Aku dan Harold, anak kecil yang menyelamatkanku tadi malam, menikmati udara pagi yang segar. Sayangnya, pemandangan yang terlihat tidak senikmat oksigen di organ pernapasan palsu kami. "Kota ini benar-benar hancur ya..." komentar bocah disebelahku seraya melihat keadaan dibawahnya.
"Iya. Aku jadi tidak tahu lagi bagaimana nasib kafe favoritku sekarang." Balasku. Ucapan itu terlontar saat melihat sebuah kedai kopi. Membuatku teringat dengan cafe yang aku kunjungi bersama Shinta sebelum kejadian mengerikan itu terjadi. Disana, ia masih saja menertawakan 'kutukan' dan ingatan dari dunia nyata milikku. Setidaknya, itu momen yang menyenangkan.
Secara mengejutkan, anak berambut pirang yang terbang disebelahku tersentak. Wajahnya berubah pucat, dengan kedua tangan menyentuh mulutnya. "Adik... ada apa...?" Tanyaku perlahan. Ia melepas tangannya dan berkata. "Laptopku! Benda itu masih ada di apartemen! Jika kota saja sudah luluh lantah seperti ini..." suaranya cukup keras, dan matanya hampir menangis. Dalam sekejap, tubuh virtual yang kecil itu mempercepat laju terbangnya. "Hey! Tunggu!" Aku ikut mengejarnya dengan berlari.
*****
"Aah... tidak..." ucapnya dengan nada sedih. Mungkin, perangkat itu adalah sesuatu yang teramat penting baginya. "Aku... turut berduka." Aku bersimpati padanya dengan menundukkan kepala. Beberapa saat kemudian, ia seperti teringat akan sesuatu lagi. Kedua tangannya lincah mengutak-atik laptop yang sudah hancur berkeping-keping. Pandangannya berbinar ketika menemukan suatu benda kecil dengan ukuran setara sebuah koin. Itu adalah kartu memori. Tempat menyimpan semua data didalam perangkat seperti laptop atau ponsel. Walaupun dunia ini adalah dunia game, tetapi masih ada beberapa benda dari dunia nyata. "Jika benda ini ikut hancur... mungkin aku sudah..."
CRAK! KRATAK KRATAK!
Bunyinya tidak terlalu keras. Akan tetapi, cukup untuk menghancurkan perasaan adik kecil ini. Tangannya mulai gemetar. Bukan ketakutan yang ia rasakan, melainkan kesedihan tiada tara. Air mata yang mengalir deras menjadi bukti jelas akan keadaannya saat ini. "Huaaa!" Segera, aku menutup kedua telinga. Untuk anak kecil dengan tubuh menjelang pubertas, tangisannya keras juga.
"Bagaimana ini kak? Semua simpanan permainan favoritku ada di benda itu! Huaaa!" Katanya dengan suara terisak, disusul tangisan. Jika kondisinya berbeda, aku pasti tertawa. Mengingat tentang buah pemikiranku, 'Ada game didalam game'. "Sudah... sudah... Apa sepenting itu isinya?" Tanyaku halus. Kuelus punggung kecilnya dan berusaha menatap lembut.
"Sangat penting kak! Di dalam kartu memori itu, ada pula data-data tentang pemilik Bug selain kita!" Serunya. Kata-kata itu kembali mengusikku. Sebenarnya, apa Bug yang ia maksud selama ini? Mungkinkah anak ini hanya penggemar berat serangga? Tetapi, tetap saja aneh. Tidak mungkin ia akan mengatai dirinya sendiri serangga. Meskipun aku akan marah bila diriku diberi julukan 'Serangga' olehnya. Sudahlah. Daripada dipikirkan, lebih baik bertanya langsung. "Hiks... hiks..." Sepertinya aku bisa sedikit menenangkannya. "Sudah ya... kau masih punya data cadangannya kan?" "Hiks... tidak..." jawabnya, masih terisak.
"Apa tidak ada yang lain? Seperti buku catatan atau semacamnya?" Setelah pertanyaan itu, ia berhenti menangis. Harold segera berlari menuju sebuah kotak yang tidak hancur, walaupun disekitarnya penuh dengan debu dan bongkahan besar beton sisa apartemen. Butuh beberapa detik untuk membuka kunci angka pada koper tersebut, hingga benda itu bisa dibuka dengan mudah. "Ah! Syukurlah...!" Ucap anak berambut pirang itu dengan bahagia. Ia memeluk erat-erat buku catatan kecil yang ada didalam kotak.
"Jadi, itu catatannya?" Aku bertanya dengan jari telunjuk mengarah pada buku di dadanya. Anak kecil itu mengangguk semangat. "Iya kak. Aku memang menulis catatan ini sebelum menggunakan laptop. Namun, karena aku sudah lama tidak melihatnya, aku lupa." Jelasnya. Suaranya penuh dengan keceriaan khas anak-anak. Kesedihan yang tadi ia rasakan seolah hilang tanpa jejak.
Tangan kecil miliknya mulai membuka halaman pertama. Saat kuintip sedikit, ada tulisan 'Berkas Rahasia' tertulis dengan huruf kapital sepenuhnya. "Kakak. Bisa tidak, membiarkanku membacakannya untuk kakak? Aku merasa tidak nyaman jika dilihat seperti ini." Rajuknya. "Baiklah, baiklah. Terserah kau saja." Aku membiarkannya membuka buku itu. Menurutku, semua orang berhak punya privasi masing-masing. Selama mereka tidak ingin memberitahukannya padaku, aku tidak akan mengganggu privasi itu.
Mata Harold seolah dipenuhi pelangi setiap membalik kertas-kertas dalam buku kecil itu. Mungkin rasa syukurnya melihat catatan harian miliknya masih utuh begitu besar. "Sudah!" Katanya dengan suara sedikit keras. "Ayo kak. Kita cari tempat yang tenang dan bagus untuk membaca buku ini. Berada di puing-puing seperti ini, terasa aneh kan?" Ajaknya lembut. Di saat yang sama, aku merasakan pandangan ketakutan dan kemarahan muncul dari sisi kanan kami. Setelah kulirik, mereka hanya orang biasa yang memegang senjata.
Aku mendekatkan mulutku pada telinga Harold, dan berbisik. "Tidak aneh juga. Tapi, kita tidak akan tenang selama masih terlihat oleh orang-orang seperti mereka." Ujarku. Ia yang sudah menengok dan melihat mereka hanya mengangguk santai padaku. "Mo-" Kata-katanya terpotong sesaat ketika mataku menatapnya tajam, dengan maksud untuk mengusirnya.
"Monster!" Teriaknya sekeras mungkin. Kedua temannya yang membawa senapan api mengarahkan moncongnya padaku dan Harold, kemudian menekan pelatuk. "Kakak lari duluan! Aku ada dibelakang!" Seru bocah berambut pirang yang sedang bersamaku seraya menahan serangan lawan. Ia menggunakan kemampuan jarak jauhnya, seperti yang terjadi semalam. Memang itu jauh lebih efektif daripada menahan dengan 'kutukan' milikku. Kami berlari cepat menuju luar apartemen.
Di luar puing-puing bangunan tempat tinggal kami, sudah menunggu puluhan orang dengan senapan dan perangkat sihir menghadang. Aku dan anak kecil dibelakangku berhenti sebentar. Rasa terkejut menghinggapi kami, walau sesaat. "Siap-siap kak! Kita akan terbang!" "Iya!" Balasku dengan cepat. Sayangnya, ada satu hal yang tidak aku duga. Tubuhku menjadi kaku, dan kakiku menjauhi tanah bersamaan dengan Harold. "Dik, aku bisa terbang dengan 'kutukan' milikku sendiri! Jadi, lepaskan aku!" Aku berteriak padanya sekeras mungkin, dengan sedikit usaha untuk memberontak yang sia-sia.