Pertandingan berakhir dengan kemenangan untuk Dino. Perlahan, rumah tua dan taman-taman disekitarnya menghilang. Ruangan kembali menjadi seperti semula. Berwarna hitam dengan lampu dari langit-langit.
"Good game, well played*." kata Dino sembari menjulurkan tangannya sebagai bentuk formalitas.
"GGWP." balas sang berandalan yang memalingkan wajahnya. Walau begitu, ia masih menerima jabat tangan tersebut selama beberapa saat. "Jujur aja. Kalo bukan karena poin bonus dari sistem, gua kagak mau lakuin ini!" lanjutnya dengan marah.
Sistem permainan TLH menjunjung tinggi sportivitas, layaknya olahraga asli. Sistem akan memberikan "Poin Sportivitas" setiap kali pemain bermain tanpa kecurangan, dan akan mendapatkan bonus bila bersalaman setelah permainan berakhir sebagai simbol bahwa kedua pemain telah berdamai. Poin Sportivitas bisa diubah menjadi berbagai poin lainnya, seperti "Poin Kemampuan" untuk meningkatkan statistik kemampuan karakter pemain, "Poin Slot" untuk memutar slot yang bisa memberikan benda secara acak, atau "Poin Kupon" untuk diubah menjadi kupon makanan atau kupon belanja.
Dalam waktu singkat, remaja dengan banyak plester di wajahnya menggunakan hampir semua Poin Sportivitas yang ia dapatkan untuk diubah menjadi Poin Kemampuan. Semuanya ia masukkan dalam statistik "Kekuatan" dan "Kecepatan", agar kejadian seperti tadi tidak terjadi lagi.
"Oke. Urusan kita sudah selesai kan? Aku pulang du-" sebelum kalimatnya selesai, tangan Dino digenggam oleh lawan mainnya tadi.
"Tunggu. Gua belum puas! Gua masih belum bisa balesin adek gua!" teriaknya. Ia menatap tajam remaja yang ada di depannya.
"Udahlah... Aku punya banyak PR. Kalau nggak pulang sekarang, bisa-bisa aku harus begadang." keluh Dino atas kelakuan sang berandalan. Meski begitu, musuhnya tidak menyerah. Ia tetap ingin menantangnya dalam pertandingan ulang.
"Nih ID-ku. Kamu tambahkan saja aku ke "Daftar Teman"-mu. Nanti kuterima, terus kita bisa tanding ulang." ujar remaja berambut hitam, yang mengalah pada siswa SMA di hadapannya. Ia membuat ID-nya bisa terlihat diatas kepalanya, dan beberapa saat setelahnya, sebuah "Permintaan Pertemanan" muncul. Dino menerimanya dengan berat hati.
"Denger ya! Lain kali, gua pasti menang!" teriak sang berandalan dengan jari telunjuk terarah pada Dino. Ia pun berjalan pergi meninggalkan ruangan. Meninggalkan Dino sendirian di ruang permainan yang sepi.
Akhirnya... Dia pergi juga... pikir sang remaja yang mulai berjalan menuju pintu keluar. Ia juga merasa bahwa dirinya melupakan sesuatu, tetapi menghiraukannya. Tiba-tiba, robot kecil beroda yang ia temui sebelum permainan menghentikan Dino sebelum melangkah keluar dari bangunan Arena.
"Mohon maaf. Tetapi, anda belum melepaskan "Stiker Penanda" anda." kata robot kecil tersebut. Sang remaja teringat akan hal yang ia lupakan, dan segera meraba bagian tubuh yang ia ingat terdapat stiker putih dengan titik hitam itu.
Stiker Penanda wajib digunakan saat akan bermain TLH. Setelah mengenakan stiker tersebut, maka pemain mulai bisa memilih baju pelindung yang ingin mereka kenakan. Pemain bisa saja memaksa untuk bermain TLH tanpa menggunakan stiker. Tetapi pergerakan dari baju pelindung serta benda-benda dalam permainan yang dipegang pemain terkadang menjadi tidak sesuai dengan pergerakan tubuh asli mereka. Sehingga pengalaman bermain tidak bisa maksimal.
Setelah dua menit, Dino berhasil melepas seluruh stiker dan mengembalikannya ke robot beroda di depannya. Mesin kecil itu mengucapkan terima kasih, kemudian keluar dari pandangan remaja berambut hitam.
***
"Yes... Sedikit lagi!" ucap Dino pada dirinya sendiri. Setelah sedikit berlari karena hampir tidak bisa menaiki Hyperloop dan Bus Terbang menuju komplek rumahnya, ia bisa bernafas lega. Hanya 800 meter lagi, dan tubuhnya bisa berbaring di kasurnya yang empuk.
ZZZT!
Bunyi ini lagi... Ini sudah yang ketiga kalinya... pikir siswa SMA yang tidak bisa menikmati tehnya sore tadi. Ia memutuskan untuk membuka sosial media melalui kacamata transparan yang dipakainya, lalu menanyakan apakah ada orang yang mendapatkan masalah yang serupa. Banyak balasan yang ia terima, namun tidak ada satupun yang memiliki keluhan sama.
Setelah beberapa menit berjalan sambil melihat jendela media sosial dalam pandangannya, Dino sadar. Ia telah melewati rumahnya. Bahkan cukup jauh, sekitar satu kilometer.
Pantas saja aku merasa tidak sampai-sampai di rumah... keluhnya dalam hati. Dengan sedikit kecewa, ia menutup jendela media sosialnya. Namun ada satu pesan aneh yang menarik perhatiannya sesaat sebelum kotak yang menampilkan ratusan pesan itu menghilang dari penglihatannya.
"Tunggu saja..."