sini.
Tidak, dia tak akan lari. Mustahil dia melarikan diri dari pasukan itu, dari Maven, dari aku. Kuharap aku tidak keliru.