Glitch : The Fake World

Nugroho Alif Putranto Ibrahim
Chapter #4

Chapter 3 : Sacred Night

Dulu, aku menyukai dunia ini. Bisa dibilang, aku mencintainya. Tempat ini bagaikan dunia mimpi yang sudah kuimpikan sejak dulu. Tempat semua orang bisa berkumpul, dan bebas melakukan apapun tanpa ada yang menyalahkan.

"Saat ini, sudah ada lebih dari 500 juta pengguna yang sudah membuat akun mereka untuk bisa login di Doppel R. Software yang awalnya dirancang sebagai game virtual, mulai didesain ulang untuk keperluan massal." Saat pertama kali mendengar berita itu, aku merasa senang.

Sebagai seseorang yang terkena dampak globalisasi, aku merasa seperti mimpi menjadi nyata. Dunia dimana semua orang berkumpul tanpa harus bergerak sedikitpun, dengan petualangan dan pertarungan yang tiada batas. Selama ini, aku hanya bisa merasakannya melalui novel-novel atau beberapa serial animasi.

Tetapi, hal ini dianggap aneh oleh orang-orang disekitarku. Banyak murid di kelasku yang selalu menghinaku dengan kata-kata seperti, "Sudah besar, masih nonton kartun!", "Dasar tidak nasionalis!", dan sebagainya. Ini wajar saja. Aku bersekolah dan hidup di lingkungan kampung yang cukup terbelakang, apalagi tentang budaya luar negeri.

Mereka hanya akan mendekatiku untuk menanyakan tentang cara mengerjakan soal. Berhubung, nilai-nilaiku bagus di akademik. Jika aku menolak, mereka akan melakukan hal-hal kasar padaku. Akhirnya, kuputuskan untuk tidak pergi ke sekolah dan berimajinasi di dalam kamarku selama beberapa hari. Ayahku berusaha membujukku untuk kembali bersekolah dengan berbagai cara. Tentu saja, tak ada yang berhasil.

Singkat cerita, aku menikmati kehidupan di dunia Doppel R ini. Aku bisa membantu banyak orang dengan pengetahuanku di bidang game, dan menjadi populer dalam waktu singkat. Mungkin tidak seperti artis-artis atau para gamers yang sudah terkenal lebih dahulu, tapi banyak orang yang mengenalku. Bahkan siswa yang selalu mengangguku di sekolah, mulai menjadi temanku. Meski aku tahu mereka tidak tulus melakukannya.

Hingga suatu hari, tombol 'Keluar' yang biasa ada di pojok kanan bawah penglihatanku, menghilang. Beberapa orang juga berkata bahwa mereka bisa menekan tombol itu, tapi tak ada yang terjadi. Kepanikan terjadi dalam dunia maya. Semua mencari cara untuk keluar.

SHIIIING!

Tiba-tiba, pandanganku penuh dengan warna putih. Bagaikan sebuah cahaya yang teramat terang memasuki mata dari karakter yang kugunakan. Diikuti pula dengan suara berdengung yang sangat keras dan menyakitkan telinga...

*****

Spontan, aku membuka mataku. Sebuah pemandangan penuh dengan warna putih, beserta berbagai kotak dan lingkaran memenuhi pandangan. Tak butuh waktu lama, aku teringat. Mengapa aku bisa ada disini.

"Aku... mati..."

Air mata kembali mengalir. Mengingat sebab kematianku, dan apa yang terjadi sebelumnya. Iya. Shinta telah 'dibunuh'. Seseorang yang sangat penting bagiku, yang amat berharga bagiku, telah direnggut dariku.

Tunggu dulu! Aku tidak boleh menyerah. Bisa jadi, ia ada di rumah sakit ini atau di rumah sakit lainnya! Dengan cepat, aku bangun dari tempat tidur tempat aku dibangkitkan. Kakiku mengantar tubuhku berlari keluar dari kamar rumah sakit, menuju lift yang turun ke lantai dasar.

"Anda baik-baik saja, pak?" Seorang pria yang ada disebelahku bertanya. Kemudian, raut wajahnya berubah ketakutan. Mungkin aku telah menatapnya dengan tajam tanpa sengaja. "Iya... begitulah..." kataku seraya mengalihkan pandangan ke depan.

Pintu lift terbuka. Aku langsung berlari menuju sebuah komputer di tengah-tengah lantai dasar. Di sekitarnya, ada banyak komputer lainnya yang dipenuhi segerombolan orang. Perangkat itu digunakan untuk mencari informasi keberadaan seseorang yang baru saja tewas dalam pertarungan. Informasi mereka hanya akan hilang dari sistem komputer bila pasien itu telah keluar dari rumah sakit, dan bisa dilacak dengan tombol 'Komunikasi' di sisi kanan pandangan setiap orang.

TAK! TAK! TAK!

Nama Shinta tertulis di layar. Setelah menekan tombol 'Cari', ada beberapa orang dengan nama serupa. Kulihat foto mereka satu persatu, tak ada yang mirip. Tapi, aku tidak menyerah. Aku mencoba satu kali lagi, dengan penuh konsentrasi. Masih gagal.

"Tidak! Ia pasti ada disini!" Teriakku spontan. Meskipun ada banyak mata melihatku dengan pandangan iba, aku tidak peduli. Jari-jariku dengan lincah menari dan menekan berbagai kotak dengan nama dari orang yang paling kusayangi.

"..." aku terdiam. Entah sudah berapa kali aku mencari. Jendela di luar menunjukan langit yang gelap. Di sekelilingku, ada banyak orang melihatku dengan pandangan khawatir. "Sial!" Suara keras penuh kekecawaan keluar dari mulutku. Tanpa mempedulikan 'manusia-manusia' lainnya, aku berjalan keluar.

Lihat selengkapnya