Glitch : The Fake World

Nugroho Alif Putranto Ibrahim
Chapter #3

Chapter 2 : The Beloved Ones

Pagi ini, aku bangun dengan perasaan luar biasa. Tubuhku seperti lupa akan semua kejadian dan keletihan yang kurasakan kemarin. "Hoaam..." Aku menguap, berusaha mengumpulkan nyawaku yang hilang.

Setelah aku merasa mendapat kesadaran yang cukup untuk bergerak, aku menapakkan kakiku ke lantai. Kulihat kotak merah di atas kotak EP menunjukkan angka 100%. "Baguslah... HP-ku masih penuh... hoaam.." ucapku pada diriku sendiri.

Aku melangkahkan kaki ke sebuah cermin setinggi tubuhku di sudut kamar. Dari tengah pandanganku, muncul sebuah lingkaran bertuliskan 'Ganti Pakaian'. Kutekan lingkaran hitam itu perlahan. Muncullah sebuah menu berisikan banyak sekali baju dan celana yang bisa kupilih.

Seperti biasa, aku selalu memilih pakaian warna hitam dengan jaket yang terkadang berwarna biru atau merah. Karena itu adalah warna kesukaanku, dan hanya warna itu yang kumiliki.

Untuk menggantinya dengan baju piyama berwarna pink yang aku pakai sekarang, jariku menekan satu kaos hitam dengan tulisan Glitch di tengahnya dan satu celana jeans hitam biasa. Untuk jaket, kupilih sebuah jaket biru tua tanpa tudung. "Baiklah! Aku siap!" Kataku pada bayangan di cermin, yang tentu saja takkan menjawab.

Dengan penuh semangat, aku melewati dapurku dan langsung keluar dari kamar bernomor 527 milikku. Butuh beberapa langkah saja untuk mencapai lift, dan menggunakannya untuk sampai di lantai dasar apartemen.

Setengah menit menunggu, pintu lift terbuka. Aku pun berjalan keluar dengan santai. Tiba-tiba-

BRUK!

Aku merasa seperti sesuatu menabrak tubuhku. Suara orang dan benda terjatuh terdengar setelahnya. "Aduh..." desisnya.

Saat kulihat, ia seorang anak laki-laki. Ia mengenakan sebuah kacamata kotak, dengan penampilan seperti seorang maniak teknologi dari keluarga orang kaya. Bajunya yang berwarna biru senada dengan kacamata tersebut. "Kau, tidak apa-apa?" Tanyaku seraya mengulurkan tanganku padanya. "Ah iya... terima kasih..." balasnya.

Ia segera berdiri setelah menerima uluran tanganku. Untuk sesaat, mata dan kepalanya berputar ke sekitar. Ternyata, ia mencari laptop miliknya yang jatuh. "Ah, laptopku..." suaranya terdengar kecewa. "Kuharap benda ini baik-baik saja..."

Mendengarnya, membuatku merasa bersalah. "Yah.. maaf untuk itu". Kataku. Ia justru meminta maaf balik, karena sudah menabrakku. Lalu, wajahnya menunjukkan raut seperti teringat sesuatu yang penting.

"Baiklah, aku pergi dulu! Ada yang harus kulakukan!" Ia berteriak padaku saat kakinya berlari cepat kearah lift yang terbuka. Tangannya melambai padaku ramah. "Iya..." aku membalas lambaiannya. Tapi, berbicara soal terburu-buru. Apa ya... yang ingin kulakukan tadi...?

"Ya ampun! Shinta!"

*****

"Lama sekali!" Itulah kata-kata pertama yang keluar dari perempuan di depanku ini. Tangannya bersedekap dengan wajahnya yang menunjukkan rasa ketidakpuasan. Aku hanya bisa meminta maaf padanya.

"Selalu saja seperti ini... kemarin juga kamu tidak datang..." protesnya padaku. Tapi aku punya alasan. "Yah... kemarin aku sedang bertarung melawan monster gorila raksasa di tengah kota... setelahnya, aku kelelahan..." jelasku. Wajahnya masih belum berubah sama sekali.

"Sungguh! Aku tidak melakukan apapun selain itu! Dan juga, maaf karena tidak menjawab panggilanmu... saat bertarung, aku merubah Handphone-ku menjadi senjata..." Akhirnya, ia mulai terlihat sedikit lebih tenang.

Setelah melepaskan napas berat, ia menunjukkan punggungnya padaku. "Ayo masuk. Tidak enak, dilihat orang banyak". Ucapnya sebelum memasuki kafe. Tapi dipikir lagi, ia sendiri yang marah duluan, kan?

Aku segera melupakan kejadian tadi, dan mengikutinya ke dalam tempat yang cukup ramai ini. Kulihat orang-orang berdatangan ke kafe ini dengan berbagai macam tujuan. Ada yang berbincang santai, berfoto dengan teman atau makanan, atau hanya sekadar bermain game online.

"Pftt..!" Aku berusaha menahan tawa. "Ada apa? Ada yang aneh denganku?" Tanya perempuan yang berjalan di depanku. "Tidak... akan kubicarakan nanti". Ucapku. Ia memperhatikan dengan tatapan aneh kepadaku untuk sesaat, sebelum duduk di sebuah kursi kosong.

"Bukankah lucu? Orang bermain game, didalam game?" Tanyaku setelah memesan dua gelas es teh untuk kami berdua. "Bermain game di dalam game? Ah, kamu pasti kembali berhalusinasi. Kalau ini itu hanya dunia game, dan ada dunia lain di luar sana". Balasnya dengan sedikit mengejekku. "Iya, iya. Terserah kamu saja."

Hal seperti ini selalu saja terjadi. Aku sering bertanya pada beberapa orang yang berhubungan denganku, tapi jawaban mereka selalu sama. Tak ada yang mengingat kejadian letusan mematikan dulu, sebelum kami semua terjebak disini.

Seolah, ingatan mereka dihapus dan dirubah. Membuat sistem dunia Doppel R ini sebagai hal yang masuk akal, dan harus dipahami semua orang. Jika di dunia nyata ada perkataan "makanlah ketika kau lapar", disini mereka bilang "makanlah ketika EP-mu habis". Seperti itulah perumpamaan kecil tentang apa yang terjadi.

"Hei, bangun! Melamun saja dari tadi." Kata Shinta seraya melambaikan tangannya di depan wajahku. "Ah, iya. Ada apa?" Aku membalas cepat karena terkejut. "Setelah ini, ikut aku ke Area Perburuan ya. Ada beberapa item yang ingin kudapat."

"Beli sajalah. Khusus hari ini, aku traktir." Ucapku untuk mencegahnya pergi. Entah kenapa, 'kutukan'-ku sedikit bereaksi ketika ia mengucapkan Area Perburuan. Reaksi itu memberiku firasat buruk akan apa yang bisa terjadi nanti.

Meski begitu, ia menggeleng. "Mendapatkan sesuatu ketika telah berusaha sendiri itu lebih enak rasanya." Begitulah katanya. "Ya sudah, kalau itu maumu... kita akan beli beberapa persiapan setelah kita keluar dari sini." Aku hanya bisa mengiyakan. Kalau sudah seperti ini, yang bisa kulakukan hanya menjaganya sekuat tenaga.

Bagiku, Shinta adalah segalanya. Aku memang punya beberapa teman, tapi itu hanya simbiosis mutualisme belaka. Hanyalah perempuan ini yang selalu dekat denganku, meskipun yang lain menganggapku aneh dan tidak masuk akal. Semua akibat 'kutukan' ini.

'Kutukan' yang kumiliki membuat semua benda yang disentuh oleh tanganku menjadi berstatus 'tidak diketahui'. Setelahnya, aku bisa merubah benda tersebut menjadi benda apapun selama ukuran, massa, atau volume benda tidak berbeda dari benda sebelumnya.

Tapi aku sudah terbiasa. Di dunia nyata pun, hal ini sering terjadi. Dikucilkan karena punya pemikiran yang berbeda. Dicap aneh dan tidak jelas. Sudah makanan sehari-hari bagiku. Walau begitu, rasanya tetap saja menyakitkan.

"Kamu punya masalah?" Suara seorang perempuan kembali membangunkanku dari lamunan. Wajah perempuan itu tampak khawatir. "Tidak. Tidak ada apa-apa." Balasku. Ia hanya membiarkanku begitu saja, dan mengajakku keluar dari kafe.

"Sebentar. Tehnya bagaimana?" "Kamu ini ya... Coba lihat ke meja." Tunjuknya ke meja didepanku. Seketika, aku menyadari bahwa es teh kami sudah habis. Mungkin aku menghabiskannya terlalu cepat...

Lihat selengkapnya