Setelah kelompok kecil kami resmi terbentuk, aku dan Haruka sedikit berdebat dengan Harold tentang nama dari grup ini. Ada berbagai saran nama yang muncul. Mulai dari Anti-Soldier, Doppel Frontline, Seven Deadly Sins, dan sebagainya. Meski semua saran itu muncul dariku dan anak berambut pirang. "Sudahlah! Mengapa harus ribut tentang nama? Memang, nama punya arti yang bisa berguna untuk kita. Tetapi itu bukan sesuatu yang harus kita tentukan sekarang!" Teriak sang ibu diantara kami.
"Iya, kami minta maaf..." Ucapku dan bocah didepanku bersamaan. Berikutnya, Haruka pergi ke dapur. Ia membuka kulkas dan terlihat seperti mencari sesuatu. "Hei, apa kalian tidak punya bahan masakan? Seperti sayur, daging, atau semacamnya?" Tanya ibu tersebut. Aku hanya menggeleng, sementara anak lelaki memberi sebuah penjelasan. "Yah... aku hanya membawa minuman saja kemari. Ditambah lagi, aku belum bisa menggunakan kulkas itu secara maksimal." Jelasnya. Haruka terlihat kebingungan. "Apa maksudmu 'belum maksimal'?"
"Anak ini belum membeli hak untuk rumah ini." Kataku seraya menunjuk Harold. "Jika suatu kediaman adalah properti 'Bebas' yang tak dimiliki siapapun, maka penggunaannya tidak akan maksimal. Seperti hanya dua kamar tidur yang bisa digunakan, atau gudang yang menampung lima persen dari kapasitas maksimum." Aku memberi penjelasan tambahan.
Kemudian, Haruka memutuskan untuk pergi ke pasar. Mencari bahan masakan. Menurutnya, sayang bila peralatan masak disini bagus namun tidak digunakan. Ketika Harold berniat untuk ikut, kutahan tubuh kecilnya. "Tidak bisa. Kita ini buronan di kota." Itulah alasan yang kuberikan. Setelah itu, ia menyerah dengan mudah. Walaupun raut mukanya tampak tidak senang.
"Kamu mau apa untuk oleh-oleh nanti?" Tanya ibu berambut panjang. "Aku mau cupcake cokelat!" Jawab anak yang sedang aku pegang kuat saat ini. Haruka mengangguk setuju, dan mengalihkan pandangannya padaku. Apa aku juga mendapat tawaran? "Yah... Aku pikir, teh botol saja." "Baiklah. Cupcake dan teh botol ya." Kata sang ibu seraya mencatat pesanan kami. Mungkin ia sudah menyimpan kertas dan pulpen di sakunya sepanjang waktu. Sehingga bisa langsung menulis semua permintaan anaknya.
Setelah kami mengantarnya hingga pintu depan, ibu beranak satu yang sudah menjadi 'Ibu' bagiku Harold pamit. Ia berjalan kaki menuju pasar terdekat dari sini. "Kak, sekarang apa yang akan kita lakukan?" Tanya anak disebelahku. Kemudian, kulihat langit virtual diatasku melalui jendela ruang tamu. Awan-awan yang tadinya memenuhi langit menghilang. Seolah mereka tak pernah ada sebelumnya. Warna langit adalah kuning, dengan sedikit kebiruan di sisi timur. "Karena sekarang sudah sore, dan kita tinggal menunggu makan malam..." Aku memberi jeda. Berniat untuk membuat kesan seolah aku berpikir, meski sebenarnya tidak.
"...Kita tidur saja!" Teriakku tiba-tiba. Tubuh Harold tersentak ke belakang karena terkejut. Sementara diriku terus berlari menuju kamar berpintu baja, dan membuka kuncinya dengan sidik jariku. Saat aku berbalik dan melihat wajahnya, ia tampak lebih terkejut lagi. "..." Tak ada balasan atau apapun selain dirinya yang terdiam di tempat. Aku pun tidak merasa bersalah, dan menutup pintu. Kakiku berjalan santai menuju kasur. Sesampainya disana, kupejamkan mataku, dan pergi ke alam mimpi.
*****
"Doni..." Sebuah suara terdengar di kegelapan. Aku merasa tidak asing dengan suara ini. Tetapi, siapa orang ini?
"Bangunlah..." Panggilnya. Rasanya hangat. Seperti berada dalam siraman cahaya mentari. Tubuhku yang terasa berat di kegelapan ini mulai melayang perlahan.
"Hei, bangunlah!" Sekarang suaranya berubah menjadi lebih berat. Jelas sekali, kata itu diucapkan oleh pita suara dari seorang lelaki. Perasaan nyaman yang kurasakan sebelumnya menghilang.
"Cepatlah bangun!" Seiring waktu, rasa berat ditubuhku semakin bertambah.
"Makan malam sudah siap!"
DUAK!
Aku berteriak kesakitan. Sebuah serangan mengenaiku dengan telak. Bahkan, tubuhku sudah menyentuh lantai saat aku terbangun. Perlahan, mataku berusaha melihat siapa pelakunya. Saat aku bangkit, ada dua orang penghuni lain rumah ini yang menatapku. Salah satu dari mereka adalah seorang ibu berambut panjang dengan tangan seolah berapi-api. Yang lainnya adalah anak kecil bermata biru dengan tatapan khawatir. "Makan malam sudah siap. Cepat ke ruang makan!" Kata sang ibu.
"Tunggu! Bagaimana kalian bisa-" Aku menghentikan kalimatku. Setelah melihat jendela yang masih bisa dilewati siapa saja, aku bungkam. "Kak, aku rasa percuma saja pintu sekuat tungsten, namun jendela masih terbuka lebar." Ucap Harold, sedikit kecewa. "Lalu, pecahannya masih ada disekitar lagi!" Haruka kembali berteriak. "Kamu bereskan dulu pecahan-pecahan kaca ini! Setelah itu, boleh makan." Seusai berkata seperti itu, mereka pergi keluar dengan melompati jendela. Mereka sudah seperti pencuri.
Namun, apa yang dikatakan Ibu ada benarnya. Pecahan kaca ini bisa mengurangi HP siapapun yang menginjaknya tanpa alas kaki. Aku beri satu persatu serpihan kecil itu efek Glitch milikku, dan menyatukan semuanya. Dalam dua menit, jendela kaca telah kembali pada bentuknya yang semula. Bahkan kuperkuat kaca itu, sehingga tidak mudah pecah. Kemudian aku berjalan keluar kamar, menuju ruang makan. Ketika pintu terbuka saja bau makanan enak sudah bisa tercium.
"Jendelanya sudah selesai dibereskan?" Pertanyaan Haruka menjadi yang pertama kudengar saat memasuki ruang makan. "Kalau belum, tidak mungkin aku kemari." Jawabku. Anak kecil dengan mata biru tampak tidak percaya akan ucapanku. Ia pun berdiri dan berjalan menuju halaman belakang untuk melihat hasil kerjaku. Biarkan sajalah. Lagipula, makanan yang tersaji dihadapanku sekarang terlihat sangat menarik. Menggugah nafsu makan yang sebelumnya tidak pernah kurasakan semenjak hidup di Doppel R.