"..." Aku terdiam.
Sebentar. Bocah ini bilang, bahwa ia ingin mengumpulkan semua pemilik Bug? Menyelamatkan semua orang? Yah... Karena ia masih anak-anak, maklum saja pikirannya seperti itu. Lagipula, bukan urusanku orang-orang terbebas dari dunia palsu ini atau tidak. Aku hanya ingin Shinta kembali berada disebelahku, seperti sebelumnya...
"Ada apa kak?" Tanya Harold. Ia pasti kebingungan melihatku diam seperti ini. Aku putuskan untuk menepuk pundaknya, seolah aku adalah pamannya. "Dengar dik. 'Kita'? Tidak, kau saja yang lakukan. Aku tidak tertarik." Jawabku sejujurnya. Setelah mendengar itu, keadaan berbalik. Anak ini yang diam mematung di tempat sekarang.
"Jadi, kakak tidak ingin membantuku, ya?" "Iya." Aku menjawab pertanyaannya dengan singkat. Setelah ia bertanya tentang alasanku tidak mengikutinya, hanya satu jawaban yang kuberikan. "Ada seseorang, yang harus kucari..." Kataku seraya memandang pintu disisi kanan. Entah mengapa, ingatan saat bersama dengan Shinta muncul dalam pikiranku.
"Tapi, bukankah kakak ingin bertemu dengan orang itu di dunia nyata?" Sekali lagi, ia bertanya. Tentu saja aku tidak mau! "Apa ada jaminan, kami akan bertemu lagi saat keluar dari sini?" Kuberikan pertanyaan lain sebagai jawaban. Tak terdengar sanggahan dari mulutnya. Saat kulihat, wajahnya menunduk. Tangannya mengepal, dengan sedikit gemetar. "Begitu... ya...?" Aku memutuskan untuk tidak menjawabnya.
"Baiklah! Aku akan menyelamatkan semua orang, dengan caraku sendiri!" Harold berteriak padaku. "Terserah kau saja. Aku juga akan mencari orang 'itu' sendiri." Balasku datar sembari berdiri dari tempat dudukku. Pintu yang semula tertutup mulai terbuka, dan anak berambut pirang yang sebelumnya mengantarku, berjalan keluar dengan perasaan marah. Setiap langkahnya menimbulkan suara keras, seolah ia sengaja menapakkan sepatu biru di kaki kecilnya sekeras mungkin.
BRAK!
Pintu tertutup beberapa saat setelah anak itu menjauh dariku." Haah..." aku menghembuskan napas panjang setelah ia keluar dari kediaman ini. Dipikir lagi, mungkin perkataanku terlalu keras padanya. Ia masih kecil, dan dengan jalan pikirnya yang seperti itu... Padahal, aku sudah memakluminya tadi! Atau, mungkin belum? Apakah aku terkesan seperti mengejaknya?
"Ah! Sudahlah!" Kuberikan tinju dari tangan kananku kepada udara didepanku. Mengapa juga, aku harus serius pada bocah itu? Mungkin anak itu akan berhenti di tengah jalan, dan menjalani kesehariannya seperti biasanya. Kedua mataku melihat seluruh sisi ruangan disekitarku. Pintu masuk menuju dapur menarik perhatianku. Seolah, ada kekuatan aneh yang berusaha mengundangku...
"Biarlah. Lagipula, aku sedang merasa haus saat ini." Ucapku, berbicara sendiri. Akupun melangkahkan kedua kaki virtual ini ke ruang makan tersebut. Berusaha untuk melupakan pembicaraan tadi dengan sedikit memanjakan diri.
Sesampainya disana, terlihat sebuah meja panjang dengan kursi disekitarnya. Di sebelah kanannya, ada tiga rak berisi berbagai peralatan makan berwarna putih bersih. Sisi yang berlawanan menampakkan sebuah dapur lengkap dengan seluruh peralatan masaknya. Bahan-bahan untuk makanan mungkin ada di dalam kulkas, dan di rak kecil diatas kompor.
Kudekati rak kecil itu, dan kedua tanganku membukanya. Ada beberapa kotak berisi bumbu dapur, sesuai dengan nama yang tertera di sisi depan kotak. Salah satu dari kemasan itu sangat menarik perhatianku. Dengan cepat, aku mengeluarkan kotak itu dari rak. "Ah... Teh rasa vanilla..." kataku perlahan. Inilah rasa teh yang paling kusukai! Tanpa basa-basi lagi, aku menutup kedua pintu rak kecil itu.
Segera, tubuhku menyiapkan semua perangkat yang dibutuhkan untuk menyeduh teh ini. Butuh waktu kurang lebih lima menit hingga teh ini bisa kunikmati. Namun, aku tetap menyeduh minuman tradisional ini dengan perasaan bahagia. "Secangkir teh telah siap!" Aku membawa satu cangkir dan teko berisi teh yang panas menuju meja makan. Setelah kutaruh kedua benda itu, badanku duduk di kursi depan teko teh.
"Baiklah, selamat menikmati!"
SLURP!
*****
Setelah sepuluh cangkir teh vanilla dengan satu sendok teh gula disetiap cangkirnya, aku meninggalkan rumah itu. Tetapi, aku mungkin tidak seharusnya pergi melalui pintu depan. Karena hal pertama yang menyambutku saat menjejakkan kaki di jalanan adalah poster dengan foto buram. Ada pula tulisan yang sangat klise, seperti di film-film barat.
"Wanted. Dua monster yang berhasil selamat dari Malam Suci. Bila menemukan, segera panggil nomor dibawah ini..." Aku membaca poster itu dengan nada datar. Disana, ada wajahku dan Harold setelah diperbesar. Aku yakin mereka mengambilnya dari jauh, dan membayar jasa pembuatan poster murah, sehingga hasilnya seperti ini. "Sebentar... dia kan..." Sebuah suara membuatku berpaling dari poster.
Saat kulihat, ada dua orang yang menatapku dengan ketakutan. Tubuh mereka bergetar, seolah gempa sedang terjadi pada badan mereka. Salah satu dari mereka mengeluarkan pistol berjenis Glock, sedangkan temannya mengeluarkan telepon genggam miliknya. Ia menekan beberapa tombol. Pandanganku kembali pada poster tadi. "Sial!" Umpatku tiba-tiba. Kupakai tudung di jaketku, dan berlari menjauh. "Tidak semudah itu!"